Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Pendidikan dalam Kabut Autopilot

Siti Sarayulis Kepala SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe, alumnus pendidikan di Tampere University
30/6/2025 05:05
Pendidikan dalam Kabut Autopilot
(MI/Duta)

DI tengah gempuran rutinitas dan tuntutan administratif yang tak kunjung surut, dunia pendidikan kerap kali kehilangan nyawanya: kesadaran penuh dalam proses mendidik. Banyak pendidik--meski hadir secara fisik di ruang kelas--justru absen secara batin. Mereka menjalankan peran tanpa gairah, terjebak dalam mode autopilot yang tak lagi memaknai perjumpaan dengan peserta didik sebagai ruang pertumbuhan bersama.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang hidup untuk menggugah potensi dan mempererat relasi antarmanusia, perlahan menjadi mesin produksi hafalan dan kepatuhan. Maka itu, penting bagi kita untuk kembali mempertanyakan: ke mana arah pendidikan kita melaju dan apakah pendidik masih hadir sepenuhnya dalam perjalanannya?

 

TERJEBAK MODE DEFAULT

Mengemban posisi tertentu dalam kurun waktu lama tentu akan membosankan. Otak hanya terlibat aktif dalam kegiatan yang terus-menerus sama. Begitu pula halnya dengan seorang pendidik. Masuk kelas sejak pagi, membersamai anak didik, belajar bersama, kemudian pulang ke rumah. Begitu terus setiap hari. Tanpa disadari, rutinitas itu menjadi perilaku berulang yang dilakukan tanpa kesadaran penuh.

Padahal, esensi kebersamaan antara pendidik dan anak didik bukan hanya kehadiran fisik, melainkan juga keterlibatan ruhani. Di sinilah terbentuk relasi yang positif antara guru dan siswa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Tak jarang kita temui guru yang justru asyik menggulir layar gawai saat proses belajar mengajar berlangsung. Jika hal itu terus terjadi, siapa yang patut disalahkan? Apakah visi-misi sekolah yang keliru? Atau pemangku kebijakan yang lalai mengawasi?

 

KEPUASAN YANG TERLALU DINI

Jika kita mengilas balik, esensi pendidikan adalah humanisasi--memanusiakan manusia sesuai hakikat kemanusiaannya. Potensi peserta didik harus terus digali: aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif perlu berkembang secara seimbang. Akal sebagai anugerah utama manusia mesti didayagunakan, dibimbing oleh pendidik.

Akan sangat ironis jika manusia, yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, justru kehilangan esensinya karena proses pendidikan yang tumpul. Sayangnya, banyak pendidik terjebak rutinitas dan luput tanggap terhadap kebutuhan anak didik. Mereka bukan hanya memerlukan pengetahuan, melainkan juga empati, kenyamanan dalam komunikasi, serta kebermaknaan dalam belajar.

Pendekatan holistik dengan batasan-batasan yang sehat harus diupayakan. Anak didik ialah pribadi utuh yang butuh diapresiasi. Proses mendidik seharusnya tidak hanya dinilai dari hasil akhir. Harmonisasi aspek intelektual, fisik, sosial, emosional, estetika, dan spiritual ialah kunci pendidikan yang utuh.

Pembelajaran pun tak harus selalu monoton di ruang kelas. Interaksi langsung dengan lingkungan akan memperkaya pengalaman belajar. Misalnya, dalam pelajaran bahasa Indonesia dengan topik teks deskripsi, siswa bisa diajak berkeliling sekolah dan menulis dari hasil pengamatan langsung. Selain melatih deskripsi, kegiatan itu juga menumbuhkan rasa takjub pada ciptaan Tuhan.

Kemampuan pendidik untuk mengantarkan anak dari 'tahu' menjadi 'paham' memerlukan usaha ekstra: mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Jika evaluasi tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, mode autopilot pun tak terhindarkan. Kelas menjadi tempat yang stagnan, bukan ruang tumbuh bersama.

 

MENJADI PEKA SEPERTI BAYI

Jika kita ingin menciptakan anak didik yang mindful, pendidik juga harus hadir dengan kesadaran penuh: tanggap terhadap pikirannya sendiri, emosinya, dan lingkungannya. Sayangnya, banyak yang justru terjebak dalam rutinitas yang diatur secara default, kehilangan makna dari tiap tindakannya.

Logika dan rasionalitas dikendalikan oleh otak sadar. Ketika seseorang memilih membaca buku daripada menggulir media sosial, ia sedang menggunakan kesadaran aktif. Namun, otak bawah sadar bekerja seperti mesin otomatis. Ia belajar dari pola masa lalu. Jika suatu kejadian terasa familiar, respons pun muncul tanpa berpikir panjang.

Contohnya, saat pena jatuh dari saku, kita otomatis membungkuk untuk mengambilnya tanpa berpikir. Di sinilah keindahan dari autopilot--menyederhanakan hal-hal kecil. Namun, jika digunakan terus-menerus dalam kehidupan, termasuk pendidikan, autopilot menjadi bumerang.

Guru yang berjalan ke kelas, mengajar seadanya, lalu meninggalkan kelas tanpa arah yang jelas, sesungguhnya sedang berjalan dalam kabut autopilot. Ia tidak benar-benar hadir, hanya melintas di ruang yang mestinya jadi tempat tumbuh bersama.

 

MELAWAN KEBEKUAN

Pendidik perlu menyusun malur perjalanan' setiap harinya. Apa yang menarik dari interaksi hari ini? Apa yang perlu diperbaiki? Tuliskan dalam bentuk refleksi harian. Dengan cara ini, apa yang terjadi di kelas tak lagi sekadar kebetulan, tapi bagian dari proses bermakna yang terus tumbuh.

Jika sudah terlanjur beku, pendidik harus mengejutkan dirinya sendiri. Mungkin dengan mengunjungi tempat baru, atau bila tak memungkinkan, cukup dengan membaca buku. Pengalaman baru akan mengaktifkan kembali sensitivitas dan rasa ingin tahu. Pikiran yang sibuk mencari arah pulang ialah pikiran yang kembali hidup.

Di tengah dunia yang makin cepat dan bising, tak heran jika pikiran kita mudah terjebak dalam autopilot. Maka itu, perlambatlah ritme. Berjalanlah pelan-pelan. Tarik napas dalam-dalam. Biarkan energi positif terpancar dari dalam diri. Saat itu, kesadaran akan diri sendiri kembali muncul.

Emhaf (2022) dalam Seni Berpikir mengajak kita belajar dari bayi--manusia paling berani dalam mengindra dan hidup dalam kesadaran penuh. Namun, seiring dengan usia, kita kerap kehilangan kepekaan itu, terjebak rutinitas hingga lupa merasakan. Sebagai pendidik, kita pun sering terseret mode autopilot, hadir secara fisik, tapi absen secara hati. Padahal, mendidik bukan sekadar mengajar, melainkan juga menanam nilai, membentuk karakter, dan menumbuhkan harapan. Maka itu, mari hidup kembali dengan rasa, aktifkan mode petualang dalam diri, dan sadari kembali: untuk apa kita mengajar, dan siapa yang kita temui setiap hari?

Dalam dunia yang serbacepat, jeda ialah bentuk perlawanan yang bijak. Refleksi, menyimak tawa murid, atau merenung sejenak, dapat menyambungkan kembali niat awal. Pendidikan menjadi perjalanan spiritual jika dijalani dengan kesadaran dan cinta. Hadirlah sepenuh hati sebab di balik setiap pertemuan kecil, tersimpan kekuatan besar untuk mengubah hidup--bagi mereka, dan juga bagi kita.

“Good teaching cannot be reduced to technique; good teaching comes from the identity and integrity of the teacher.” (Parker J Palmer, 1993).

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik