Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Strategi Pendekatan Baru Solusi Persoalan di Papua

Golda Eksa
05/9/2019 18:57
Strategi Pendekatan Baru Solusi Persoalan di Papua
Pegamat Militer Connie Rahakundini Bakrie(MI/M. Irfan)

PEMERINTAH perlu menerapkan strategi pendekatan baru untuk menyelesaikan pelbagai persoalan di Papua dan Papua Barat. Pencarian solusi terkait masalah itu sangat penting guna meredam konflik yang terjadi di bumi cenderawasih.

Hal itu dikemukakan pakar pertahanan dan diplomasi Connie Rahakundini Bakrie disela-sela diskusi Seminar Politik Papua, di Jakarta, Kamis (5/9). Acara tersebut diselenggarakan oleh Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puska Otoda) Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Kristen Indonesia (UKI).

"Berbagai tuntutan keamanan dan stabilitas Papua memang punya dampak tinggi terhadap instabilitas politik dan keamanan dalam dan luar negeri," ujar Connie.

Ia menyarankan agar pemerintah segera mencari strategi pendekatan baru terhadap Papua. Intinya diperlukan strategi baru (outside the box) yang lebih konkret dan berani, seperti bersama-sama sejumlah negara yang belum tersentuh dalam kerangka kerja sama pertahanan, keamanan, intelijen, dan kepemudaan.

"Perlu langkah strategis mengefektifkan peran Indonesia, utamanya TNI, Polri, BAIS dan BIN serta kementerian pertahanan dan kementrian luar negeri bagi terwujudnya diplomasi total terhadap Papua dalam kerangka Strategic Defence, Security And Intelligence Partnership Kawasan Indo-Pacific & Indonesia Afrika, khususnya peran 55 negara-negara Afrika didalamnya,” tukas Connie.

Baca juga : Raker Papua, Menhan: Tidak Ada Kompromi Bagi Pengganggu NKRI

Melihat kondisi Papua sama seperti memandangi rimbunnya hutan belantara yang menghiasi bumi paling Timur dari Indonesia itu. Ada beragam jenis kepentingan dan masalah, namun itulah yang menjadi pesona keindahan dari tanah kasuari.

Ketua Papua Center UKI Antie Soleman, menilai ada perkembangan generasi baru Papua dalam tiga dasawarsa terakhir. Misalnya, kebangkitan visi baru kaum muda Papua sebagai akibat dari diaspora Papua di luar Papua yang menempuh pendidikan di luar negeri.

"Mereka kemudian mempersoalkan keadilan pembangunan, nasib masyarakat asli Papua, dan sisi kesejahteraan di tanah Papua yang pada dasarnya tanah yang subur dan indah,” kata Antie.

Menurut dia, etno nasionalisme itu akhirnya membawa implikasi pada berbagai tuntutan HAM, kekerasan masa lalu, dan capaian pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Mantan Ketua Komite VI DPD RI Bidang Kebijakan Politik dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah yang sekaligus pengajar Fakultas Hukum UKI John Pieris, mengatakan, sejauh ini masih banyak masalah dalam penerapan otonomi di Papua.

"Otonomi dan desentralisasi kewenangan pusat yang belum maksimal telah berakibat pada munculnya konflik di Papua,” kata John Pieris.

Senada disampaikan Ketua Dewan Pembina Santri Milenial Centre Syauqi Makruf Amin. Menurut dia, membahas Papua tidak bisa dilepaskan dari pembangunan dan capaian kinerja pemerintah di sana.

Baca juga : Pemerintah Buka Pemblokiran Internet di Papua

Dalam konteks itu tetap perlu ada kesinambungan dan kejelasan rancangan pembangunan di Papua.

"Khususnya pada periode kedua di bawah Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin, nanti. Harus ada peran yang lebih luas untuk masyarakat madani dan dunia usaha di Papua,” kata Syauqi.

Peneliti kawasan Afrika dari Universitas Indonesia Christophe Dorigne Thomson, menjelaskan hubungan Indonesia dan Afrika dalam konteks jaringan dan kerja sama antara keduanya. Sebagai akademisi asal Eropa, Thomson melihat adanya indikasi praktik kolonisasi dan dekolonisasi yang belakangan ini cenderung masih diwarnai cara 'kolonisasi' baru terhadap negara-negara berkembang, khususnya dalam kasus Papua dan wilayah lain di Asia. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya