Rabu 01 Februari 2023, 05:00 WIB

Islam dan Kepemilikan Harta bagi Perempuan

Ai Fatimah Nur Fuad Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta Pengurus Majelis Dikti PP ‘Aisyiyah dan Pengurus Komisi HLNKI-MUI Pusat | Opini
Islam dan Kepemilikan Harta bagi Perempuan

Dok. Pribadi

 

ANTARA laki-laki dan perempuan, walaupun memiliki potensi yang sama, kemampuan yang sama, wawasan yang sama, dalam kepemilikan harta, laki-laki tetap lebih dominan. Mengapa demikian? Benarkah Islam mendiskriminasi perempuan dalam kepemilikan harta? Bagaimana peran Muhammadiyah?

Data di berbagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim menunjukkan bahwa laki-laki memiliki lebih banyak harta (properti) jika dibandingkan dengan perempuan. Hal itu di antaranya dipengaruhi budaya patriarki yang lebih memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk bekerja. Sementara itu, perempuan kurang diberikan ruang dan kesempatan untuk bekerja.

Budaya patriarki secara tidak langsung membuat pembagian kerja yang menempatkan laki-laki lebih berpeluang mendapatkan harta. Laki-laki bekerja di luar rumah, sedangkan perempuan mengurusi persoalan domestik seperti mengasuh anak-anak di dalam rumah. Dengan kata lain, dalam budaya patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai aktor ekonomi. Di sisi lain, perempuan yang diharuskan mengurusi masalah domestik akan memiliki ketergantungan ekonomi pada suaminya. Tidak mengherankan jika kepemilikan harta dalam budaya patriarki menjadi domain laki-laki.

Pada dasarnya, dalam konteks masyarakat maju, kesempatan perempuan untuk bekerja semakin terbuka dan semakin banyak. Perempuan juga mendapatkan akses pendidikan lebih tinggi yang berimbas pada jenis pekerjaan yang semakin baik dan kemandirian finansial mereka. Perempuan mampu memiliki rumah, kendaraan, tanah, perhiasan, dan bentuk harta lainnya dengan surat-surat kepemilikan harta tersebut atas namanya sendiri. Sayangnya, pada masyarakat tertentu masih ada perempuan yang belum memiliki kontrol penuh atas pengelolaan harta mereka.

Salah satu contohnya ialah perempuan di masyarakat muslim tertentu yang ingin menjual, menyewakan, dan mengelola harta mereka harus didampingi saksi laki-laki untuk bersaksi atas identitas mereka atau meminta izin dari suami ataupun saudara laki-lakinya. Dominasi laki-laki dalam kepemilikan dan pengelolaan harta ialah bagian dari budaya patriarki. Kondisi ini menunjukkan meskipun kemajuan dalam masyarakat muslim telah memberikan banyak keuntungan kepada perempuan seperti akses pendidikan dan pekerjaan, budaya patriarki masih menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif.

MI/Seno

 

Islam dan harta perempuan

Dalam ajaran Islam, perempuan diberikan potensi yang sama dengan laki-laki untuk bekerja di luar rumah, mendapatkan gaji/upah, dan memiliki harta. Harta (al-maal) yang disebut sebanyak 82 kali di dalam Al-Qur’an memiliki nilai penting dan strategis dalam mencapai kesejahteraaan hidup pemiliknya, baik laki-laki maupun perempuan (lihat QS Al-Baqarah [2]:177, 155, 261-262, 247; QS Al-Imran [3]:186; QS An-Nisa [4]:5; QS Al-Kahfi [18]:46; dan QS Al-Anfal [8]:28). Islam juga mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan dapat memiliki harta dengan benar (QS An-Nur [24]:33; QS An-Nisa [4]:5 dan 29), serta bagaimana mengumpulkan, mengelola, dan mengalihkan kepemilikannya (QS An-Nisa [4]:95).

Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada semua manusia (yaa ayyuhan naas) tanpa diskriminasi gender. Hadis Nabi SAW yang berbunyi, “Yang terbaik di antara kamu bukanlah mereka yang mengabaikan kehidupan ini untuk kehidupan yang akan datang atau mereka yang mengabaikan kehidupan yang akan datang demi kehidupan saat ini. Sebaliknya, masing-masing berfungsi sebagai jalan menuju yang lain,” menyarankan setiap orang tanpa terkecuali perempuan untuk bekerja dan mengurus urusan duniawi mereka.

Dalam Islam, mengurus harta (urusan duniawi) merupakan salah satu unsur dari lima asas yang wajib dilindungi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khamsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan, serta menjadi tujuan diberlakukannya syariat (maqashid syari’ah).

Dalam sejarah Islam, memiliki harta dan menjadi kaya bukanlah dominasi laki-laki. Istri Nabi Muhammad, yaitu Siti Khadijah, ialah seorang pengusaha perempuan kaya yang menyokong dakwah Rasulullah. Perempuan muslimah sudah menikmati hak kepemilikan harta selama berabad-abad lamanya. Bahkan, penghormatan Islam terhadap hak milik perempuan begitu dikenal luas pada masa Utsmaniyah sehingga perempuan Kristen dan Yahudi pada masa itu mengejar hak waris melalui pengadilan Islam karena hukum agama mereka tidak memberikan hak yang sebanding.

 

Prinsip kesetaraan dalam kepemilikan harta

Islam menjamin hak setara kepada perempuan dan laki-laki dalam kepemilikan dan pengelolaan harta, baik yang diperoleh dari pekerjaannya maupun yang berasal dari pernikahan dan warisan. Dalam pernikahan, perempuan berhak mendapatkan harta, baik sebagai mahar maupun nafaqah (nafkah). Perempuan memiliki hak untuk mendapatkan mahar ketika mereka menikah (QS An-Nisa [4]:4). Mahar bisa berupa uang, barang, atau perhiasan yang besarannya disepakati bersama antara suami dan istri sebelum akad nikah. Mahar merupakan hak milik perempuan dalam Islam dan ia berhak atas pengelolaannya sesuai dengan keinginannya.

Selain mahar, perempuan juga berhak mendapatkan nafkah dari suaminya yang ia bisa belanjakan sesuai dengan kebutuhan keluarga (QS An-Nisa [4]:34; QS At-Talaq [65]:7). Nafkah merupakan kebutuhan pokok yang harus diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya, yaitu berupa makanan, pakaian, dan rumah. Namun, dalam sebuah hadis Nabi SAW dari Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Zainab dan seorang perempuan dari suku Anshar justru menjadi pemberi nafkah bagi suami dan keluarganya. Ketika mereka memberitahukan hal ini kepada Rasulullah, Rasulullah pun menjawab bahwa mereka mendapatkan dua pahala, yaitu pahala kerabat (ajru al-qoroobah) dan pahala sedekah (ajru ash-shodaqoh).

Di dalam masyarakat kontemporer, kita melihat fenomena serupa bahwa sebagian perempuan menjadi pencari dan pemberi nafkah bagi suami dan anak-anak mereka. Bahkan, penelitian Komisi Nasional Perempuan menunjukkan tren laki-laki rumah tangga yang berpenghasilan lebih kecil ketimbang istrinya saat ini semakin banyak. Sebagian perempuan juga tidak mendapatkan mahar dari suaminya. Ada juga beberapa budaya lokal yang justru menempatkan perempuan sebagai pelamar dan mengharuskannya membawa sejumlah harta yang diberikan kepada calon mempelai laki-laki seperti dalam adat matrilineal. Dalam budaya lokal ini, keturunan dan kekerabatan diatur menurut garis ibu yang menempatkan perempuan lebih unggul dari laki-laki dan perempuan (istri) yang membawa suami setelah pernikahan.

Kedua ayat mengenai mahar dan nafkah turun dalam konteks ketika sebagian besar perempuan pada masa pra-Islam hanya mengurus urusan domestik dan tidak punya akses ekonomi. Karena itu, laki-laki yang diberikan tanggung jawab untuk memberikan mahar dan nafkah kepada perempuan. Oleh karena itu, kewajiban laki-laki memberi mahar dan nafkah tidak lepas dari budaya patriarki di Arab saat itu yang mewajibkan perempuan mengurusi urusan domestik saja.

Dalam spirit kesetaraan gender, ketika perempuan sudah dibolehkan bekerja di luar rumah, tentu hal ini berimplikasi pada urusan nafkah yang mana nafkah bisa menjadi kewajiban sekaligus tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Bahkan, bisa menjadi tanggung jawab istri dalam kondisi tertentu seperti suami sakit atau suami di-PHK (pemutusan hubungan kerja).

Implikasi lain ialah terkait warisan perempuan. Ketentuan warisan 2:1, yaitu perempuan mendapatkan warisan setengah porsi dari laki-laki (QS An-Nisa [4]:11), dianggap sudah adil karena suami berkewajiban memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Dalam penafsiran Al-Qurthubi dan At-Tabari, porsi setengah untuk perempuan sudah adil karena suami memiliki tanggung jawab ekonomi yang lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan. Oleh karena itu, prinsip keadilan dalam pembagian warisan tentu perlu pembacaan ulang. Sebuah teks agama tidak bisa dipisahkan dari konteks pada saat turunnya.

Dalam konteks masyarakat Arab waktu turunnya ayat warisan, konsep laki-laki mendapat warisan dua kali lebih banyak dari perempuan sudah sangat progresif dan revolusioner karena perempuan pada masa pra-Islam justru tidak mendapatkan warisan sama sekali. Warisan terhadap perempuan pada masa itu ditiadakan karena menurut Abid Al-Jabiri sering menimbulkan konflik antarsuku.

Tradisi pernikahan Arab waktu itu ialah pernikahan antardua suku yang berbeda yang menyebabkan perempuan dan harta dari asal suku perempuan beralih menjadi milik suku laki-laki. Suku perempuan (istri) merasa terampas hak-haknya karena harta sukunya, seperti unta, kuda, dan lain-lain, beralih kepemilikannya kepada suku laki-laki (suami). Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7 dan ayat 11 turun dengan membawa semangat memberikan hak waris dan perlindungan harta kepada pihak perempuan dan sukunya. Maka itu, prinsip keadilan itu bukan soal angka setengah, melainkan pada semangat memberikan warisan dan perlindungan kepada hak-hak perempuan.

Tradisi Islam awal juga menunjukkan bahwa praktik keagamaan tidak hanya dibangun melalui pemahaman terhadap teks, tetapi juga pemahaman terhadap perubahan konteks yang dinamis dengan tetap menjaga spirit keadilan Islam. Contohnya, Khalifah Umar bin Khattab sudah melakukan ijtihad tsulusul baaqi (sepertiga sisa) pada masanya. Ijtihad ini menetapkan bahwa perempuan tidak mutlak wajib mendapat setengah warisan dari laki-laki.

Begitu pula pembagian harta fai’ (harta yang didapatkan dari nonmuslim dengan cara damai atau sukarela) dan ghanimah (harta yang didapatkan dari nonmuslim melalui pertempuran/perang) pada masanya ialah hasil ijtihad Umar yang pembagiannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan konteks pada saat itu dan bukan berdasarkan pembagian yang ada Al-Qur’an. Pertimbangan ijtihad Umar merupakan prinsip keadilan yang sesuai dengan konteks zamannya.

 

Peran Muhammadiyah

Perempuan di Muhammadiyah didorong dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif di ruang publik. ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan di dalam perserikatan Muhammadiyah memiliki catatan panjang dalam upaya advokasinya memberdayakan perempuan Indonesia.

Di Muhammadiyah, perempuan diberi affirmative actions agar aktif di tengah masyarakat sambil tetap menjaga keluarga dan peran domestiknya. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memberi perhatian mendalam terhadap pendidikan perempuan.

Melalui pendidikan yang baik, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah percaya perempuan akan memiliki kesadaran lebih baik mengenai hak-haknya sebagai perempuan, baik di ruang domestik maupun ruang publik.

Perempuan terdidik juga akan lebih memahami hak-haknya terkait kepemilikan dan pengelolaan hartanya. Pendidikan dapat memberikan jalan bagi perempuan untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak sehingga memiliki kemandirian finansial dan dapat mendukung ekonomi keluarganya.

Pendidikan merupakan investasi berharga bagi perempuan yang dapat membantu mereka mengembangkan keterampilannya, membuka jaringan, dan akses pekerjaan yang luas dan pada gilirannya akan berdampak pada representasi perempuan di ranah politik dan ruang publik.

Baca Juga

Dok. CSIS

Mempertanyakan Subsidi Kendaraan Listrik

👤Deni Friawan Peneliti Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 🕔Selasa 21 Maret 2023, 05:15 WIB
PEMERINTAH baru saja mengumumkan pemberian subsidi pembelian kendaraan bermotor litrik berbasis baterai (KBLBB). Kebijakan itu bertujuan...
MI/Seno

Anomali Hukum Perppu Pemilu

👤Titi Anggraini Pembina Perludem dan pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia 🕔Selasa 21 Maret 2023, 05:00 WIB
Akrobat hukum mencari pembenaran atas tidak adanya persetujuan Perppu Pemilu hanya membuat kita makin tampak bermain-main dengan konstitusi...
MI/Budi Setyo Widodo

Korupsi Pajak

👤Budi Setyo Widodo 🕔Senin 20 Maret 2023, 22:07 WIB
Pemerintah harus memberi perhatian khusus dan segera membereskannya, karena jika pengungkapan kasus ini berlarut-larut maka akan menggerus...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya