Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Lembaga Negara belum Seimbang

Rahmatul Fajri
25/6/2019 09:45
Lembaga Negara belum Seimbang
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono.(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

EKSEKUTIF dinilai memiliki kekuasaan dan kewenangan yang melebihi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti MPR, DPR, dan DPD.

Karena itu, perlu ada mekanisme check and balances di lembaga tinggi negara.

“Kalau check and balances, saya setuju. Bila memiliki kewenangan yang tidak berimbang, tentu tak akan balance. Antara pemerintah, DPR, dan DPD bagaimana mau balance kalau hak dan kewenangan tidak balance,” kata Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dalam Diskusi Empat Pilar bertema Mekanisme check and balances lembaga negara di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Dalam hal penyusunan kabinet, misalnya, kata dia, Indonesia menganut sistem presidensial. Jadi, terlihat jelas pemerintah atau presiden jauh lebih berkuasa. “Saya lebih setuju apabila check and balances kita terapkan sehingga bisa tercipta kewenangan dan kekuasaan yang berimbang,” ucap Nono.

Menurutnya, check and balances akan terwujud bila terjadi pembagian kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. “Jadi, check and balances itu justru ada di dalam kekuasaan itu sendiri. Misalnya, di institusi kehakiman tidak hanya ada MA, tapi juga ada MK dan KY yang harus memiliki kekuasaan berimbang,” tukasnya.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Daulay, menilai kewenang-an MPR saat ini lemah bila dibandingkan dengan kewenangan pemerintah. “Kalau menurut saya, DPR dan MPR ini posisinya sangat lemah kalau dibandingkan dengan posisi pemerintah,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Kelemahan posisi MPR, lanjutnya, salah satunya tampak dari aspek anggaran. Posisi pemerintah sangat penting dalam menentukan anggaran, termasuk anggaran untuk MPR yang terdiri atas unsur DPR dan DPD. “Kita melihat lemahnya posisi MPR (DPR dan DPD) dari sisi anggaran karena yang menentukan anggaran ialah pemerintah,” jelasnya.

Karena itu, Saleh mengatakan MPR ­tengah melakukan autokritik terhadap apa yang dialami, termasuk tugas, fungsi, dan ­kewenangan.

“Jadi, banyak yang dilakukan karena kebetulan saya termasuk kelompok pengkajian MPR. Termasuk bagaimana penguatan lembaga-lembaga yang ada di MPR, khusunya DPD, yang sudah sering didiskusikan agar fungsi dan kekuasaannya dikuatkan,” paparnya.

Cegah tirani
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai ide dasar check and balances itu untuk mencegah jangan sampai satu organ menjadi tiran bagi organ yang lain.

Mengapa mesti ada balancing, karena menurut dia, semua orang punya kecenderungan untuk berkuasa secara mutlak. “Kecenderungan itu harus dikerangkakan dalam hukum, dijinakkan dengan hukum, dengan cara sebagian kewenangan ditaruh di sini dan sebagian lain ditaruh di sana.”

Dalam kerangka itu, imbuhnya, kalau kita bicara check and balances, berarti bagaimana mengatur relasi kewenangan yang tumpang-tindih. “Sebagian kewenangan yang ada di sana dan di sini, saling cek, dan tidak bisa tidak, dan dengan cara itu demokrasi bisa dikembangkan, akuntabilitas bisa dikembangkan, transparansi bisa dikembangkan.”

Bila dicermati, sejak 2002 konstitusi RI diamendemen atau dalam kurun 17 tahun, MPR tidak pernah menggunakan kewenangan untuk mengubah Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya, DPD pun memiliki kewenang-an ikut membahas undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pajak daerah, dan sumber daya alam daerah. Namun, keputusan akhir dalam rapat paripurna tidak melibatkan DPD. “Ini yang jadi masalah selama ini,” cetusnya. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik