Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
BEBERAPA waktu belakangan, pikiran dan hati saya terusik. Seperti yang telah saya tulis di Calak Edu , Senin (24/7), masalah kekerasan di sekolah belum ditangani dengan baik. Masih banyak kekerasan terjadi di sekolah. Entah itu dilakukan siswa, guru, atau orangtua. Bahkan juga dilakukan calon guru, yang terjadi di salah satu sekolah di Palembang, Sumatra Selatan, beberapa waktu lalu.
Berbagai usaha telah dilakukan berbagai pihak. Terakhir, Kemendikbud-Ristek mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan di Tingkat Satuan Pendidikan. Pertanyaannya kemudian, apakah peraturan itu akan efektif menurunkan, bahkan menghilangkan kekerasan di sekolah? Jika kiranya tidak efektif, apa yang seharusnya menjadi perhatian dan penting untuk dilakukan?
Kritik Permen 46/2023
Permen No 46 Tahun 2023, ketika diluncurkan melalui kanal Youtube (16/8), dipenuhi dengan optimisme yang tinggi akan mampu mencegah dan menangani masalah kekerasan di sekolah. Beberapa poin positif ada dalam Permen ini. Pemaknaan bentuk kekerasan diperluas hingga mencakup bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan.
Tindakan kekerasan yang ditangani juga bukan hanya kekerasan secara fisik dan verbal, melainkan juga kekerasan nonverbal melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Hal lain yang patut diapresiasi ialah penanganan tindak kekerasan yang dijabarkan secara rinci dalam pasal-pasal Permen ini. Akan tetapi, Permen ini bukan tanpa kritik.
Hal yang menjadi perhatian penting dalam Permen ini ialah penekanan yang sangat besar dalam hal penanganan kekerasan dan minimnya pembahasan mengenai pencegahan kekerasan. Dalam hal penanganan kekerasan, Permen ini sepertinya dipenuhi asumsi bahwa warga sekolah, terutama guru, telah menghidupi nilai-nilai nirkekerasan dalam keseharian mereka.
Padahal, dalam kenyataannya masih banyak guru yang abai dan melakukan tindak kekerasan, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan struktural dengan mengeluarkan peraturan-peraturan sekolah yang diskriminatif. Selanjutnya, pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tiap satuan pendidikan yang dikehendaki dalam Permen ini, dengan kenyataan banyaknya guru yang belum menghidupi nilai damai dan nirkekerasan, sepertinya tidak akan berjalan efektif. Dalam pelaksanaannya nanti dikhawatirkan hanya akan menjadi pemenuhan syarat administratif semata.
Pesimisme yang terlalu besar ini bukan tanpa alasan. Ketika mengikuti acara peluncuran Permen No 46 Tahun 2023 melalui kanal Youtube, kolom komentar menjadi tempat yang menarik untuk diperhatikan. Guru dari berbagai penjuru Indonesia menghadiri acara tersebut, tetapi sayangnya mereka hanya peduli pada masalah kehadiran.
Mayoritas guru hanya menuliskan kehadirannya dalam kolom komentar. Lebih miris ketika sebagian guru kemudian fokus menanyakan di mana tautan daftar hadir. Tidak ada komentar guru yang membahas dan mendiskusikan isi Permen ini. Contoh miris lain yang menambah pesimisme terjadi dalam grup Whatsapp yang dibuat untuk mewadahi diskusi lebih lanjut peserta Diskusi Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) yang diadakan Yayasan Sukma, Juli lalu.
Ketika peserta non-guru menginisiasi perbincangan mengenai kejadian-kejadian kekerasan di sekolah dan mengajak peserta guru untuk ikut berkomentar, tidak satu pun guru yang ada di dalam grup Whatsapp tersebut berkomentar, bahkan sekadar untuk menunjukkan rasa prihatinnya. Pertanyaan sedih yang harus diajukan, apakah guru sebenarnya peduli pada topik kekerasan di sekolah?
Urgensi pendidikan damai dan nirkekerasan
Dalam Permen No 46 Tahun 2023, topik pencegahan dibahas sangat pendek dengan menyatakan perlunya penguatan tata kelola, edukasi, dan penyediaan sarana dan prasarana. Dalam hal edukasi, pernyataannya sangat normatif, dengan menyatakan bahwa kementerian, pemerintah daerah, dan sekolah melakukan sosialisasi tata tertib dan program pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah dan melaksanakan penguatan karakter melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan nirkekerasan kepada seluruh warga sekolah. Akan efektifkah itu?
Jika kita ingin membuat perubahan yang berkelanjutan, perubahan manusia ialah fondasinya. Strategi intervensi yang efektif dan berdampak jangka panjang harus dimulai dengan perubahan pada level individu, terutama pada individu kunci yang memiliki kuasa; kuasa membuat kebijakan dan kuasa memengaruhi (CDA Collaborative Learning Projects, 2016).
Ketika individu, terutama individu kunci, memiliki cara berpikir yang sesuai, maka akan muncul usaha dan peraturan yang baik dengan implementasi yang bisa dipastikan akan berjalan efektif. Begitu pula dengan pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, kita harus memastikan guru-guru, terutama yang berada dalam posisi manajemen sekolah, memahami dan menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan.
Jangan sampai guru yang memiliki semangat untuk menangani kekerasan di sekolah, tetapi kemudian semangat itu lambat laun sirna ketika kepala sekolah tidak memiliki semangat yang sama dan tidak peduli pada kejadian-kejadian kekerasan di sekolahnya.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, edukasi menjadi bagian urgen, yakni edukasi yang memastikan guru sebagai insan pengabdi nilai-nilai damai dan nirkekerasan. Sayangnya, usaha itu belum dilakukan dengan baik, bahkan sejak mereka di fakultas kependidikan.
Dua mahasiswa Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM yang berasal dari fakultas kependidikan di dua universitas berbeda menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan materi perdamaian maupun nirkekerasan ketika kuliah di tingkat sarjana. Guru di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) juga menyampaikan hal yang sama.
Mereka baru terpapar dengan materi perdamaian dan nirkekerasan ketika bekerja di SSB, yang secara serius memastikan setiap guru yang mengajar harus menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan melalui pelatihan pendidikan perdamaian yang kontinu.
Proses pemahaman dan internalisasi ini seharusnya dimulai sejak guru mengikuti pendidikan di fakultas kependidikan. Calon guru harus terpapar secara terus-menerus dengan topik perdamaian dan nirkekerasan sejak dini.
Dengan begitu, ketika menjadi guru, mereka paham bahwa guru, apa pun mata pelajaran yang diampu, sudah seharusnya menjadi agen perdamaian dan nirkekerasan yang nantinya akan menanam dan menumbuhkan nilai-nilai damai dan nirkekerasan kepada siswa. Kekerasan di sekolah bisa dihentikan dan dihilangkan. Kunci utamanya ada pada guru yang menghidupi nilai-nilai damai dan nirkekerasan.
DALAM beberapa tahun terakhir, konsep pembelajaran mendalam (PM) semakin mendapat perhatian dalam dunia pendidikan.
SEKOLAH saat ini tidak hanya dituntut mencetak siswa unggul akademik, tetapi juga membentuk manusia yang utuh: memiliki kedalaman spiritual, ketangguhan mental, dan kepedulian sosial.
Namun, di era digital saat ini, ruang digital atau internet juga menjadi lingkungan penting yang tak bisa diabaikan dalam pembentukan karakter anak.
SETIAP bulan Mei, kita diingatkan pada dua tonggak sejarah bangsa yang seharusnya memperkuat arah pembangunan pendidikan nasional.
DALAM sebuah seminar tentang pembelajaran mendalam (PM), seorang guru bertanya, “Bagaimana saya tahu kalau saya sudah mengajar sesuai prinsip PM dengan benar?”
BEKERJA dan mendidik sebagai guru hampir selalu beriring dengan kepercayaan bahwa masa depan kehidupan berada di tangan generasi yang lebih muda; para murid dan pembelajar
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved