PRIA itu wafat dalam sunyi. Tidak ada kerabat ataupun pemuka agama yang mengiringi kepergiannya ke alam baka. Saat ditemukan pada 23 Agustus 2022 lalu, tubuhnya yang terbaring di sebuah hammock (tempat tidur gantung) hanya berbalut bulu-bulu macaw, sejenis burung kakaktua yang hidup di Hutan Amazon, wilayah Brasil. Tidak ada tanda-tanda kekerasan di sana. Hanya semilir angin yang membawa bau tanah basah, mengabarkan kematian itu kepada seluruh makhluk yang ada di sekitarnya.
Pria yang ditaksir berusia 60 tahun itu diyakini sebagai anggota terakhir suku Tanaru, suku asli Brasil yang mendiami kawasan hutan hujan Amazon. Selama lebih dari 20 tahun, ia tinggal sendirian di belantara hutan dengan memakan kacang-kacangan, buah-buahan, dan hewan buruan, sebuah simbol perjuangan masyarakat adat yang hidup di alam bebas dalam keterasingan dunia modern. Kebiasaannya yang kerap menggali lubang untuk menjebak hewan buruannya, membuat pria ini dijuluki man of the hole (manusia lubang).
Kerabat ataupun anggota suku dari pria malang ini telah terbunuh dalam serangkaian serangan oleh peternak dan penambang ilegal yang ingin menguasai tanah mereka sejak era 1970-an. "Orang hanya bisa membayangkan apa yang pria ini pikirkan, alami, hidup sendiri, tidak dapat berbicara dengan siapa pun dan saya pikir sangat ketakutan karena setiap orang luar baginya merupakan ancaman, mengingat pengalamannya yang mengerikan," kata direktur penelitian dan advokasi di Survival International, Fiona Watson, seperti dikutip France24, Selasa (6/9).
Survival Internasiol, lembaga yang dipimpin Watson, merupakan organisasi nirlaba yang bekerja dengan masyarakat adat untuk melindungi hak tanah mereka. Menurut Altair Jose Algayer, anggota lembaga perlindungan masyarakat adat Brasil National Indian Foundation (Funai), kasus meninggalnya pria paling kesepian yang menjalani sisa hidupnya seorang diri ini membuat suku asli Brasil resmi punah.
Laku hidup seperti si manusia lubang dengan menjauhi hiruk-pikuk peradaban modern ini mungkin masih banyak dilakukan oleh mereka yang bermukim di pedalaman hutan di seluruh dunia. Menurut PBB, di planet yang kita huni ini ada sekitar 400 juta masyarakat adat yang hidup di 90 negara, termasuk Indonesia. Jumlah mereka mungkin hanya sekian persen dari keseluruhan populasi dunia. Namun, eksistensi mereka penting sebagai penjaga keragaman bahasa, budaya, dan sumber daya alam. Mereka juga punya hak hidup yang sama seperti manusia lain pada umumnya.
Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat ini umumnya sama terkait perlindungan terhadap hak-hak mereka, terutama hak tanah/wilayah, yang semakin terdesak, baik oleh aksi korporasi maupun individu yang rakus. Mewujudkan undang-undang perlindungan hak masyarakat adat ialah pengakuan secara menyeluruh terhadap keberadaan mereka sebagai bagian utuh dari kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah dibahas di Baleg dan disepakati untuk dilanjutkan ke paripurna sebagai RUU usulan dari DPR, sepertinya mendesak untuk segera disahkan.
Kita tentu tidak ingin nasib yang dialami salah satu suku yang bermukim di kawasan hutan hujan Amazon itu menimpa suku-suku yang ada di Nusantara. Ingat, mereka juga bagian dari kita, bahkan jauh sebelum negara ini ada. Keberadaan mereka jangan cuma disimbolkan melalui busana yang dikenakan para elite dan pesohor dalam seremoni kenegaraan semata, tanpa mau mengakui dan melindungi hak-hak kehidupan mereka. Salam budaya!