Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Refleksi Hari Anak Nasional Menumbuhkan Anak Hebat di Tanah Penuh Harap

David Krisna Alka Ketua Umum Perhimpunan Rakyat Progresif
23/7/2025 05:10
Refleksi Hari Anak Nasional Menumbuhkan Anak Hebat di Tanah Penuh Harap
(Dok. Pribadi)

MENJADI anak Indonesia hari ini serupa menapaki jalan setapak di tengah hutan digital yang lebat. Ada cahaya yang bersinar di antara ranting, ilmu pengetahuan, peluang, jendela dunia terbuka lebar. Namun, ada pula akar-akar disrupsi yang menjegal, jurang kesenjangan pendidikan yang menganga, dan kabut nilai sosial yang kian mengaburkan arah. Anak-anak kita tumbuh, tetapi tak selalu tahu ke mana harus berakar.

Ketika kita bicara tentang ‘anak hebat’, yang terbayang bukan hanya wajah-wajah cemerlang di podium lomba atau angka-angka di rapor yang memukau. Anak hebat adalah ia yang menatap dunia dengan empati, berdiri di antara yang lemah dan tertindas dengan keberanian, serta mampu lentur, tanpa patah dalam pusaran zaman yang berganti cepat. Inilah anak seperti yang dibayangkan Ki Hadjar Dewantara; anak yang tahu siapa dirinya dan tahu dunia tempat ia berpijak.

 

RUANG YANG MEMBENTUK

Sekolah bukan sekadar bangunan berdinding dan bernama. Ia adalah ruang kehidupan—ladang tempat benih masa depan ditanam. Tapi ladang tak hanya butuh pupuk dan alat. Ia butuh matahari yang hangat, air yang mengalir sabar, dan tangan yang merawat dengan cinta. Maka, pendidikan sejatinya bukan proyek teknis atau tumpukan regulasi; ia adalah ikhtiar panjang membentuk manusia dan merawat peradaban.

Ketika Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencanangkan transformasi pendidikan, yang sesungguhnya diperluas bukan hanya kurikulum atau struktur kelembagaan, tetapi kesadaran kita bersama. Anak-anak tidak tumbuh dalam ruang hampa. Mereka hidup di dalam ekosistem: rumah yang mengasuh, sekolah yang menuntun, dan masyarakat yang membentuk.

Teknologi hadir bak jembatan: ia mempermudah, tapi tak menggantikan langkah kaki. Sayangnya, di tengah gegap gempita digitalisasi, kita sering lupa: pendidikan bukan perkara aplikasi, tapi kehadiran. Guru bukan hanya fasilitator, tetapi juga pelita—yang menerangi kelas dengan empati dan makna. Seperti ditulis Abdul Kohar dalam kolomnya yang menyentuh, ruang belajar yang utuh harus joyful, meaningful, dan mindful (Yang Ful-Ful dari Abdul Mu’ti, Media Indonesia, 23/11/2024).

Anak-anak kita tak butuh dunia serbacanggih jika itu membuat mereka merasa asing di rumah sendiri. Mereka butuh pelukan hangat, ruang aman, dan keyakinan bahwa keberadaan mereka berarti. John Dewey mengingatkan dalam Democracy and Education (1997): pendidikan bukan sekadar persiapan menuju kehidupan, tapi kehidupan itu sendiri.

 

RUANG UNTUK BERTUMBUH

Angin perubahan mulai berembus dari ruang-ruang seleksi. Kini, anak-anak yang aktif di OSIS atau kepanduan diberi tempat di jalur prestasi. Seorang guru dari Pontianak, dalam pertemuan Aisyiyah Cadre Camp di Yogyakarta (6 Juli), berkisah: anaknya diterima di Sekolah Menengah Teknik Industri (SMTI), bukan karena angka-angka ujian, tapi karena jejak kepemimpinannya. Betapa lembut cara baru ini menggeser paradigma dari sekadar nilai menuju pengakuan atas keberanian, tanggung jawab, dan kerja kolektif.

Namun, perubahan hanya akan menjadi gema jika tak merambat ke seluruh Tanah Air. Di negeri ini, 3T bukan sekadar label geografis. Ia hadir bahkan di jantung Jawa, di kota seperti Yogyakarta yang selama ini dielu-elukan sebagai barometer pendidikan nasional. Masih ada anak-anak di sudut kampung yang mengunyah harapan dalam gelap listrik dan keterbatasan gizi (detik.com, 5/7/2025).

Akan tetapi, cahaya bisa ditemukan di tempat yang tak disangka. Kalimantan Utara menunjukkan bahwa dengan sinergi dan komitmen, keadilan akses bukan utopia. Dalam pelaksanaan SPMB 2025, provinsi ini menerapkan prinsip transparansi, memanfaatkan teknologi daring, dan menggandeng masyarakat hingga level RT/RW (pwmu.co, 5/7/2025). Ini bukan semata soal seleksi masuk sekolah, tapi tentang mendobrak dinding-dinding eksklusivitas yang lama berdiri.

Namun, keadilan tak cukup tanpa rasa aman. Sekolah tak boleh menjadi tempat yang menakutkan, apalagi membungkam suara. Mendikdasmen Abdul Mu’ti menegaskan bahwa sekolah harus menjadi ‘ruang tumbuh yang dirindukan, bukan ditakuti’ (Kompas, 16/7/2025). Dan, di sinilah pentingnya menilik kembali implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1993) menggemakan satu hal yang penting: “Pendidikan harus membebaskan, bukan mematikan kesadaran!”

Dalam konteks ini, MPLS tahun ajaran 2025/2026 membawa napas baru. Ia tak hanya mengenalkan gedung dan peraturan, tetapi menanamkan Tujuh Kebiasaan Anak Hebat Indonesia, sebuah usaha menjadikan hari pertama sekolah sebagai perayaan, bukan ketakutan. Supaya setiap anak merasakan: sekolah adalah rumah kedua, bukan sekadar ruang uji.

Pendekatan ini selaras dengan semangat deep learning, pembelajaran yang menyentuh, membumi, dan menggembirakan. Bukan hanya mengisi otak, tapi menyiram jiwa. Ia adalah benih perubahan yang akan tumbuh menjadi kesadaran kolektif, menembus ruang kelas, dan menjalar ke seluruh penjuru negeri.

 

RUANG BERNAMA HARAPAN

Namun, di balik semua transformasi itu, ada satu ruang yang tak boleh dilupakan: jiwa anak-anak kita. Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq, dalam diskusi publik di Jakarta bertajuk Merayakan Literasi Keluarga (25/1/2025) menggarisbawahi pentingnya perhatian pada kesehatan mental. Tekanan sosial, perundungan, kecemasan tentang masa depan, semua itu bukan sekadar statistik, tetapi denyut kehidupan sehari-hari yang dialami anak-anak kita. Di sinilah peran guru BK, konselor sekolah, dan teman sebaya menjadi vital. Mereka bukan pelengkap, tapi penjaga lentera agar jiwa anak-anak tak padam di tengah badai.

Akhirnya, kita sampai pada satu kesadaran: anak hebat bukanlah mereka yang menumpuk piala, tapi yang mampu berdiri di tengah terpaan zaman dengan mata jernih, hati lapang, dan cita-cita yang tak mudah ditukar. Mereka yang tetap membumi dalam karakter, tapi tak takut terbang tinggi dalam mimpi.

Tugas kita bukan hanya memberi mereka pengetahuan. Kita mesti menuntun mereka agar berani berpikir kritis, santun dalam berteknologi, dan peduli pada sekitar. Sebab, seperti kata Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrati dalam diri anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Dan, seperti pohon yang tak bisa tumbuh dari satu tangan, anak-anak tak bisa dibentuk sendirian. Tugas orangtua, guru, pemerintah, dan masyarakat ialah merawat bersama. Karena, hanya dengan kebersamaan itulah benih anak-anak hebat bisa tumbuh subur. Dan, hanya dengan anak-anak hebat, Indonesia punya masa depan yang bermartabat.

 

Selamat Hari Anak Nasional.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya