Jumat 17 Februari 2023, 05:00 WIB

Valuasi Ekonomi dan Sosial Kerja PRT

Eva K Sundari Institut Sarinah | Opini
Valuasi Ekonomi dan Sosial Kerja PRT

MI/Duta
Ilustrasi MI

 

‘PERLAKUKAN pekerjamu dengan baik. Jangan karena kasihan, tetapi sebagai bentuk terima kasih kita kepada mereka. Semua rezeki dan kenikmatan hidup kita adalah karena keberadaan mereka’ (KH Abdulah Aniq Nawawi, 2023).

Kutipan hadis di atas disampaikan KH Aniq Nawawi pada saat Istiqosah Qubro untuk mendukung pengesahan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) menjadi UU pada Sabtu (4/2) yang diselenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kiai muda itu kemudian menantang kita untuk menghitung ‘ongkos’ apabila para PRT tidak hadir dalam kehidupan kita.

Tantangan tersebut sudah menjadi kajian para feminis ekonom sejak 20 tahun lalu. Penghitungan kontribusi PRT kepada rumah tangga pemberi kerja tidak saja berdimensi ekonomi, tetapi juga sosial.

Topik itu relevan untuk peringatan Hari PRT Nasional tanggal 15 Februari yang telah diperingati banyak pihak di banyak tempat, termasuk di media sosial. Pesan dan rekomendasi semuanya sama, yaitu perlunya segera mengesahkan RUU PPRT.

RUU PPRT yang sudah 19 tahun mengeram di DPR tidak segera masuk sidang paripurna DPR meskipun Presiden pada 18 Januari sudah memintanya. Imbauan yang sama dari Presiden untuk RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) direspons DPR hanya dalam waktu seminggu.

Penantian RUU PPRT kembali disalip RUU Kesehatan pada Selasa (14/2), setelah sebelumnya disalip RUU TPKS dan RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak). Dengan demikian, RUU PPRT sudah 2,5 tahun di meja Ketua DPR tanpa pernah didisposisi menjadi agenda pengesahan di sidang paripurna.

Nasib sektor informal dan domestik selalu dianggap tidak penting, menyangkut nasib 13 juta PRT di dalam dan luar negeri, yang semuanya berasal dari 26,3 juta penduduk miskin. Riset ILO (2015) menunjukkan, 80% dari jumlah PRT tersebut ialah perempuan dan 14% anak-anak.

Dari perspektif feminisme, diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi isu perempuan merupakan dampak kekuasaan yang masih patriarki. Bias patriarki dalam pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijakan publik penyulut adanya gender gap Indonesia memburuk selama 20 tahun ini.

Penghargaan terhadap kerja domestik dan khususnya oleh para PRT juga bernasib sama. Hal itu bisa dilihat dari gaji PRT sesuai dengan harga pasar yang sangat rendah dan tidak mencerminkan ‘nilai’ sesungguhnya.

ILO (2010) menyimpulkan, penghargaan kerja-kerja di sektor domestik dan informal sebagai ‘undervalued, underpaid, unprotected, and poorly regulated (dihargai rendah, dibayar rendah, tidak dilindungi, dan miskin regulasi)’.

Yang dialami para PRT kita, bahkan lebih menyedihkan karena tidak diurus (unregulated) negara. Dampaknya, ribuan PRT menjadi korban penipuan, penyiksaan, penyekapan, hingga menyebabkan kecacatan fisik dan mental, bahkan hingga meregang nyawa yang sering dilakukan para pemberi kerja. Data dari Jala PRT (2023) menyatakan menerima pengaduan sebanyak 10/11 per hari.

Ada empat aras penghitungan nilai kerja domestik yang masing-masing saling memengaruhi dan memberi dampak. Aras pertama, rumah tangga PRT; kedua, rumah tangga pemberi kerja; ketiga, negara dan keempat, perekonomian global.

Kita akan bahas aras kedua untuk menjawab apa dampak RUU PPRT bagi pemberi kerja karena judulnya mengindikasikan seolah hanya untuk kepentingan PRT. Padahal, judul tersebut ialah bentuk afirmasi karena statistik menunjukkan kebutuhan PRT terhadap perlindungan jauh lebih besar ketimbang pemberi kerja.

Bagaimanapun realitas antara pemberi dan penerima kerja yang asimetris ialah keniscayaan abadi. Bahkan, saat kelak UU PPRT sudah disahkan pun relasi kuasa itu akan tetap demikian. Keberadaan UU PPRT bertujuan mencegah pola relasi yang asimetris tersebut tidak berujung pada diskriminasi dan kekerasan pada PRT.

Relasi asimetris antara pemberi dan penerima kerja timbul ketika kemiskinan meningkat, sementara kualitas SDM keluarga miskin masih rendah. Ada kondisi over supply dari sisi PRT. Walaupun sebenarnya perjanjian kerja merupakan upaya untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak.

Adanya diskriminasi berbasis gender, juga penyebab PRT mendapatkan pembayaran yang underpaid. Data dari World Bank (2021) menunjukkan, di sektor informal Indonesia perempuan diupah separuh dari laki-laki.

Riset Jala PRT sebelumnya (2019) sudah menunjukkan para perempuan hanya menerima gaji 20%-30% dari UMR. Ini menegaskan bahwa semua PRT kita ialah dari keluarga prasejahtera.

Situasi rawan (unprotected) PRT diperkuat data jumlah kepesertaan PRT dalam asuransi ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan (2021) menunjukkan, dari sekitar 13 juta PRT hanya ada 150 ribu orang yang sudah memiliki perlindungan Jamsostek, itu pun didominasi pekerja migran Indonesia (PMI) sebanyak 147,5 ribu pekerja. Sisanya, yaitu 2.018 pekerja ialah yang terdaftar sebagai PRT pada kategori pekerja bukan penerima upah (BPU).

 

Mengoreksi upah PRT

Ada alternatif menghitung nilai kerja PRT yang dikembangkan Razavi (2007), seorang ekonom feminis yang memperkenalkan konsep ilmu ekonomi perawatan (care economics). Razavi menghitung nilai kerja perawatan orang secara langsung, baik yang berbayar (bukan anggota keluarga) maupun yang tak berbayar (oleh anggota keluarga).

Kerja perawatan orang bisa dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya, di rumah sakit atau di rumah jompo. Namun, definisi tersebut kemudian diperluas dengan memasukkan kerja yang tidak langsung, tetapi untuk mendukung perawatan orang secara langsung sebagai bagian dari care economics.

Kerja domestik seperti memasak, mencuci, bersih-bersih dalam dan luar rumah, merawat taman, bahkan sopir bisa dimasukkan sebagai care economics. Dalam RUU PPRT, hal tersebut telah dimasukkan ruang lingkup pekerjaan rumah tangga.

Dalam care economics, valuasi ialah proses penentuan nilai saat ini (present value) dari pekerjaan RT. Ada dua pendekatan, yaitu berdasar ongkos input (gaji) atau berdasar harga output (yang telah dihasilkan). Keluaran (output) dianggap sebagai produktivitas seorang PRT. Pendekatan output ini dipandang bisa mencegah terjadinya undervalued kerja PRT.

Satu ekonom feminis dari Afrika Selatan, Budlender (2011), menjelaskan jam kerja yang digunakan PRT untuk memberikan jasa pelayanan bisa dijadikan sebagai dasar penghitungan estimasi produktivitas PRT dalam pendekatan output. Misalkan, makin pendek waktu menyuapi anak, memandikan, atau mengganti popoknya diartikan semakin terampil/produktif seorang PRT.

Selain penghitungan produktivitas ekonomi PRT sebagaimana di atas, Budlender juga mengajukan teori penghitungan valuasi sosial seorang PRT. Peran mereka, dalam meningkatkan kualitas hidup rumah tangga tempat PRT bekerja merupakan nilai sosial dari PRT.

Kehadiran PRT yang membuat kehidupan lebih mudah dan nyaman bagi anggota keluarga, termasuk mengurangi tekanan mental bagi istri, suami, dan anak-anak ialah nilai sosial PRT. Ketenangan pikiran majikan saat bekerja di luar karena anak-anak dan warga lansia di rumah sudah ada yang mengurus dan menjaga adalah nilai sosial PRT.

Formula yang diajukan ialah dengan menghitung jam kerja PRT dikalikan dengan pendapatan per jam (hourly earnings). Ada empat pendekatan yang bisa digunakan sebagai faktor pengali, yaitu (a) rata-rata pendapatan per jam, misalnya di Prancis, kerja paruh waktu 7 euro per jam; (b) pendekatan opportunity cost; (c) pendekatan generalis; dan (d) pendekatan spesialis.

Kembali ke tantangan Gus Abdullah Aniq, kita bisa simulasi secara kasar menggunakan konsep kedua, yaitu opportunity cost. Kita akan menghitung berapa PRT seharusnya mendapat upah atau berapa biaya yang harus dikeluarkan pemberi kerja jika tidak mempekerjakan PRT.

Pengeluaran pasutri bergaji ASN, misalnya, akan sangat berat jika mereka harus menitipkan anaknya di daycare yang tarifnya di Jakarta mencapai Rp400.000 per hari atau Rp8 juta per bulan. Apalagi, jika ada warga lansia yang harus dititipkan, pengeluaran bertambah lagi Rp4 juta per bulan.

Pengeluaran akan bertambah jika kemudian harus membeli alat pengaman rumah, peralatan rumah tangga canggih agar memudahkan mengurus rumah. Bahkan, pasutri mungkin harus menyewa satpam kampung untuk mengawasi rumah dengan bayaran per minggu. Atau mereka harus menyewa Go-clean seminggu sekali yang tarifnya Rp15 ribu/m2 untuk jasa basic saja karena terlalu capek kerja di kantor.

Kesempatan penting yang hilang jika tanpa PRT ialah kesempatan berkarier dan mencari penghasilan di sektor publik. Pendapatan di sektor publik tentu hasilnya berlipat luar biasa ketimbang pengeluaran untuk membayar upah PRT sesuai dengan harga pasar (yang underpaid).

Dalam konteks itu, kehadiran PRT juga menjadi harapan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja yang masih sangat rendah (56%). Jika kita bisa meningkatkan partisipasi perempuan sebesar 25% pada 2025, akan ada tambahan GDP sebesar 2,9% atau senilai US$62 miliar (World Bank 2021).

Perbaikan tata kelola pasar pekerja RT juga akan bisa mempersempit gap upah laki-laki dan perempuan di sektor informal yang saat ini mencapai 50% tersebut. Jika ada perbaikan upah pekerja perempuan di sektor informal, akan berdampak pada perbaikan gender gap. Hal itu akan mendorong peningkatan produktivitas para pekerja perempuan, baik di sektor domestik maupun sektor publik, sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih dipacu.

Perbaikan kesetaraan gender, pada gilirannya akan berdampak positif pada pencapaian 10 dari 17 target SDGs lainnya. Jadi, pengesahan RUU PPRT dibutuhkan semua orang karena banyak rumah tangga tidak bisa berjalan tanpa PRT. Bahkan, buruh pabrik di Pulogadung pun membutuhkan PRT meskipun gajinya juga rendah.

Baca Juga

Ist

Layanan Inseminasi Lebih Hemat di RSIA Sam Marie Basra, Jakarta Timur

👤Media Indonesia 🕔Jumat 09 Juni 2023, 17:22 WIB
 Layanan Inseminasi di RSIA Sam Marie Basra, Jakarta Timur. dengan harga awal Rp 4.891.000 menjadi Rp...
Ist

Antisipasi Potensi Patologi Pemilu 2024

👤Silvany Dianita, M.Psi, Pranata Humas Ahli Muda BPSDM Kemendagri 🕔Jumat 09 Juni 2023, 13:12 WIB
Praktik money politics melibatkan penggunaan uang atau imbalan materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih atau para pengambil...
Ilustrasi

Marketplace dan Quo Vadis Profesi Guru

👤Cecep Darmawan Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI 🕔Jumat 09 Juni 2023, 05:05 WIB
KEBIJAKAN pendidikan nasional kembali disorot. Kini wacana marketplace guru yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan,...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya