SETELAH sebulan penuh menjalankan puasa wajib di bulan suci Ramadan, warga muslim Indonesia bersiap merayakan hari raya Idul Fitri 1443 H. Yang istimewa, Lebaran 2022 ini ada pelonggaran mobilitas penduduk dari yang sebelumnya dibatasi mengingat pandemi covid-19, kini mudik Lebaran diperbolehkan.
Lebaran 2020 dan 2021, pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat yang tak memungkinkan pergerakan bebas warga untuk mudik dari kota-kota besar ke daerah tempat asal-usulnya. Sedangkan 2022 pemerintah tidak lagi membatasi warga untuk mudik sebagaimana disampaikan Presiden RI pada 14 April 2022.
Sekarang ini, warga dipersilakan mudik asal sudah menjalani dua kali vaksinasi dan booster sebagai pelengkap, serta tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Kewajiban menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak tetap harus dilakukan pemudik. Mudik boleh, tapi prokes wajib dijalankan.
Tradisi mudik
Mudik Lebaran memiliki dimensi sosial beragam. Dalam perspektif antropologis, mudik Lebaran di Indonesia dipandang sebagai peristiwa sosial budaya dalam setidaknya empat dimensi berikut. Pertama, mudik Lebaran sebagai bagian dari ritual Idul Fitri yang menjadi bagian dari hari raya agung dalam keyakinan agama Islam. Mudik menjadi 'kewajiban' yang harus dilakukan saat lebaran tiba. Tanpa mudik, makna Lebaran dapat dikatakan tidaklah sempurna.
Kedua, mudik Lebaran sebagai mekanisme sosial ekonomi dalam bentuk distribusi dan pertukaran pendapatan warga yang umumnya bekerja di kota dengan saudara dan handai taulannya yang tinggal di desa. Saat Lebaran, pemudik biasanya membawa uang dan barang hasil bekerja di kota untuk didistribusikan kepada saudaranya dan warga desa.
Ketiga, mudik Lebaran menjadi mekanisme pertukaran informasi antara warga kota dengan warga desa. Para pemudik biasanya membawa kisah yang diceritakan kepada keluarga dan sanak familinya di desa. Demikian halnya, warga desa juga mengisahkan dinamika warga desa untuk diartikulasikan oleh pemudik Lebaran. Pertukaran harapan dan masalah berbaur jadi satu.
Keempat, mudik Lebaran biasanya menjadi ajang pameran budaya kota dan desa. Pemudik biasanya membawa kendaraan, pakaian, makanan, oleh-oleh dan produk budaya lainnya yang baru bagi warga desa. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan pemudik dan warga desa dalam berbagai ajang silaturahi menjadi cermin dialektika budaya kota dan desa.
Keempat dimensi ini berkelindan mewarnai Lebaran pascapembatasan akibat pandemi covid-19. Peluang terjadinya akulturasi atau perpaduan dua kebudayaan yang berbeda antara budaya kota dengan desa, berpeluang terjadi dengan media mudik lebaran ini. Lebaran kali ini, jadi perayaan atas kebebasan dari pembatasan mobilitas sosial setelah dua tahun 'dilarang' mudik. Dinamika kebudayaan masyarakat Indonesia mestilah terpengaruh.
Kebudayaan yang berisi interaksi dan sedimentasi berupa tradisi yang bergenerasi diturunkan dalam kebiasaan hidup masyarakat terpaksa harus berubah, atau disesuaikan dengan kebiasaan baru. Karena kebudayaan bersifat dinamis, maka dengan pandemi covid-19 perubahan budaya pun bisa lebih cepat dan masif.
Akhir pandemi
Era new normal menjadi fenomena sosial yang dimaknai dalam instrumen kebudayaan manusia. Misalnya, pertemuan dalam dunia kerja yang berubah dari pertemuan yang selalu bersifat langsung (offline), menjadi pertemuan tidak langsung (virtual/online). Sekarang ini, rapat-rapat kantor biasa dilakukan virtual atau hibrid/campuran (offline dan online).
Perubahan busana di tempat umum juga terjadi. Penggunaan masker guna menghindarkan mulut dari semburan benih virus korona kini membudaya. Memakai masker sekarang ini sudah menjadi kebutuhan hidup manusia. Selain mencegah penularan penyakit, masker kini menjadi bagian tak terpisahkan dari busana masyarakat Indonesia.
Memang tak semua terbiasa menggunakan masker, terutama di desa yang secara geografis dinilai jauh dari kota sebagai pusat penyebaran virus korona. Orang desa, umumnya merasa tak perlu menggunakan masker karena jauh dari sumber virus. Kelangkaan masker di desa juga turut mendorong warganya untuk tak bermasker.
Lebaran kali ini, pemudik diajak konsisten menggunakan masker dan tetap menjaga jarak. Pemudik harus menjaga diri dan keluarganya dari kemungkinan penyebaran virus korona melalui berbagai pertemuan dan silaturahmi Lebaran. Kesadaran ini dapat secara signifikan mengurangi risiko lonjakan penularan covid-19 setelah Lebaran. Ketika pademi segera berakhir, ancaman melonjaknya angka positif covid-19 pascalebaran harus dicegah bersama.
Para pemudik dan warga yang menikmati Lebaran dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, perlu tetap waspada akan bahaya covid-19. Menahan diri dan tidak berlebihan sebagai inti makna puasa Ramadan, perlu diaktualisasikan guna mencegah penularan korona. Semangat berbagi dan memberi, dikembangkan untuk pulihnya kondisi sosial-ekonomi.
Semoga Lebaran membuka pintu hikmah bagi bangsa Indonesia untuk bisa pulih dari keterpurukan kesehatan dan ekonomi pascapandemi. Selamat Idul Fitri 1443 H.