Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KETUA Majma Fikih Sudan (MFS) Prof Abderrahim Adam pada Minggu (19/6) secara langsung membahas waktu pelaksanaan haji tiga bulan; memastikan pelaksanaan haji tanpa antre, bersama seorang tokoh nasional Indonesia KH Masdar F Mas’udi selaku penggagasnya. Prof Abderrahim mengapresiasi dan menilai gagasan tersebut perlu didukung dan diperjelas dengan kajian lanjutan, bersama beberapa elemen terkait dengan perluasan waktu ibadah haji. Prof Abderrahim menyampaikan kepada panitia, bahwa perluasan waktu haji Kiai Masdar akan dikaji secara kontinu di MFS.
Webinar yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Sudan mendapat sambutan baik dari Majma Fikih, setelah naskah tulisan Kiai Masdar berbahasa Arab ditelaah. Bahkan, mereka menyediakan dua pembahas/komentator langsung Ketua MFS dan Wakil Ketua Lembaga Fatwa MFS Dr Omer at-Thahir Ahmed meskipun Dr Omer at-Thahir mendadak izin tidak hadir karena urusan mendesak. Sebelum webinar, sosialisasi semacam itu disarankan ulama senior dan pakar ushul fiqh dunia Arab Prof Khalifa Babiker al-Hasan seusai menelaah satu per satu tulisan Kiai Masdar.
Cakupan lengkap satu paket
Dalam pembahasan tersebut, Prof Abdurrahim Adam menilai cakupan gagasan Kiai Masdar lengkap satu paket, yaitu ijtihad dalam pemahaman nas dan ijtihad dalam penerapan nas meskipun ada beberapa persoalan yang perlu dikonfirmasi langsung dengan Kiai Masdar. Dalam hal ini, Kiai Masdar menggarisbawahi bahwa apa yang dilakukan sebenarnya bukanlah ijtihad, apalagi pendapat pribadi, melainkan ikhtiar menerapkan Al-Qur’an dengan mengembalikan waktu pelaksanaan haji kepada nas yang sharih (gamblang) dalam Al-Qur’an tiga bulan, Syawal hingga Zulhijah, sebagaimana ijma’ pemahaman seluruh mazhab tafsir.
Jadi, bukan terbatas beberapa hari pada Zulhijah, sebagaimana tradisi waktu pelaksanaan dalam fikih dan dipakemkan Arab Saudi sebagai 'pengelola' haji dan umarah. Dalam konteks ini, apabila disebut ijtihad, ijtihad Kiai Masdar bukan dalam arti istinbath hukum, melainkan dalam arti memahami makna yang harus disertai pemahaman maqhosid syari’ah sebagaimana yang sudah dipenuhi Kiai Masdar.
Lafaz 'Waktu pelaksanaan ibadah haji itu beberapa (baca: tiga) bulan yang sudah maklum' dalam surah Al-Baqarah ayat 197 merupakan lafaz am muqoyyad dengan takhsis mustaqil (pembatasan independen), yaitu ijma' seluruh mufasir/mazhab tafsir. Mukhassis mustaqil-nya bukan akal, indra (pengalaman), nas khas, mafhum muwafaqoh, urf, qiyas atau khabar ahad yang shahih dan bukan pula perbuatan atau bahkan diamnya Nabi SAW karena Nabi hanya menjalankan ibadah haji sekali seumur hidup sehingga contoh waktu yang digunakan terbatas, yaitu pada saat haji disyariatkan pada 9 H dan setelah Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.
Pada 10 H, Nabi melaksanakan ibadah haji dengan segenap umat Islam sebagai haji wada (perpisahan). Pada kesempatan itu, Nabi menjelaskan tata cara/manasik ibadah haji dan 82 hari kemudian Nabi wafat. Dengan pelaksanaan sekali seumur hidup, dan mendekati hari beliau wafat, wajar jika penggunaan waktu pelaksanaan ibadah haji oleh Nabi tidak beragam, sebagaimana beragamnya waktu yang digunakan saat salat, zakat, atau puasa yang dilakukan berkali-kali.
Selain itu, menanggapi komentar terkait hadis "Khudzu anni manaasikakum" sebagai perintah yang tegas kepada umat Islam agar meneladani Nabi, Kiai Masdar menyampaikan hadis tersebut berkaitan dengan tata cara pelaksanaan haji, bukan waktu haji, karena waktu haji disebutkan sharih dalam Al-Qur’an. Kiai Masdar menyebut pesan Nabi tidak boleh dipertentangkan dengan Al-Qur’an.
Dalam menanggapi komentar terkait dengan ijma’ pelaksanaan waktu haji di hari Arafah yang merujuk hadis Nabi, “Al-hajju Arafah,” Kiai Masdar menjelaskan status hadisnya ahad dan kualifikasinya hasan sehingga tidak bisa digunakan men-takhsis/membatasi apalagi menganulir ayat Al-Qur’an yang qath’i, serta tidak bisa pula dipertentangkan dengan Al-Qur’an.
Hal itu disebutkan Imam Syatibi dalam Muwafaqat-nya, “Hadis ahad tidak bisa diamalkan, kecuali jika tidak bertentangan dengan nas yang qath’i,” di samping dalam penetapan hukum, kualifikasi hadis minimal kelasnya shahih sebagaimana penetapan aqidah, hadisnya harus mutawatir. Jika kondisi seperti ini, mestinya hadis yang diabaikan, bukan Al-Qur’an-nya, sebagaimana hadis “Haji adalah Arafah,” jika dipahami sebagai tempat (wuquf) tidak mengingkari kelonggaran waktu ibadah haji dalam Al-Qur’an.
Jika ibadah haji dilaksanakan di sekitaran hari Arafah, berarti mengambil waktu afdloliyah (utama) meskipun waktu lain tetap sebagai waktu shihah (sah), untuk digunakan waktu muwassa’ (longgar) terbentang beberapa bulan dengan di-qiyas-kan pada longgarnya waktu salat dan zakat, bukan waktu puasa atau ibadah lain yang waktunya terbatas atau mudlayyaq (sempit). Dengan kata lain, menjalankan haji di luar hari Arafah bukan berarti tidak sah.
Hal itu juga bukan berarti penetapan waktu haji dilakukan dengan dalil qiyas, melainkan tetap dengan nas yang sharih (tegas) didukung qiyas yang juga shahih (benar). Imam Syatibi dan Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa di dalam syariat tidak ada perkara yang menyelisihi qiyas yang shahih. Jika diduga menyelisihi, bisa jadi karena ada yang rusak dalam qiyas, atau karena nasnya bukan nas syariat.
Keabsahan waktu haji
Prof Abdurrahim Adam dan seorang peserta mengonfirmasi pandangan Kiai Masdar mengenai keabsahan waktu haji harus melibatkan hari kesembilan Zulhijah sebagaimana disebut dalam beberapa literatur fikih sebagai ijma’ atas dasar hadis qouli, tentang tata cara dan praktik Nabi yang hanya sekali seumur hidup.
Terlepas dari pertimbangan derajat, dan kemungkinan adanya illat dalam hadis dimaksud, Kiai Masdar menjelaskan bahwa “ijma’ boleh dilawan, tetapi Al-Qur’an yang sharih tidak boleh dilawan oleh ijma’ apa pun”, terlebih semua mazhab tafsir menjelaskan waktu haji beberapa bulan.
Begitu pun Al-Qur’an tidak boleh diingkari karena dosanya akan sangat berat. “Ingkar sunnah saja masalah, apalagi ingkar Al-Qur’an,” kata Kiai Masdar. Di sisi lain, ijma’ yang mesti dipertimbangkan ialah ketika didasarkan pada sumber kesepakatan qoul (ucapan), dari seluruh sahabat, bukan kesepakatan dari banyaknya dalil.
Terlebih, persoalan waktu haji yang wataknya tauqifi (ketentuan wahyu) lebih membutuhkan nas yang sharih sebagai dalil naqli dan sumber hukum, dalam hal ini Al-Qur’an dan hadis mutawatir, bukan dalil-dalil aqli atau hadis ahad yang sifatnya dzonni dan tabiatnya menerima untuk diperselisihkan.
Dalam sebuah buku Pertentangan Sunnah-Sunnah Qouliyah dan Metode Kualifikasinya yang diterbitkan Majma Fikih Sudan pada 2016, Prof Abdullah Zubair yang pernah menjabat Ketua Umum MFS menyebut ada dua mazhab atau paradigma terkait dengan pola interaksi sunnah dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini, dirinya menyatakan bahwa mazhab 'otoritasi Al-Qur’an dan sunnah sejajar' dalam hujah lebih unggul daripada mazhab 'otoritasi Al-Qur’an di atas sunnah'. Pendapatnya itu berbeda dengan cerminan pandangan jumhur ushuliyin, yang justru membolehkan me-nasakh hadis mutawatir dan ahad dengan Al-Qur’an.
Kedudukan urf
Prof Abderrahim Adam juga menanyakan kedudukan urf (tradisi) sebagai salah satu 'sumber' hukum yang dinilai memperkuat keabsahan ijma' pelaksanaan wuquf di hari Arafah. Urf sebagai dalil yang diperselisihkan (mukhtalaf fiih) oleh para ulama disebut Abu Zahra sebagai dalil pelengkap dan bisa dijadikan hujah selama tidak bertentangan dengan nas syariat dan bisa menolak bahaya.
Dalam konteks kelonggaran waktu haji, urf yang terjadi zaman dahulu belum memunculkan tuntutan kondisi sehingga keterbatasan waktu haji tidak dipertanyakan para ulama. Berbeda dengan tuntutan sekarang, dengan antrean haji sudah hampir satu abad, serta ada dampak lainnya seperti tragedi Mina dan hilangnya nilai maqhosid dari ibadah haji itu sendiri seperti yang dipaparkan Kiai Masdar.
Selain itu, urf pun diakui jika memenuhi persyaratannya, di antaranya tidak bertentangan dengan nas (pernyataan yang hanya mengandung satu makna) sebagaimana ayat waktu haji beberapa bulan yang merupakan kategori nas, bukan mujmal, dzahir, dan mu’awwal dalam tradisi ushul fiqh. Urf bisa dipakai, misalnya, untuk dalil yang menggunakan lafaz mujmal (multimakna dan membutuhkan bayan/penjelasan) dalam pengharaman, atau penghalalan barang/materi, tidak untuk dalil nas yang sharih.
Prof Abderrahim Adam tidak mengambil sikap untuk menyatakan apa yang disampaikan Kiai Masdar sebagai hal yang salah atau benar terkait dengan perluasan waktu haji. Namun, dirinya menyarankan agar upaya mengembalikan kelonggaran waktu haji terus didiskusikan hingga persoalan yang rigid itu benar-benar diterima secara luas, tanpa ada anggapan menabrak pakem, dan menjadi solusi dengan tetap memperhatikan koridor kehambaan dan kehormatan umat manusia. Tanpa koridor itu, apa pun upaya tidak akan ditemukan solusinya.
Hukum salat Idul Adha yaitu sunah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun hamba sahaya, dewasa maupun anak-anak.
Selain takbir yang singkat terdapat pula bacaan takbir yang lebih panjang.
Tahun ini DKM Manarul ‘Amal Universitas Mercu Buana menerima titipan hewan kurban sebanyak 12 ekor sapi dan 9 ekor kambing.
Sebagai mitra penyelenggara kurban, Human Initiative melalui Program Qurban 2022 ini telah menjangkau tiga negara dan 21 provinsi.
Kali ini Maucash kembali berbagi kepada masyarakat dengan menyalurkan hewan kurban dalam memperingati Hari Raya Idul Adha 1443 H
Menurut Mentan, makna lainya dalam berkurban adalah menghormati orang tua dan meningkatkan iman takwa antara ketaatan manusia dengan sang pencipta
KEMENTERIAN Agama menegaskan jemaah haji reguler asal Indonesia yang wafat pada penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M mendapatkan asuransi jiwa.
Otoritas Arab Saudi mulai memberlakukan larangan masuk Mekah mulai Jumat (23/6) hingga Sabtu (1/7) pekan depan.
RATUSAN pendaftar haji di Kabupaten Sumenep Jawa Timur, membatalkan pendaftarannya untuk berhaji dan memilih beralih ke ibadah umrah.
Penyusunan Instrumen Survei Kepuasan Jemaah Haji mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Jemaah haji Indonesia yang berangkat tahun ini sebanyak 99.886 orang. Para jemaah terbagi menjadi haji reguler sebanyak 92.668 orang dan haji khusus sebanyak 7.218 orang.
Iran menggunakan semua kekuatan untuk mengamankan pembebasan salah satu warga negaranya yang ditangkap di Arab Saudi selama haji bulan lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved