Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Jalan Terjal Mewujudkan Mutu Pendidikan di Indonesia

Fatkhuri Dosen UPN Veteran Jakarta
14/11/2022 05:05
Jalan Terjal Mewujudkan Mutu Pendidikan di Indonesia
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SAAT ini pemerintah sedang bergiat memajukan pendidikan melalui berbagai terobosan kebijakan. Pada jenjang pendidikan tinggi, Kemendikbud-Ristek meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka yang bertujuan membekali lulusan agar memiliki beragam keilmuan sebagai modal memasuki dunia kerja.

Sementara itu, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kebijakan Merdeka Belajar juga telah diterapkan. Harus diakui bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih menyisakan berbagai masalah serius. Hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 misalnya, menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-74 (peringkat 6 terbawah).

Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan, pemerintah telah membangun sistem penjaminan mutu pendidikan baik internal satuan pendidikan maupun eksternal (lembaga penjaminan mutu). Pada penjaminan mutu eksternal, akreditasi menjadi bagian dari penjaminan mutu yang eksistensinya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pelaksanaan akreditasi bertujuan menjamin agar penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah yang bermuara pada kepastian mutu satuan pendidikan.

Sejak pemberlakuan Permendiknas Nomor 29 Tahun 2005 dan terakhir Permendikbud Nomor 13 Tahun 2018, akreditasi sekolah/madrasah telah berjalan selama hampir dua dekade. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah telah menggelontorkan anggaran triliunan rupiah untuk mendukung pelaksanaan program akreditasi, tetapi belum mampu meningkatkan mutu pendidikan. Apa faktor penghambat pelaksanaan akreditasi yang belum optimal sebagai instrumen penjaminan mutu pendidikan?

 

Hambatan struktural dan kultural 

Dua faktor penting yang memberi sumbangsih terhadap belum optimalnya pelaksanaan akreditasi untuk mendorong penjaminan mutu pendidikan di daerah, yaitu pertama hambatan struktural. Faktor ini merupakan elemen terkait dengan sistem pengambilan keputusan, formalisasi aturan, dan pengaturan wewenang ditentukan (O’Neil dkk, 2001). Sejak diberlakukan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, akreditasi tidak lagi menjadi kebijakan yang bisa dilaksanakan secara bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Padahal, jauh sebelum UU ini terbit, pelaksanaan akreditasi tidak jarang dilakukan dengan cara kolaborasi baik dalam konteks pendanaan maupun aspek yang lainnya. Peran pemerintah daerah di masa lalu cukup signifikan dalam rangka mendukung akreditasi. Pengalaman empiri membuktikan alokasi anggaran yang bersumber dari APBD baik di tingkat provinsi maupun daerah memberikan sumbangsih nyata dalam akselerasi perluasan akreditasi sekolah/madrasah.

Hampir setiap tahun pemerintah daerah mengalokasikan APBD rata-rata 20% dari total sasaran akreditasi yang ditetapkan pemerintah. Sayangnya, kontribusi tersebut seketika terhenti ketika UU Nomor 23 Tahun 2014 diberlakukan sejak 2017. Faktor struktural ini memberikan andil cukup besar terhadap minimnya perhatian pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan akreditasi.

Kedua faktor kultural. Faktor ini lebih menitikberatkan kepada pola-pikir dan perilaku. Pola pikir dan perilaku yang mencerminkan pemahaman akreditasi sebagai alat penjaminan mutu belum terbentuk dalam pikiran warga sekolah/madrasah dan masyarakat. Selama ini akreditasi dipahami baru sebatas rutinitas program lima tahunan bagi satuan pendidikan.

Akreditasi belum terinternalisasi dengan baik sebagai alat untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan bagi satuan pendidikan. Publik menempatkan akreditasi sebatas program mencari peringkat. Padahal, akreditasi semestinya berfungsi lebih dari sekadar peringkat, tetapi juga sebagai sarana mewujudkan mutu satuan pendidikan baik ditinjau dari mutu lulusan, proses pembelajaran, mutu guru maupun manajemen sekolah/madrasah.

Faktor kultural juga dapat dilihat sebagai dampak dari minimnya sosialisasi akreditasi ke ruang publik di daerah. Sebagian masyarakat kita belum memahami secara utuh substansi akreditasi karena minimnya sosialisasi dan publikasi terkait dengan akreditasi bagi pengembangan mutu satuan pendidikan di daerah. Tidak mengherankan jika masyarakat pada akhirnya memiliki persepsi bahwa akreditasi tidak lebih dari ajang mencari peringkat atau label, bukan menjadi alat membangun mutu dan meningkatkan kualitas satuan pendidikan di daerah.

 

Harmonisasi kebijakan dan sosialisasi akreditasi 

Saya mengusulkan solusi masalah di atas dengan dua poin berikut, yaitu pertama, hambatan struktural harus dibenahi dengan penyempurnaan regulasi melalui harmonisasi peraturan yang tumpang-tindih dan bertentangan satu sama lain. Pemerintah perlu duduk bersama untuk mengkaji dan mendalami berbagai regulasi yang memiliki dampak negatif terhadap pelayanan akreditasi di daerah. Terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan akreditasi menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam banyak hal justru menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah.

Hal itu terjadi karena Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang mengatur kewenangan pemerintah provinsi untuk mengoordinasikan dan memfasiltiasi akreditasi di daerah tidak pernah dicabut. Keberadaan UU Tahun 2023, Tahun 2014 yang mengatur urusan akreditasi dan PP yang memayungi penyelenggaraan pendidikan di daerah, jelas saling bertentangan sehingga menjadi hambatan bagi pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan akreditasi.

Dalam Pasal 23 ayat (3) PP tersebut diatur bahwa pemerintah provinsi berwenang untuk memfasilitasi akreditasi program pendidikan di daerah cukup membingungkan. Begitu pun dalam Pasal 34 ayat (3) diatur mengenai pemerintah kabupaten/kota untuk memfasilitasi akreditasi program pendidikan dan akreditasi satuan pendidikan. Melihat situasi ini, harmonisasi peraturan menjadi krusial untuk dilakukan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan akreditasi di daerah.

Kedua, solusi terhadap masalah kultural, yakni pola pikir tentang akreditasi sebagai bentuk penjaminan mutu yang belum terbentuk harus dilakukan melalui peningkatan sosialisasi akreditasi secara masif. Selanjutnya, BAN-S/M melalui kepanjangan tangan BAN-S/M provinsi di daerah perlu menggalakkan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan.

Selain fokus pada pelaksanaan kebijakan kemitraan di daerah, BAN-S/M provinsi perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan melibatkan partisipasi publik untuk membumikan akreditasi di ranah publik seperti diskusi publik, gelar wicara, FGD, iklan layanan masyarakat, dan sebagainya. Sosialisasi, publikasi, diskusi, dan diseminasi informasi secara masif dan terstruktur akan memberikan dampak terhadap pemahaman masyarakat dan warga sekolah/madrasah terhadap arti penting akreditasi yang bukan sekadar untuk mencari peringkat.

Pendek kata, implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia selama ini belum memperlihatkan efektivitasnya untuk mendongkrak kinerja satuan pendidikan. Faktor struktural dan kulutral tampak menjadi hambatan yang memberikan kontribusi terhadap mandeknya mutu sebagaimana yang diharapkan. Harmonisasi kebijakan untuk mempercepat kinerja peningkatan mutu menjadi penawar untuk mempercepat peningkatan mutu satuan pendidikan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya