Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Merampungkan Indonesia-EU CEPA

Dandy Rafitrandi Peneliti, Departemen Ekonomi CSIS Indonesia
09/5/2023 05:15
Merampungkan Indonesia-EU CEPA
(Dok. CSIS)

DALAM kesempatan kunjungan di Hannover Messe di Jerman beberapa pekan yang lalu, Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan dukungan kepada negara-negara Uni Eropa untuk dapat segera merampungkan negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA), yang sudah memasuki putaran perundingan ke-13.

Indonesia berhasil meningkatkan perdagangan total dengan Uni Eropa hingga US$33,2 miliar tahun lalu, atau meningkat sebesar 14% jika dibandingkan dengan tahun 2021. Ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa mencapai US$ 21,5 miliar, lebih tinggi 19,4% dari tahun 2021.

Urgensi yang dikemukakan Presiden Joko Widodo cukup dapat dipahami karena sebagai anggota G-20 dengan total PDB US$16 triliun dan penduduknya hampir mencapai 700 juta jiwa, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Uni Eropa dapat dikatakan berada jauh di bawah potensi seharusnya. I-EU CEPA diharapkan dapat membawa hubungan ekonomi yang lebih kuat antara kedua belah pihak.

Studi yang dilakukan oleh CSIS Indonesia tahun 2021 menggarisbawahi beberapa poin penting, mengapa Indonesia perlu memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara Uni Eropa melalui I-EU CEPA. Yang pertama, sebagian besar produk-produk Indonesia masih memanfaatkan tarif preferensial Generalised Scheme of Preferences (GSP), yang hanya berlaku untuk negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.

Fasilitas tersebut mungkin tidak lagi tersedia seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dalam waktu yang dekat.

Kedua, Indonesia juga harus dapat meningkatkan kemampuan untuk bersaing dengan berbagai negara pesaing kita. I-EU CEPA diharapkan dapat memperluas akses pasar dan menjaga daya saing produk Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Untuk itu, Indonesia perlu belajar lebih banyak dari Vietnam, yang telah menyelesaikan perundingan dengan Uni Eropa pada tahun 2020. Total ekspor Vietnam ke Uni Eropa mencapai US$60 miliar atau hampir tiga kali lipat dengan surplus perdagangan yang mencatat hampir lima kali lipat jika dibandingkan Indonesia. Ekspor ke Uni Eropa tercatat naik hingga 76% jika dibandingkan perdagangan pada tahun 2020 sebelum FTA antara keduanya berjalan.

 

Perdagangan dan investasi

Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, keterbukaan ekonomi di Vietnam cenderung berada di atas rata-rata. Misalnya, dilihat dari rasio perdagangan internasional terhadap PDB Vietnam mencapai 93,3% pada tahun 2021, jika dibandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar 21,6%.

Tingginya aktivitas ekspor ataupun impor di Vietnam juga menunjukkan bahwa Vietnam memiliki partisipasi yang tinggi dalam rantai nilai global dan regional. Keberhasilan Vietnam, dalam meningkatkan daya saing ekonomi juga tidak lepas dari peranan investasi luar negeri yang secara konsisten masuk ke Vietnam. Hal ini, dapat terlihat dari rasio investasi luar negeri terhadap total PDB Vietnam hampir selalu konsisten di atas tren dunia.

Di saat tren stagnasi dan deindustrialisasi terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, produksi barang di Vietnam terus meningkat, terutama sektor manufaktur. Dengan iklim investasi yang mendukung, Vietnam juga menjadi salah satu negara yang dapat dikatakan sukses melakukan upgrading produk-produk ekspor dari produk berteknologi rendah ke tinggi dalam satu dekade terakhir. Data dari Bank Dunia di tahun 2020 menunjukkan, bahwa sekitar 40% produk manufaktur yang diekspor oleh Vietnam merupakan produk dengan teknologi tinggi (high-tech export) jika dibandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar 8,4%.

 

Komitmen politik dan konsistensi

Perjanjian perdagangan antara Vietnam dengan Uni Eropa menghapus hampir seluruh pos tarif dan membuka sektor-sektor investasi. Perjanjian ini juga mencakup isu-isu yang sering dianggap sebagai kelemahan dari negara berkembang, seperti isu persaingan usaha, hak tenaga kerja, perlindungan lingkungan, dan hak kekayaan intelektual.

Berbagai isu itu sering menjadi permasalahan bagi Indonesia dalam perundingan dengan Uni Eropa karena kekhawatiran bahwa Indonesia akan menjadi pihak yang dirugikan jika berbagai kesepakatan tersebut diimplementasikan. 

Tetapi, Vietnam justru mampu menjadikannya sebagai dorongan untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi di dalam negeri. Vietnam berhasil menyelesaikan perjanjian bilateral pertama dengan AS pada tahun 2001 dan secara resmi menjadi anggota WTO pada 2005. Setelah itu, Vietnam menjadi salah satu negara peserta CP-TPP, sebuah perjanjian perdagangan yang dianggap memilki standar dan kualitas komitmen tertinggi, sebelum juga menyelesaikan FTA dengan Uni Eropa.

Berbagai perjanjian itu, mendorong Vietnam terus melanjutkan reformasi ekonominya. Investor luar negeri juga menjadikan partisipasi aktif Vietnam dalam perjanjian perdagangan internasional, sebagai salah satu indikator konsistensi pemerintah untuk melanjutkan perbaikan ekonomi.

Tentu saja, perlu ada mekanisme untuk dapat menerjemahkan perjanjian perdagangan internasional dengan kerangka kebijakan nasional. Vietnam memiliki UU Manajemen Perdagangan Internasional, yang secara khusus mengatur penanggung jawab dan tugas pokok masing-masing institusi pemerintah dalam perjanjian perdagangan. Vietnam, juga memberikan perhatian terhadap implementasi perjanjian perdagangan di daerah dan berencana untuk membuat Indeks FTA di daerah pada tahun ini, yang mengukur partisipasi dan utilisasi perjanjian perdagangan.

 

Pertimbangan kondisi geopolitik terkini

Melihat perkembangan terbaru dalam tensi geopolitik dan strategis, RI dan Uni Eropa juga perlu mempertimbangkan untuk membangun lebih banyak ‘jembatan’ dan berkompromi secara baik untuk mencapai tujuan ekonomi yang strategis bagi kedua pihak. Tensi geopolitik yang masih cukup tinggi di Eropa, akibat perang antara Rusia dan Ukraina serta aspirasi Uni Eropa untuk melakukan diversifikasi dalam rangka menurunkan risiko (de-risking) kepastian rantai pasok membuat rampungnya I-EU CEPA semakin relevan dan mendesak.

Terakhir, Indonesia harus dapat melihat peluang I-EU CEPA ini sebagai modal untuk mendorong upaya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Termasuk, mempercepat agenda transisi energi untuk mencapai karbon netral pada 2060. Dengan adanya I-EU CEPA, diharapkan dapat mengundang investasi berkualitas tinggi dari Uni Eropa dalam bentuk pembiayaan iklim, infrastruktur hijau, dan teknologi energi terbarukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki kepastian dalam perlindungan investasi dan berkomitmen pada standar ketenagakerjaan dan lingkungan yang memadai.

Terakhir, perlu diingat bahwa kerja sama ekonomi memainkan peran penting dalam pembangunan kapasitas untuk memfasilitasi investasi, misalnya membantu usaha kecil dan menengah (UKM) untuk memanfaatkan I-EU CEPA.

Dengan demikian, besar harapan putaran negosiasi I-EU CEPA selanjutnya yang dijadwalkan pada bulan Mei ini dapat menghasilkan perkembangan dan kemajuan yang signifikan, untuk mengwujudkan hubungan ekonomi dan strategis antara Indonesia dan Uni Eropa yang setara dan saling menguntungkan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya