Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

NasDem, Restorasi, dan Transparansi

Eko Suprihatno, Editor Media Indonesia
17/6/2022 13:45

Rapat Kerja Nasional Partai NasDem, 15 juni sampai 17 Juni 2022, seperti memberi label kepada publik bahwa ajang ini menjadikan NasDem sebagai partai politik pertama di negeri ini yang tak malu-malu untuk mencari putra terbaik bangsa sebagai suksesor Joko Widodo.

Sejauh ini, memang baru NasDem yang terang-terangan memberikan kesempatan kepada kader-kadernya untuk bersuara memilih kandidat calon presiden. Sinyal yang diberikan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh saat membuka rakernas adalah bahwa NasDem tidak akan membebek terhadap hasil survei terkait Calon Presiden 2024. Artinya Nasdem punya kemandirian dalam mengambil keputusan.

Baca juga: Bandul Politik Partai NasDem

Rakernas ini memang memberikan dampak positif bagi perjalanan demokrasi dan soliditas internal partai. Proses pengambilan keputusan, proses pengambilan kebijakan dilakukan dengan cara kolegial. Dengan cara melibatkan banyak elite partai membuat demokrasi begitu terasa, sekaligus juga menjadi sarana komunikasi politik yang baik.

Hal itulah yang diungkapkan oleh peneliti Center for Strategic and International Studies atau CSIS Arya Fernandes, Rabu 16 Juni 2022. Dalam pandangan Arya, pola di NasDem itu menjadi sarana untuk menyelesaikan konflik internal bila memang ada suara yang berbeda dalam upaya mendukung capres. Dari sisi legitimasi juga lebih tinggi serta dapat memitigasi konflik.

Apa yang diungkapkan Arya seperti memberikan pemahaman bahwa apa yang dilakukan NasDem adalah memberi pintu keterbukaan terhadap segala macam dinamika yang terjadi. Para kader pun diberi kebebasan untuk mengusung pendapat, untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan pemikiran, sebelum hasil akhir diputuskan kelak. Tidak heran kalau kemudian sejumlah nama yang begitu merajai hasil-hasil survei langsung melejit di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis 16 Juni 2022.

Sebut saja nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diusung oleh 32 dewan pengurus wilayah, kemudian ada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang diusung oleh 29 DPW, kemudian, Menteri Negara BUMN Erick Thohir ada 16 DPW yang mencalonkan. Yang tidak kalah menarik, ada nama , Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan 14 DPW yang mengusung namanya. Dan, dari internal, ada Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel yang juga tidak kalah moncer ada 14 DPW yang mengusung. Tapi, kok enggak ada ya nama Pak Prabowo atau mbak Puan di situ. Saya enggak ngerti kenapa. Atau kemudian nama mas Agus Harimurti Yudhoyono. Padahal, nama-nama mereka juga masuk dalam berbagai survei.

Mencari putra terbaik bangsa untuk memegang tongkat komando selama lima tahun enggak semudah membalik telapak tangan. Ada pertaruhan besar di sana, bukan cuma nasib rakyat Indonesia, tapi juga nasib bangsa ini. Semua ada di dalam pertaruhan tersebut.

Kendati sejumlah tokoh mendapat angin sejuk dari Parkir Timur Senayan, tapi tak serta merta nama-nama itu sudah mengkristal. atau sudah, atau bahkan jangan kemudian merasa bahwa itu sudah bisa dipastikan sebagai calon presiden dari NasDem.

Baca juga: Anies, Ganjar dan Andika Perkasa Resmi Jadi Bakal Capres NasDem

Jumlah atau angka usulan yang dimunculkan oleh DPW-DPW, bukan berarti kemudian itu merupakan usulan ranking. Itu kata Sekjen NasDem Johnny G Plate. Apa yang disampaikan dewan pimpinan wilayah itu barulah rekomendasi tahap awal dalam penentuan capres NasDem. Jadi, barulah awal-awal. Penentuan akan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan steering committee.

Pengambilan keputusan tidak dilakukan atas dasar voting tapi mengacu musyawarah untuk mufakat. Begitu kata Johnny. Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika ini mengingatkan, hasil rekomendasi-rekomendasi itu bakal dikaji dan dievaluasi dewan pimpinan pusat untuk kemudian disampaikan kepada Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh agar dikaji dan kemudian diputuskan menjadi siapa yang betul-betul menjadi kandidat capres dari NasDem.

NasDem memang bukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang bisa mengusung sendiri capres dan cawapresnya di Pemilu 2024. NasDem juga harus berkoalisi agar memenuhi ambang batas pencalonan capres tersebut.

Itu sebabnya ketika sejumlah nama mulai beredar, sejumlah nama mulai menanjak, tak berarti itu akan dipilih. Tidak berarti nama-nama itu akan menjadi calon. Bahkan mungkin saja ada nama yang menjadi kuda hitam untuk diusung dalam pertarungan menuju RI-1.

Percuma diusulkan satu nama tapi partai koalisinya enggak ada. Begitu ungkap politikus NasDem Irma Suryani Chaniago. Dalam konteks inilah koalisi kelak menjadi kunci. Hanya saja, sampai saat ini, tanda-tanda itu belum terlihat. Koalisi belum ada dan semuanya masih serba cair. Jadi, kalau kita melihat kunjungan-kunjungan para ketua parpol ke markas Nasdem di Gondangdia Lama, itu bukan berarti kemudian sinyal atau tanda sebagai suatu  arah menuju koalisi. Masih jauh untuk itu.

Baca juga: Surya Paloh: Rakernas NasDem Terheboh Ketimbang Partai Lain

Kalau kemudian kita mengacu pada pernyataan Arya Fernandez, ada beberapa partai politik yang sudah kemudian membangun koalisi , kemudian memunculkan atau kemudian menyebut-nyebut ada calon presiden dari kelompok mereka. Itu adalah suatu hal yang mungkin tidak akan terjadi di Nasdem. Karena, bisa kita lihat, bahwa itu hanya melibatkan kalangan elite saja, tidak kemudian di akar rumput dari partai tersebut. Jadi pertanyaannya, apakah memang benar bahwa kemudian calon presiden itu justru muncul dari para elite saja tanpa melibatkan yang namanya grass root. Padahal, nanti yang akan bergerak adalah grass root. Pemilik suara paling banyak adalah masyarakat yang ada di akar rumput. Jadi, jangan pernahlah melupakan akar rumput  itu kalau tidak ingin ditinggalkan oleh mereka. Tidak salah berkoalisi. Tapi juga, jangan kemudian, kalau orang bilang, enggak usah kesusu lah, jangan usah keburu-buru.

Kalau kita perhatikan, apa yang dilakukan di dalam Rakernas Partai NasDem ini, hasilnya, apapun hasilnya, pasti akan mendapat perhatian dari banyak parpol di Indonesia. Mungkin mereka  ya ada yang kemudian hanya bisik-bisik tetangga, atau kemudian ada yang mulai membangun koalisi, atau kemudian ada mulai yang kasak-kusuk untuk melihat potensi ke arah koalisi tersebut. Seperti kata Kakak Irma, bahwa koalisi memang belum terbentuk, tapi bukan mustahil itu akan segera dilakukan.  

Jadi tinggal bagaimana kemudian membangun koalisi yang sehat, membangun koalisi yang waras, dan membangun koalisi yang tanpa politik identitas.

Cegah politik identitas

Yang pasti, Pemilu 2024 sudah seharusnya dijadikan sebagai festival demokrasi. Kelak kampanye juga harus dijadikan sebagai adu gagasan, adu pemikiran, pamer prestasi dan juga reputasi.

Jangan sampailah, Jangan sampai kejadian lagi politik identitas yang pernah terjadi beberapa waktu lalu muncul kembali. Itu sebabnya politik identitas harus kita cegah sejak dini. Karena berpotensi memecah bangsa dan mencederai demokrasi.

Pemilu yang mestinya bertujuan mengukuhkan kebangsaan dan menguatkan persatuan, justru bisa dinodai dengan politik identitas., Cukuplah, cukup sekali saja terjadi, ketika  dulu ada pemilihan kepala daerah yang ternyata kental politik identitas ini. Bahkan, diakui atau tidak, dampaknya masih terasa sampai hari ini. Apakah kita akan mengulang prestasi seperti itu? Kalau itu yang terjadi, namanya mundur bangsa ini. Kita enggak boleh mengulang masa kelam yang nyaris membawa Indonesia, bangsa ini, ke dalam jurang kegelapan.

Politik identitas merupakan cermin kemalasan maksimal. Karena tidak mampu menang dengan cara elegan, seorang pemimpin mencari simpati justru dengan cara yang primitif, cara yang sama sekali jauh dari adab. Politik identitas itu adalah praktik politik dengan cara yang jauh dari adab. Jauh dari pola peradaban. Padahal, kalau kita mau berpikir sedikit, yang namanya adab jauh lebih tinggi posisinya dari ilmu pengetahuan.

Apa gunanya punya calon pemimpin yang jago bahasa Inggris, kerap memasang tampang lugu, selalu menebar senyum, eksis di berbagai survei, tapi justru menjadi sentra perpecahan bangsa. Sentra perpecahan karena senang mengadu domba. Ingatlah bahwa ada akibat sangat serius yang harus ditanggung bangsa ini kalau politk seperti itu masih tetap dimainkan kelak.

Deklarasi dukung mendukung adalah hal yang lumrah, jadi bukan sesuatu yang istimewa. Tapi kalau kemudian membawa-bawa kelompok radikal dan organisasi terlarang, tentu hal itu harus menjadi perhatian bagi parpol yang akan mengusung calon model seperti ini. Jangan sampai hal itu kontraproduktif. Jangan sampai parpol kontraproduktif mengusung capres yang malah membuat situasi makin runyam.

Lazimnya sebuah pesta, harusnya dihadirkan kegembiraan, keceriaan bukan malah kebencian dan permusuhan. Negara ini lahir. Negara ini lahir dari berbagai macam latar belakang. Para pendirinya, ingat, the founding fathers, menepikan embel-embel identitas primordial bernama SARA. Jadi sangat sampai kita mencederai semangat para pendiri bangsa dengan mengusung politik identitas.  



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya