PUASA merupakan salah satu praktik keagamaan yang sudah dilakukan manusia sejak zaman dahulu. Puasa menjadi bagian dari tradisi dan praktik keagamaan yang diwarisi dari generasi ke generasi dalam berbagai budaya dan agama, seperti umat Muslim yang berpuasa selama lebih dari 1400 tahun, umat Kristen, kepercayaan Hindu, Buddha, Yahudi, dan lainnya. Puasa juga dikaitkan dengan sejumlah manfaat kesehatan.
Banyak dokter merekomendasikan puasa sebagai bagian dari pengobatan atau terapi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, seperti obesitas, hipertensi, diabetes, dan masalah pencernaan. Bahkan, puasa terapeutik dilaporkan sebagai metode pengobatan efektif untuk epilepsi pada tahun 1920-an dan masih digunakan hingga saat ini.
Saat berpuasa, tubuh mengalami perubahan bioseluler untuk mengatasi kekurangan asupan makanan. Pertama, tubuh mencari sumber energi alternatif karena tidak lagi menerima asupan karbohidrat dari makanan sebagai bahan bakar utama. Sebagai gantinya, tubuh mencari sumber energi lain, yaitu lemak dan protein. Proses ini melibatkan konversi lemak dan protein menjadi senyawa yang dapat digunakan tubuh sebagai sumber energi, seperti keton dan glukosa yang dihasilkan dari protein melalui glukoneogenesis.
Baca juga: Meneguhkan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Kedua, saat makan, tubuh menghasilkan insulin untuk membantu mengatur kadar gula darah. Saat berpuasa, kadar insulin dalam tubuh menurun, sehingga memicu penggunaan lemak dan protein sebagai sumber energi. Ketiga, saat berpuasa, tubuh mengalami penurunan tingkat metabolisme basal, yaitu jumlah kalori yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan fungsi organ dan kegiatan seluler pada kondisi istirahat. Perubahan ini terjadi karena tubuh mencoba menghemat energi dan memperlambat proses metabolisme. Keempat, selama puasa, tubuh memiliki kesempatan untuk membersihkan diri dari zat toksin atau limbah metabolik yang terakumulasi dalam tubuh.
Orang yang berpuasa normal mengalami empat fase bioseluler selama berpuasa. Dalam 8 jam pertama, tubuh masih menggunakan sisa makanan sebagai sumber energi. Setelah itu, tubuh memasuki fase glycolysis, di mana cadangan gula pada hati dan otot digunakan sebagai sumber energi. Proses ini berlangsung selama 8-12 jam setelah makan terakhir. Setelah 19-48 jam, tubuh masuk ke fase gluconeogenesis, di mana asam laktat dan asam amino digunakan sebagai sumber energi.
Fase pertama dan kedua tidak berbahaya, tetapi fase ketiga dianggap berbahaya oleh beberapa ahli. Jika seseorang terus berpuasa setelah 48 jam, tubuh akan memasuki fase augmented keton metabolism, yang dianggap berbahaya oleh sebagian ahli. Oleh karena itu, berpuasa selama 19-48 jam sehari dianggap aman dan tidak membahayakan tubuh.
Puasa Ramadhan telah diteliti secara sistematis dan ditemukan dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol dan berat badan dan kadar gula. Namun, tujuan utama berpuasa bagi orang Muslim adalah untuk menjadi insan takwa dan bukan untuk kesehatan. Manfaat kesehatan dianggap sebagai bonus dan tidak menjadi hal utama.
Oleh karena itu, sebaiknya kesempatan melakukan ritual Ramadhan dimanfaatkan dengan bijaksana. Jangan ada restriksi yang berlebihan terhadap kegiatan agama. Ini adalah kesempatan bagi ummat Islam untuk berupaya mencapai tingkat ketakwaan. Beberapa tahun lalu, mereka tidak bisa melakukan ini karena pandemi. Masak sekarang harus dibatasi lagi, sementara situasi pandemi sudah terkontrol baik?