Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Entitas Guru di Pesta Demokrasi

Dudung Nurullah Koswara Ketua Pengurus Besar PGRI
27/11/2020 02:00
Entitas Guru di Pesta Demokrasi
(Dok. Pribadi)

PILKADA merupakan momentum praktik politik berdemokrasi. Momentum ini harus menjadi bagian dari proses belajar kolektif berdemokrasi secara objektif bagi semua warga masyarakat. Terutama, ada satu entitas unik dan menarik dibahas, yakni profesi guru. Guru harus ambil bagian dalam sukses sebuah proses pilkada. Guru merupakan entitas aparatur negara dalam dimensi pendidikan yang harus menjadi contoh berdemokrasi dan memberikan hak suara.

Keberadaan guru di masyarakat masih dipercaya berpengaruh terhadap dinamika sosial politik. Inilah di antara asbab mengapa selalu terjadi politisasi entitas guru? Terutama, para pimpinan satuan pendidikan atau kepala sekolah. Para kepala sekolah sangat rawan dipolitisasi. Seorang kepala sekolah mendapatkan SK dari para kepala daerah. Seorang kepala daerah seolah menjadi ‘majikan’ para kepala sekolah.

Guru dan kepala sekolah rawan dipolitisasi menjelang pilkada, bahkan pasca-pilkada. Terutama, bagi entitas guru honorer, janji-janji politik pasangan pilkada bisa menjadi rayuan maut politik. Janji kesejahteraan sampai pengangkatan menjadi PNS bisa menjadi bagian dari kampanye pilkada. Semua pasangan biasanya ‘obral janji’ pada guru honorer. Gombalisasi politik dan politik PHP biasa terjadi.

Dalam batin yang penuh pengharapan perubahan status dan kesejahteraan, entitas guru honorer mudah tergoda. Ini sangat wajar mengingat status dan kesejahteraan guru honorer masih jauh dari wajar. Bahkan, bukankah kita masih ingat pra-Pilpres tahun 2019 sejumlah guru honorer menyatakan sikap mendukung satu pasangan presiden? Bahkan di Provinsi Banten ada sejumlah guru honorer sempat dipecat karena politik.

Bila para kepala sekolah dipolitisasi karena terkait jabatan yang di SK-kan oleh kepala daerah, guru honorer karena pengharapan perubahan status dan kesejahteraan, guru PNS dipolitisasi karena pengaruhnya dan jaringannya dalam masyarakat. Plus, terutama guru pendidikan menengah sudah punya murid sebagai pemilih pemula. Bagi tim sukses pilkada, meraih suara guru adalah penting, politisasi guru adalah target.

Guru merupakan entitas sarjana yang masih melekat istilah “digugu dan ditiru”. Digugu dan ditiru di ruang kelas oleh anak didiknya, terutama pemilih pemula, dan di ruang publik sebagai peserta pilkada. Guru memang dapat ‘dimanfaatkan’ sejumlah tokoh politik atau tim sukses pilkada untuk dijadikan lumbung suara dalam mengampanyekan pasangan calon pilkada.

Pro-kontra terkait hak politik guru, sering menjadi perdebatan. TNI, Polri, dan guru sama-sama aparatur negara. Bedanya TNI dan Polri tidak punya hak suara, namun para guru punya hak suara. Sementara itu, jumlah guru jauh berlipat daripada jumlah anggota TNI dan Polri.

Ini menjadi menarik untuk dikaji lebih luas. Setiap kontestasi pilpres dan pilkada, guru selalu menjadi entitas yang cukup menarik, untuk ‘diintervensi’ sejumlah pihak, demi perolehan suara. Intervensi politik inilah yang menyebabkan entitas guru menjadi penuh liku dan dinamika.

Sistem perekrutan CPNS dan bakal calon kepala sekolah saat ini sudah lebih baik daripada yang dahulu. Pemerintah berusaha ‘memurnikan’ entitas guru dan kepala sekolah dari intervensi dan politisasi. Dahulu kala, menjadi PNS dan kepala sekolah sangat ditentukan timses dan kepala daerah. Kini tidak lagi demikian. Dahulu, seorang kepala sekolah bisa saja seenaknya diangkat atau diberhentikan seorang kepala daerah. Kini tidak lagi.

Keluarnya Permendikbud No 28 Tahun 2010 dan Permendikbud No 6 Tahun 2018, adalah jawaban atas jelimet politisasi para kepala sekolah dan tuntutasn syarat sisi ideal guru yang diangkat menjadi kepala sekolah. Kisah lahirnya dua Permendikbud di atas, terkait dengan hadirnya politisasi para kepala daerah pada entitas guru.

Dahulu, selalu hadir “politisasi” guru bagi yang ingin jadi kepala sekolah. Dahulu, angkat dahulu dalam jabatan sesuai selera kepala daerah, baru diadakan pendidikan kepemimpinan. Sekarang dididik dulu, harus ikut seleksi dan diklat di LPPKS, baru boleh menjabat kepala sekolah. Kepala daerah saat ini tidak bisa mengangkat kepala sekolah tanpa lolos diklat LPPKS. Setidaknya politisasi guru sedikit berkurang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya