Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Nasib Caleg Eks Koruptor Ada di Tangan Pemilih

Rahmatul Fajri
12/2/2019 20:52
Nasib Caleg Eks Koruptor Ada di Tangan Pemilih
(ANTARA)

WAKIL Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan keputusan parpol tetap mengusung calon legislatif mantan napi korupsi memang menuai polemik di ruang publik.

Ia mengaku banyak pro kontra dalam menilai figur atau politikus mantan koruptor tersebut.

Lebih lanjut, Saut mengatakan dalam menilai seorang caleg, tentu tidak hanya dinilai dari apakah ia pernah menjadi napi korupsi atau tidak.

Saut menilai ada hal yang lain yang bisa menjadi pertimbangan bagi parpol.

"Menilai integritas orang perorang itu tidak saja korupsi atau tidak korupsi, atau sudah bebas dari tahanan Tipikor atau tidak. Akan tetapi juga track record dan komitmennya juga," kata Saut ketika dihubungi, Selasa (12/2).

Meski demikian, Saut menyadari jika ada suara dari publik yang menentang mantan koruptor untuk terjun kembali ke ranah politik.

Saut menilai, jika merujuk pada egalitarianisme atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sederajat, tentu publik tidak akan tinggal diam.

"Kalau megang prinsip egalitarian, ada publik yang menilai mantan koruptor tidak boleh ditoleransi, saya bisa mengerti," kata Saut.

Maka dari itu, ia mengatakan dalam sistem kesamaan derajat, parpol harusnya menindaklanjuti caleg yang pernah menjadi napi korupsi. Ia menilai masyarakat tentu akan menimbang melalui rekam jejak dari calon yang diusung parpol.

Sementara itu, ditemui di tempat terpisah, politikus Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menilai dalam mengusung caleg mantan napi korupsi dikembalikan kepada kebijakan parpol masing-masing.

Ia mengatakan setiap partai tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Sehingga, jika orang yang ingin terjun ke politik, bisa melihat kebijakan partai yang ia tuju.

"Boleh sebagai kebijakan, kalau tidak, ya cari partai yang tidak punya kebijakan itu," kata Arsul, Selasa (12/2).

Arsul khawatir dengan gencarnya penolakan terhadap caleg mantan napi korupsi bisa mematikan hak politik seseorang.

"Jadi ini saya sebut sebagai konsep hak kematian politik," kata Arsul.

Senada dengan Arsul, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Esmi Warassih soal parpol yang tetap mengusung caleg mantan napi korupsi, lebih baik dikembalikan kepada caleg tersebut secara personal.

Baginya, mantan napi korupsi yang tetap ingin maju berarti dianggap telah menyelesaikan hukumannya. Dari situ, ia menilai menjadi pertimbangan bagi parpol untuk tetap mengusung calon yang pernah terkena kasus korupsi.

"Bagi saya dia sudah divonis hakim, berarti dia sudah menebus kesalahannya, kalau sudah keluar berarti nol dosanya. Karena sudah dia terpidana," kata Esmi.

Esmi menyadari memang label korupsi masih melekat pada figur tersebut. Akan tetapi, ia menilai lambat laun, jika ia mampu membuktikan integritasnya kepada publik, kemungkinan ia akan dipilih kembali.

"Mungkin dikasih waktu, perlu adanya norma untuk melihat integritasnya, apa satu dua tahun, kalau memang selama itu bagus, kenapa tidak? Tidak boleh dong, kita bukan tuhan. Tuhan saja memaafkan dosa manusia," kata Esmi.

Selain itu, ia mengatakan lebih baik dikembalikan kepada publik sebagai pemilik hak suara. Jika memang, dalam prosesnya, mantan napi korupsi tidak menunjukkan integritas, tentu tidak akan terpilih.

"Kembalikan ke pemilih. Kita bukan tuhan, dia telah menjalankan hukuman yang diartikan sebagai menebus dosanya," kata Esmi. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya