Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PAUS terpilih biasanya memilih nama baru. Pemilihan nama baru tentu bukan tanpa maksud. Konteks dan ceritanya sangat panjang. Namun intinya, satu. Sebagaimana pada umumnya diyakini, nama mencerminkan jati diri dan misi utama yang harus diperjuangkan dalam hidup seseorang. Dalam ungkapan Romawi kuno, hal ini disebut nomen est omen, secara harfiah berarti, nama adalah makna. Itu artinya nama adalah sebuah tanda yang menunjukkan siapa dan apa yang diperjuangkan oleh penyandang nama tersebut.
Ke arah sanalah tujuan tulisan ini. Semua sudah mengetahui bahwa Paus baru Gereja Katolik yang terpilih 8 Mei 2025 itu, yang sekaligus merupakan Kepala Negara Vatikan, memilih nama baru Paus Leo XIV. Adalah Paus Leo XIII sebagai Paus terakhir yang menggunakan nama Leo. Siapa dan apakah Leo XIII ini tentu menjadi signal tentang arah misi pelayanan dari Paus baru ini, yang menurut iman orang Kristen Katolik adalah wakil Allah (vicarius Christi) di dunia.
Signal ini tentu akan memberikan beberapa penekanan pada tugas pelayanan seorang Paus. Secara umum, paus terpilih atas nama Allah dan bersama semua orang yang berkendak baik, memperjuangkan sebuah dunia yang penuh kasih dan adil, setia kawan dan kekeluargaan tinggi semua umat manusia. Ini menjadi dasar bagi terciptanya sebuah dunia yang damai.
Pada saat bersamaan, atas nama Allah dan bersama semua orang yang berkehendak baik, paus ini juga harus membebaskan semua orang yang menderita miskin dan mengutuk akar penyebabnya yang terdapat di dalam struktur sosial ekonomi yang tidak adil, yakni kapitalisme liberal alias ekonomi pasar bebas yang lahir pada abad XVIII.
Pada titik inilah, akan terlihat sumbangsih Leo XIII. Dalam sejarah dunia, perjuangan misi Gereja untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan ekonomi liberal, telah dimulai pertama kali oleh Paus Leo XIII dan Paus Leo XIV mau meneruskan misi perjuangan yang sama.
Paus Leo XIII menjadi paus pada akhir abad XIX hingga awal abad XX (1878-1903). Pada zaman kepausannya, banyak warga masyarakat Eropa dan seluruh dunia jatuh terpanggang kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ini terjadi akibat sepak terjang sistem ekonomi liberal yang lahir bersamaan dengan revolusi industri dan bentuk usaha ekonomi yang disebut korporasi dari tahun 1750-1850.
Sistem ekonomi liberal ini, seperti telah dimaklumi, pada prinsipnya menolak kepemilikan bersama sumber-sumber daya ekonomi. Sumber daya alam planet bumi dimengerti sebagai kekayaan tak terbatas tanpa tuan yang terbuka untuk dieksploitasi oleh siapa saja, dan setiap individu bebas bersaing untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi di mana saja di seluruh dunia.
Bagi kita, tidak sulit sebenarnya untuk memahami sistem ini. Kalau menengok sejarah negeri kita, persis sistem ekonomi liberal inilah yang terjadi di Kepulauan Nusantara selama berabad-abad melalui VOC (Vereenigde Indische Compagnie = Perserikatan Dagang Hindia Timur).
Sejak VOC ditutup karena bangkrut pada tahun 1799, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di seluruh Kepulauan Nusantara adalah perusaaan-perusahaan swasta rakyat Kerajaan Belanda. Pemerintah Kerajaan Belanda di Indonesia hanya hadir untuk mengamankan perusahaan-perusahaan milik swasta Belanda.
Sepak terjang ekonomi kapitalis liberal, yang dieksekusi oleh korporasi swasta ini, sejak awal kelahirannya pada akhir abad XVIII (1776) telah menciptakan ketidakadilan sosial ekonomi secara masif bagi mayoritas warga masyarakat Eropa, dan warga bangsa-bangsa jajahan mereka di Asia dan Afrika. Kaum buruh menjadi sangat miskin. Kehidupan mereka, seperti dilukiskan Karl Max dan Frederic Engels dalam The Communist Manifesto (1848), hampir tak berbeda dengan hewan piaraan di dalam kandang. Rakyat di Kepulauan Nusantara dipaksa penjajah Belanda untuk menanam tanaman perdagangan secara paksa, untuk memenuhi kebutuhan dagang mereka yang disebut Cultuurstelsel.
Terhadap ketidakadilan sistem ini, dunia memberikan reaksi. Mewakili para pemikir saat itu, Karl Max dari Jerman dan Frederic Engels dari Inggris menentangnya dengan menerbitkan The Communist Manifesto tahun 1848 (72 tahun setelah penerbitan The Wealth of Nations dari Adam Smith sebagai sumber suci bagi ekonomi kapitalis liberal yang terbit pada tahun 1776) dan Karl Max seorang diri dengan menerbitkan Das Capital tahun 1867 (91 tahun setelah penerbitan The Wealth of Nations tahun 1776).
Dalam buku tersebut, Karl Max bahkan merancang sistem ekonomi sosialis/komunis yang pada intinya menghapus hak-hak individu dari kebebasan liar untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi yang diusung Adam Smith dalam The Wealth of Nations.
Reaksi dan tanggapan Gereja juga tidak kalah daya terjangnya. Untuk pertama kalinya Gereja bersuara sangat keras. Dari sekian banyak ensiklik yang sudah diterbikan para paus selama sekitar 15 abad sebelumnya, melalui Ensiklik Rerum Novarum (1891), 115 tahun setelah penerbitan The Wealth of Nations (1776) dan 44 tahun setelah penerbitan The Communist Manifesto ( 1848) dan 24 tahun setelah penerbitan Das Capital (1867), untuk pertama kalinya dalam sejarah kekristenan, Gereja Katolik melalui Paus Leo XIII berbicara kepada dunia untuk memberikan kritikan kenabian, dan mengusulkan jalan keluar dari masalah kekerasan dan ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa warga masyarakat dunia, yang ditimbulkan oleh dua sistem ekonomi yang saling bertentangan ini.
Paus Leo XIII menyuarakan kritikannya dalam Ensiklik Rerum Novarum yang secara harafiah artinya “Hal-Hal Baru”. Untuk Gereja Katolik pada masa itu, hal-hal baru dimaksud ialah kekerasan dan ketidakadilan sosial ekonomi.
Melalui Rerum Novarum, Paus Leo XIII atas nama Allah mendesak untuk menegakkan 11 hal sebagai berikut. Pertama, pekerjaan manusia mesti dihargai dan dihormati dengan upah yang adil. Kedua, negara bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak pekerja, memastikan kondisi kerja yang adil, dan mempromosikan keadilan sosial.
Ketiga, negara harus mengintervensi usaha ekonomi untuk menjaga kebaikan bersama. Keempat, hak milik pribadi diakui tetapi penggunaannya mesti disertai dengan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama. Kelima, pemilik barang memiliki kewajiban untuk menggunakan harta benda mereka demi keuntungan orang lain dan kebaikan bersama.
Lalu, keenam, para pekerja memiliki hak untuk membentuk serikat pekerja, berunding bersama dan menerima upah yang adil. Ketujuh, pengusaha harus menyediakan kondisi kerja yang aman dan memperlakukan pekerja secara bermartabat. Kedelapan, solidaritas antarkelas sosial sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil.
Kesembilan, keluarga merupakan fondasi masyarakat dan kestabilannya sangat penting bagi masyarakat. Kesepuluh, pendidikan sangat penting bagi pengembangan manusia dan etika sangat penting dalam mengambil setiap keputusan bisnis dan ekonomi. Kesebelas, keadilan sosial, kebaikan bersama dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi anggota masyarakat yang paling rentan sangat penting dan menjadi prasyarat bagi perdamaian.
Dampak yang terjadi ialah sebaliknya. Sistem ekonomi liberal ini tetap berjalan seperti biasa. Akibatnya, selain semakin memiskinkan warga miskin, ketidakadilan dalam mengeksploitasi sumber daya alam planet bumi di antara negara-negara pengusung kapitalisme liberal sendiri ternyata akhirnya memicu lahirkan Perang Dunia I dan II (PD I & II).
Bukti kasatmata bahwa PD I & II disebabkan oleh kekerasan dan ketakadilan dari sistem ekonomi liberal adalah, bahwa perang ini harus diakhiri dengan menata kembali ekonomi dunia di antara negara sekutu PD II melalui Konferensi tiga Minggu 1-22 Juli 1944 di Bretton Woods Amerika Serikat. Konferensi ini menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang disebut Tata Ekonomi Dunia Baru (The New World Economic Order) yang ditandai dengan didirikannya Bank Dunia, IMF dan GATT/WTO.
Disepakati bersama dalam konferensi itu, bahwa kapitalisme liberal klasik Adam Smith harus ditinggalkan dan diganti dengan sebuah kapitalisme yang lebih lunak yang lazim disebut kapitalisme nasional (state / national capitalism) atau kapitalisme liberal terkendali (regulated liberal capitalism). Tujuan tata ekonomi dunia baru ini tak main-main, bahkan sangat suci, yaitu menciptakan ekonomi dunia seadil-adilnya supaya tidak terjadi lagi perang besar di planet bumi seperti yang pernah terjadi yakni PD I & II.
Akan tetapi tak lama setelah PD II berakhir, negara-negara pengusung kapitalisme liberal Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat mengelompokkan diri menjadi apa yang disebut Blok Barat (Western Block). Grup ini berbenturan kepentingan dengan kelompok negara Eropa Timur yang mengusung sistem sosialis-komunis yang kemudian menjadi Blok Timur (Eastern Block) di bawah pimpinan Uni Soviet.
Benturan antara kedua kelompok pengusung dua sistem ekonomi yang bertentangan ini menciptakan ketegangan luar biasa yang kemudian disebut Perang Dingin (Cold War) dari tahun 1946 hingga keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.
Tapi titik baru muncul tahun 1989. Saat itu rezim pengusung ekonomi komunis, runtuh yang ditandai reformasi GATT menjadi WTO pada tahun 1995. Akibatnya bisa ditebak. Sistem ekonomi kapitalis liberal leluasa beroperasi tanpa ekonomi tandingannya. Ia diibaratkan sebagai seorang petinju yang masuk ring tanpa lawan tanding. Ia pun bisa keluar ring dan meninju siapa saja yang ia jumpai. Ia menyerang semakin gila sehingga disebut wild capitalism atau jungle capitalism (ekonomi dengan gunakan hukum rimba) atau uncontrolled free market economy (ekonomi pasar bebas tanpa kendali).
Cara beroperasinya tidak kelihatan. Semua dengan jalan rahasia, diam-diam dan tanpa diketahui banyak orang. Juga tanpa melalui kesepakatan bersama, melalui sebuah konferensi ekonomi dunia seperti yang terjadi di Breton Woods pada tahun 1944.
Coba bayangkan. Sejak awal tahun 1980-an, resep-resep ekonomi liberal klasik Adam Smith, yang dikubur mati pada tahun 1944, diimplementasikan lagi secara diam-diam dan dipaksa oleh negara-negara kreditur untuk diterapkan di negara-negara berkembang yang sudah terlebih dahulu dijerat dengan utang luar negeri pada Bank Dunia dan IMF sejak akhir tahun 1960-an.
Itulah sebabnya, ia disebut ekonomi neoliberal karena ekonomi pasar bebas tanpa kendali ini merupakan re-inkarnasi dari ekonomi liberal klasik Adam Smith yang dikubur mati pada tahun 1944. Untuk mengamankan pengeksloitasiannya secara bebas tanpa batas ini, pengusungnya, yaitu orang kaya, mengamankan ekonomi ini dengan dengan berlomba-lomba membuat dan menumpukkan senjata termasuk senjata nuklir. Senjata ini jelas dipakai untuk mengamankan ekonomi pasar bebas yang menguntungkan mereka.
Tak terhindarkan lagi, buah pahit sepak terjang sistem ini menyebar dengan sangat massif. Kekerasan merajalela silih berganti tanpa akhir. Perang Teluk (1991), perang lawan terorisme (sejak 2001), konflik suku di Afrika, konflik Sampit, konflik Poso dan Papua, semuanya lahir dari rahim dunia yang mengusung ekonomi pasar bebas tanpa kendali (neoliberalisme).
Belum lagi dengan masalah krisis ekologi, perubahan iklim (climate change), pemanasan global (global warming), bencana alam, perdagangan orang (human trafficking), korupsi publik, pertambangan ilegal, industri geotermal yang dipaksakan, kecurangan pilpres dan pilkada di Indonesia dengan menginjak konstitusi. Semuanya merupakan buat pahit dari sistem ekonomi yang menganut hukum rimba ini, yaitu ekonomi pasar bebas tanpa kendali.
Di dalam Gereja Katolik, semua masalah ini telah menjadi keprihatinan Gereja sejak Paus Leo XIII hingga Paus Leo XIV ini. Dalam Ensiklik Evangelii Gaudium (2013), misalnya, Paus Fransiskus menyebut kapitalisme sebagai tirani tanpa batas dan berhala uang.
Di dalam Ensiklik Laudato si (2015) Paus Fransiskus mengeritik budaya konsumerisme (throw away mentality) sebagai buah ekonomi kapitalis yang mengusung pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Dunia ini semakin maju, kata Paus Fransiskus, tapi banyak sekali yang masih miskin karena dunia dikibuli oleh sebuah teori ekonomi (trickle-down effect economic theory) yang kebenarannya tidak pernah didukung fakta.
Coba lihat di level dunia. Ada beberapa negara yang sudah mencapai kemajuan yang berlebih (over-developed), sementara ada banyak negara lain malah mundur ke belakang (backward). Baik secara global, regional maupun nasional, segelintir orang kaya semakin kaya dan mayoritas orang miskin semakin miskin.
Menurut Eric Tossain dalam buku Debts, IMF dan World Bank (2010), 80% dari 8 milliar penduduk dunia mengkonsumsi hanya 20% dari kue kekayaan alam planet bumi. Sementara 80% kue ekonomi ini dikonsumsi oleh 20% dari 8 milliar penduduk dunia yang kaya.
Di tengah-tengah sistem liberal tanpa kendali seperti inilah Paus Leo XIV memulai karya kepausannya. Ketidakadilan semakin melebar dan kemiskinan semakin merebak.
Sambil menantikan penuh harap kiprah-kiprah Paus Leo XIV dan tanpa bermaksud untuk mendahuluinya, di sini, saya hanya ingin mengutip Felix Wilfred, seorang teolog India (1996), yang terhadap orang miskin sebagai korban kapitalisme liberal, dia mengatakan: “Jika kita ingin supaya misi keperpihakan Gereja terhadap orang miskin (option for the poor) dan terpinggirkan (the marginalized) bisa efektif, maka mau tidak mau hal itu mesti diperjuangkan dengan berdiri melawan sistem ekonomi yang berlaku saat ini, yakni ekonomi kapitalis liberal.
Kita tidak bisa membela orang miskin tapi pada saat yang sama kita mendukung sistem ekonomi yang memangsa orang miskin. Bela orang miskin berarti harus melawan sistem ekonomi yang memiskinan mereka.”
Dengan memilih nama Leo XIV, tampak jelas apa yang menjadi keprihatinan misi pelayanan Paus baru ini. Bersama semua orang yang berkehendak baik dan terutama bersama Allah sendiri, dia mau memperjuangkan sebuah dunia yang damai di atas wadah praktik kasih, keadilan dan persaudaraan semua umat manusia apa pun agama, suku dan bangsanya, serta memerangi semua struktur sosial ekonomi yang merusak kasih, keadilan dan persaudaraan. Demi kebaikan bersama semua umat manusia, atas nama Allah dia harus berdiri dan melawan!
Italia menyatakan dukungan atas usulan Presiden Donald Trump yang menyebut Vatikan dapat menjadi mediator dalam gencatan senjata Ukraina - Rusia.
Paus Leo XIV menambahkan bahwa Gereja perlu membuka diri pada pemahaman baru mengenai peran dan tugas perempuan dalam pelayanan dan soal kepemimpinan.
TERPILIHNYA Paus Leo XIV membawa sukacita dan kebanggaan mendalam bagi rakyat Peru, negara yang merasa telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup pemimpin baru Gereja Katolik itu.
MENTERI Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, hadir dalam pelantikan Paus Leo XIV di Vatikan.
Paus Leo XIV mengutuk eksploitasi kaum miskin dan serukan persatuan gereja dalam misa perdananya di Lapangan Santo Petrus.
Serangan brutal militer Israel ke Jalur Gaza masih terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved