Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
PERUMUSAN pasal dan ketentuan pidana pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memuat sejumlah masalah. Di samping itu, ada tumpang-tindih dalam upaya DPR memasukkan delik korupsi dalam rancangan tersebut.
Temuan itu diungkapkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama ICJR dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam seminar publik di wilayah Senayan, Jakarta, kemarin.
Peneliti Mappi Siska Trisia mengatakan RKUHP perlu penjelasan lebih lanjut dalam core crime (pidana utama) pemberantasan korupsi. Hal itu disebabkan penentuan pidana utama di RKUHP dapat berdampak dalam pasal-pasal di Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Terlebih, kata Siska, RKUHP berusaha mengakomodasi United Nation Convention for Anti Corruption (UNCAC) lewat UU No 7 Tahun 2006.
“RKUHP masih belum bisa menyelesaikan tumpang-tindih dalam UU Tipikor seperti Pasal 12 huruf a dan b, serta Pasal 5 ayat 1 a dan b, yakni bentuk perbuatan yang sama, tetapi besaran pidana berbeda. Selain itu, masih adanya definisi yang belum diatur secara spesifik seperti Pasal 695 RKUHP tentang makna frasa ketentuan penyuapan pejabat publik asing dan penyuapan pejabat organisasi publik di internasional,” kata Siska.
Ketidakjelasan dan tumpangtindih juga terkait dengan penggelapan, pihak yang menindak, perdagangan pengaruh, pencucian uang, serta korupsi korporasi.
Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rasamala Aritonang meminta delik korupsi dikeluarkan dari RKUHP dan masuk undang- undang tersendiri. Ia juga menyoroti soal tindak pidana korupsi korporasi dalam Pasal 52 dan 53 RKUHP. Dalam RKUHP itu diketahui korporasi bisa dipidanakan ke tindak korupsi bila melibatkan pejabat fungsional. Padahal, kata Rasamala, sering kali tindak pidana untuk dan atas nama korporasi dilakukan pegawai pada tingkat bawah. (Mir/P-2)
Pertanyaan yang menyentak bukanlah apakah mungkin membubarkan lembaga DPR di alam demokrasi, melainkan mengapa anggota DPR minta tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu menjadi pemilu nasional dan daerah menuai heboh yang belum berkesudahan.
MENTERI Hukum Supartman Andi Agtas menyebut Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan setuju terhadap pengesahan RUU Haji dan Umrah menjadi UU.
WAKIL Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad merespons adanya aksi demonstrasi yang menuntut 'Bubarkan DPR' dan memprotes tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan.
Peneliti FormappiĀ Lucius Karus menilai DPR RI perlu bersikap bijak dalam merespons aspirasi para pendemo yang belakangan menyoroti kinerja lembaga legislatif.
Jerome Polin kritik tunjangan beras DPR Rp12 juta per bulan. Hitungan sederhana: setara 1 ton beras, cukup makan satu orang hingga 9 tahun.
Menurut dia, PERADI SAI menilai keputusan ini sebagai tonggak penting untuk memperkuat posisi advokat dalam sistem peradilan pidana.
Menurutnya, sistem penegakan hukum terpadu seharusnya menjadi kesatuan rangkaian antarpenegak hukum untuk menanggulangi kejahatan.
Hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok tapi pidana khusus. Ini menjadi politik hukum baru dan menjadi suatu jalan tengah
INDONESIA harus berbangga dengan memiliki produk hukum asli dan menanggalkan produk hukum kolonial.
PASAL perzinaan dalam KUHP yang baru dipastikan tidak akan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
RUU KUHP, merupakan RUU terlama yang dibahas oleh DPR hingga disahkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved