Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tragedi Kanjuruhan, PSSI, Iwan Bule, dan Budaya Adiluhung

Akhmad Mustain, Editor Media Indonesia
21/10/2022 18:08

Kerusuhan pascapertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya, terjadi karena penyelenggara liga sepak bola nasional yang tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing, serta saling melempar tanggungjawab.

Sikap dan praktik seperti ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola nasional, sehingga dibutuhkan langkah-langkah perbaikan secara drastis namun terukur untuk membangun peradaban baru dunia sepak bola nasional.

Baca juga: PSSI Emoh Gelar KLB Sesuai Rekomendasi TGIPF

Dengan jelas dan tegas rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 133 orang merekomendasikan seluruh jajaran pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mundur dan segera digelar kongres luar biasa.

Bukan tanpa alasan, TGIPF juga menjabarkan delapan kesalahan fatal yang dilakukan PSSI. Bukan cuma satu, tapi delapan. Bayangkan, satu satu kesalahan saja sudah patut rasanya untuk turut bertanggung jawab, ini delapan kesalahan, PSSI bergeming enggan bertanggungjawab.

Kesalahan tersebut di antaranya, PSSI dianggap tidak melakukan sosialisasi/pelatihan yang memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI, Serta tidak menyiapkan personel match commissioner yang memahami tentang tugas dan tanggung jawabnya.

Baca juga: Acuhkan Rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan, Pengurus PSSI Menolak Mundur

Serta tidak mempertimbangkan faktor risiko saat menyusun jadwal kolektif penyelenggaraan Liga-1. Dan juga kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Liga oleh PSSI dan masih ada lainnya.

PSSI Bergeming

Namun nyatanya jajaran PSSI bergeming, mereka seakan acuh terhadap rekomendasi TGIPF. Seolah hilangnya 133 nyawa pecinta sepok bola bukan hal yang sepadan bagi mereka untuk melepaskan jabatannya, memang ada apanya di PSSI? Segitunya terhadap jabatan. Kalau sudah dianggap tidak mampu, ya pergilah.

Beragam dalih klise disampaikan para pengurus PSSI, mulai dari alasan menunggu rekomendasi gugus tugas, entah gugus tugas apalagi ini. Hingga alasan tidak bisa menggelar KLB kalau tidak ada usulan dari anggota pemilik suara.

"Kita tetap menunggu hasil evaluasi dari task force yang dibentuk. Selanjutnya, akan diberikan hasil evaluasi," ujar anggota Exco PSSI Vivin Cahyani seperti dikutip Mediaindonesia.com.

Lain lagi dengan yang dilontarkan Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Ahmad Riyadh menegaskan permintaan untuk menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) hanya bisa datang dari anggota yang menjadi pemilik suara (voter) bukan dari pihak lain, termasuk pemerintah dan TGIPF.

"Yang berhak meminta KLB itu anggota PSSI, para voter. Pemerintah tidak bisa mencampuri hal itu," tegas Ahmad Riyadh.

Ya namanya dalih, apapun bisa diutarakan. Padahal sebenarnya, jika orang-orang di PSSI memiliki moral dan budaya adiluhung khas orang Indonesia, tinggal mundur dari jabatan, tidak perlu bersilat lidah lagi. Jika pengurus PSSI kosong, otomatis seluruh anggota akan mengusulkan digelarnya KLB.

Padahal urusan moral juga sudah disinggung TGIPF dalam rekomendasinya. TGIPF menulis, secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI. Namun dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan atau yang kerap disapa Iwan Bule dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban sebanyak 712 orang, di mana saat laporan ini disusun sudah mencapai 133 orang  meninggal dunia, 95 orang luka berat, 484 orang luka sedang/ringan yang sebagian bisa saja mengalami dampak jangka panjang.

Ternyata imbauan moral tidak digubris oleh mereka. Mereka justru seakan bereuforia atas kedatangan FIFA yang memastikan piala dunia U20 tetap digelar. Kedatangan Presiden FIFA Gianni Infantino malah dijadikan ajang untuk berkelit dari rekomendasi TGIPF.

PSSI membangun narasi bahwa FIFA akan membantu transformasi sepak bola Indonesia pascatragedi Kanjuruhan. Tragedi Kanjuruhan malah dipakai menjadi jargon untuk memuluskan gelaran Piala Dunia U20 padahal kondisi sepak bola nasional masih berduka, keadilan bagi korban belum ditegakkan.

Fun Football

Hilangnya nyawa 133 suporter ternyata hanya dianggap biasa saja. Mirisnya, bukannya langsung turun melihat kondisi Kanjuruhan, PSSI menjamu Presiden FIFA dengan pertandingan sepak bola gembira dan tertawa lepas seolah tragedi Kanjuruhan sudah sirna. Benar-benar patut dipertanyakan kemana hati dan perasaan mereka-mereka ini.

Baca juga: Korban Meninggal Tragedi Kanjuruhan Malang Bertambah Jadi 134  Orang

Bahkan, elite PSSI. termasuk sang Ketua Umumnya, Mochamad Iriawan atau yang kerap disapa Iwan Bule, sempat memilih untuk mengabaikan panggilan sebagai dari Polda Jawa Timur terkait tragedi Kanjuruhan.

Baca juga: Mangkir, Iwan Bule dan Iwan Budianto Akan Dipanggil Ulang Polda Jatim

Baca juga: Ketua dan Wakil Ketua PSSI Diperiksa Lima Jam soal Tragedi Kanjuruhan

Pencinta sepak bola di negeri ini sepertinya harus legawa jika sepak bola nasional terus menurus diurus oleh orang-orang yang enggan berpegang pada moral dan tanggung jawab yang seharusnya. Mereka hanya mementingkan gelaran Piala Dunia untuk megeruk untung semata. Dari mana? Ya dari para pencinta sepak bola.

Ketika nyawa manusia pun tidak dihargai, buat apa berbicara prestasi. Bahkan sialnya sepak bola di negeri kita ini, sudah nyawa tidak dihargai, juga tidak punya prestasi.

Padahal itu nyawa para suporter yang menghidupkan sepak bola, diabaikan oleh mereka-mereka yang justru hidup dan makan dari sepak bola.

Begitupun berbicara soal transformasi, yang dibutuhkan saat ini yakni keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan, tanggungjawab para pemangku kepentingan. Urusan transformasi biarkan berjalan setelah keadilan ditegakkan.

Lagian bagaimana mau melakukan transformasi, utamanya terkait perilaku dan moral suporter agar menjunjung tinggi sportivitas, jika Ketua Umum PSSI dan jajaran eksekutif komite PSSI tidak memegang teguh moral yang dijunjung tinggi oleh bangsa ini.

Yang terakhir, tentu publik berharap pemerintah tetap teguh untuk menjalankan rekomendasi TGIPF, terutama terkait dengan izin pertandingan. Bahwa pemerintah tidak akan memberikan izin pertandingan liga di bawah PSSI yaitu Liga 1, Liga 2, dan Liga 3, sampai terjadinya perubahan dan kesiapan signifikan dari PSSI dalam mengelola dan menjalankan kompetisi.

Artinya, selama PSSI belum direformasi, jangan berikan izin pertandingan. Semakin lama dan berlarut perombakan di PSSI, maka semakin tidak menentukan juga sikap jalannya kompetisi. Yang terkena dampaknya tentu para pemain, klub dan seluruh pemangku kepentingan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya