Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
KEJADIAN seseorang yang menjadi korban suatu tindak pidana melakukan perlawanan terhadap pelaku kejahatan, sangat mungkin terjadi. Bahkan terdapat terminologi hukum pidana yang khusus tentang hal tersebut, yaitu noodweer (pembelaan diri terpaksa) dan noodweer excess (pembelaan diri terpaksa lampau batas).
Syarat dilakukannya pembelaan diri terpaksa ini, meliputi perbuatan pembelaan diri dilakukan karena adanya serangan yang seketika saat serangan tersebut terjadi. Tidak ada pilihan lain dari si korban kecuali melakukan perlawanan untuk membela keselamatan badan dan atau barang milik sendiri atau orang lain. Yang perlu diperhatikan adalah harus seimbang antara perlawanan dan serangan.
Dalam hukum pidana, pembelaan diri terpaksa dilakukan dengan niat menghilangkan ancaman pada dirinya atau orang lain. Itu karena pembelaan dari ancaman kejahatan ini merupakan hak korban, maka sifat melawan hukum dari pembelaan tersebut dihapuskan. Ini dikenal sebagai alasan pembenar. Sedangkan dalam noodweer exces, pembelaan yang dilakukan tetap dilakukan meskipun ancaman telah hilang.
Pembelaan diri yang berlebihan tersebut melawan hukum namun karena adanya keguncangan jiwa yang hebat (hevige gemoedsbeweging) perbuatannya tidak dapat dipidana. Ini dikenal sebagai alasan pemaaf. Keduanya termasuk dalam dasar penghapus pidana, sebagaimana Pasal 49 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas mengatur bahwa pembelaan diri terpaksa dan pembelaan diri terpaksa lampau batas, tidak dipidana.
Telah jelas pengaturan KUHP mengenai hal tersebut. Selanjutnya bagaimana implementasi dari ketentuan itu, tidak terlepas dari proses hukum yang harus dilalui dalam penanganan kasus oleh aparat hukum. Sebagaimana diketahui, proses penanganan hukum pidana dimulai dari prosedur penyelidikan dan penyidikan yang menjadi wewenang Polri. Dilanjutkan dengan prapenuntutan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dan proses persidangan di pengadilan negeri. Ketiga institusi penegakan hukum ini berbagi wewenang, artinya setiap tahap memiliki perannya masing-masing.
Perlu diingat, suatu peristiwa merupakan tindak pidana jika memenuhi syarat terjadinya suatu tindak pidana yaitu adanya subjek pelaku tindak pidana yang melakukan tindakan yang dilarang oleh UU, adanya unsur kesalahan, dan perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Sehingga apakah suatu peristiwa dianggap sebagai tindak pidana, harus memenuhi unsur-unsur tersebut, dan sebelum seseorang dianggap atau diduga sebagai pelaku (tersangka), peristiwa yang terjadi tersebut sudah harus dipastikan adalah suatu tindak pidana.
Pada tahap penyelidikan, Pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Jika sudah dianggap memenuhi unsur tindak pidana, proses dilanjutkan ke proses penyidikan. Sebagaimana Pasal 1 ayat (2) KUHAP mengatur, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dari dua ketentuan ini terlihat sejauh mana porsi wewenang Polri selaku penyelidik maupun selaku penyidik dalam penanganan suatu perkara pidana. Melihat pada dua ketentuan tersebut, terdapat kesan penentuan apakah suatu kejadian merupakan tindak pidana atau bukan, hanya ada pada tahap penyelidikan. Sedangkan pada tahap penyidikan tinggal dilakukan pengumpulan bukti terkait suatu tindak pidana serta menemukan tersangkanya.
Wewenang
Pada kenyataannya, penyidik pada tahap penyidikan masih memiliki wewenang untuk menentukan apakah suatu kejadian merupakan tindak pidana atau bukan. Hal ini dapat terlihat pada pengaturan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, (dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, ….dst).
Artinya, walaupun pada tahap penyelidikan sudah diyatakan terpenuhinya unsur tindak pidana dalam perkara yang diperiksa, tetapi dalam tahap penyidikan, penyidik punya wewenang untuk menyatakan tidak terpenuhinya unsur pidana/bukan merupakan tindak pidana, berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan. Selanjutnya, ketika sudah diyakini dari hasil penyidikan bahwa unsur tindak pidana sudah terpenuhi, barulah penyidik dapat menetapkan seseorang yang diduga sebagai pelaku, menjadi tersangka.
Pengertian tersangka diatur pada KUHAP Pasal 1 ayat (14); tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tidak terdapat ketentuan yang jelas tentang apakah bukti permulaan yang cukup tersebut. Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa bukti permulaan atau bukti permulaan yang cukup adalah minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHP.
Dari alur tersebut, jelaslah bahwa terlebih dahulu suatu peristiwa tindak pidana harus telah ditetapkan benar terjadi, baru ditetapkan tersangkanya. Alasan penghentian penyidikan karena peristiwa yang dipersangkakan bukan peristiwa pidana, jika sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, juga menunjukkan ketidakhati-hatian atau tidak profesionalnya penyidik Polri.
Itu karena seseorang hanya dapat ditetapkan sebagai tersangka dalam proses penyidikan, dan dalam proses penyidikan yang sama itu pula mengemuka fakta-fakta secara keseluruhan termasuk latar belakang dilakukannya tindak pidana, yang membuat penyidik Polri mencabut status tersangka yang sudah ditetapkan serta menghentikan penyidikan. Dengan demikian, sebaiknya penyidik Polri lebih bijak dan tidak perlu terburu-buru menetapkan status tersangka seseorang. Terlebih kemudian mencabut status tersebut pada proses yang sama, yaitu penyidikan.
Latar belakang
Pada kasus pembelaan diri terpaksa, jika terdapat orang yang kehilangan nyawa akibat pembelaan diri yang dilakukan oleh orang lain, lalu terdapat barang bukti serta kesesuaian fakta bahwa kehilangan nyawa tersebut disebabkan oleh orang yang membela diri, pada dasarnya telah terpenuhi bukti permulaan yang cukup. Hal itu menjadikan orang tersebut dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Namun demikian penetapan seseorang sebagai tersangka, harus mempertimbangkan banyak faktor. Tentunya hal itu bukan sekadar melihat terpenuhinya unsur-unsur suatu tindak pidana, melainkan juga telah melihat apakah latar belakang suatu tindak pidana itu dilakukan oleh pelaku. Salah satunya, terkait adakah terpenuhi unsur-unsur yang menjadi alasan pemaaf atau alasan pembenar dari tindak pidana yang dilakukan oleh orang tersebut, karena keduanya memiliki konsekuensi hapusnya pidana.
Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur; tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Pasal 49 ayat (1) KUHP (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Kasus begal
Sebagai contoh dapat dilihat kasus korban begal di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Korban melakukan perlawanan terhadap empat pelaku begal yang menyerang dirinya. Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan atas para pelaku begal tersebut. Hal ini menuai banyak kecaman karena masyarakat menilai bahwa korban begal tersebut harus menanggung dua kali petaka. Yang pertama, dengan terjadinya begal pada dirinya. Kedua, dengan dijadikan sebagai tersangka oleh penyidik ketika pembelaan diri yang dilakukannya mengakibatkan kematian pelaku begal.
Pada kasus tersebut, korban seorang diri melakukan pembelaan diri terpaksa karena diserang empat begal yang mengancam diri dan harta bendanya. Tentu saja si korban mengalami keguncangan jiwa yang sangat hebat, dan melakukan perlawanan yang mengakibatkan hilangnya nyawa dua pelaku begal. Kondisi korban begal tersebut harus dipertimbangkan oleh penyidik, apakah dapat memenuhi alasan pemaaf sehingga perbuatannya tidak dapat dipidana. Atau dianggap tidak memenuhi alasan pemaaf, sehingga pelaku harus menanggung pidana atas perbuatannya.
Penyidik harus melihat peristiwa sebagai satu kesatuan yang bulat, yang mana terdapat fakta terpenuhinya tindak pidana (hilangnya nyawa orang karena perbuatan orang lain), dan apakah terdapat fakta terpenuhinya alasan pemaaf atas tindakan menghilangkan nyawa tersebut. Dengan demikian, penentuan status tersangka seharusnya telah mempertimbangkan semua faktor terkait, karena ketika terpenuhi alasan pemaaf atau alasan pembenar, hapuslah pidana bagi pelaku. Dengan begitu tidak ada urgensi penetapan tersangka bagi pelaku, karena perbuatan pelaku tidak dapat dihukum walaupun memenuhi unsur tindak pidana.
Penentuan ada atau tidaknya tindak pidana dan penentuan tersangka di tahap penyidikan, dilakukan setelah proses pemeriksaan dan dilanjutkan dengan mekanisme yang disebut gelar perkara. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana sebagai kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik kepada peserta gelar, dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan/masukan/koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.
Pelaksanaan gelar perkara mengundang fungsi pengawasan dan fungsi hukum Polri serta dihadirkannya ahli, sehingga kajian tentang ada/tidaknya tindak pidana dan apakah seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dapat dilakukan secara menyeluruh.
Perlu diingat, penetapan status seseorang sebagai tersangka, memiliki konsekuensi lebih lanjut, baik terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka termasuk keluarganya, masyarakat, dan kelanjutan proses itu sendiri. Walaupun secara teori seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan bersalah atasnya, yang berkekuatan hukum tetap (presumption of innocent), tidak dapat dihindari dampak psikologis bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka.
Tentu saja dia akan merasa sangat ketakutan dan merasa tidak terlindungi hak-hak dan keadilan bagi dirinya. Terutama jika ia melakukan tindak pidana itu akibat suatu keadaan memaksa yang tidak dapat dia hindari. Belum lagi melihat pada kemungkinan bahwa penyidik Polri memiliki wewenang untuk meletakkan seorang tersangka dalam tahanan, yang tentu berakibat terampasnya kebebasan dari tersangka. Sangatlah bijaksana jika semua tindakan penentuan status hukum yang terkait dengan nasib seseorang, dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan.
Penyidik Polri sebaik mungkin tidak meletakkan beban pembuktian pada proses selanjutnya (pra penuntutan oleh Kejaksaan dan proses di pengadilan) untuk menentukan kesalahan seseorang beserta faktor-faktor terkaitnya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan penyidik Polri melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, teliti, dan menetapkan seseorang sebagai tersangka untuk selanjutnya melimpahkan perkara ke tahap berikut, ternyata pada akhirnya ditemukan bahwa perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pasal 191 ayat (2) KUHAP Bagian keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa mengatur jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Ini adalah filter selanjutnya, untuk memastikan hanya pelaku kejahatan yang memang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana memperoleh hukuman sesuai hukum yang berlaku. Namun demikian pemeriksaan pada tahap penyidikan seharusnya telah dilakukan dengan benar, lengkap dan penuh pertimbangan, kecuali terdapat pertimbangan lain dari hakim.
Di samping itu, tindakan penyidik Polri terkait penetapan tindak pidana dan penetapan status tersangka, seharusnya didasarkan pada fakta yang terjadi, bukan alasan selain dari pada fakta itu sendiri. Setiap orang, termasuk di dalamnya korban, saksi, bahkan pelaku (tindak pidana) adalah sama di muka hukum dan berhak mendapatkan perlindungan hukum. Tugas aparat hukum dalam setiap prosesnya, memastikan hukum yang berlaku dijalankan sebagaimana mestinya.
KPK bakal melanjutkan proses hukum untuk Alwin. Dia sejatinya sudah dipanggil penyidik kemarin, namun, mangkir bersama dengan istrinya Hevearita.
Di sidang praperadilan Hasto Kristoyanto, pakar hukum pidana, Jamin Ginting menilai pimpinan KPK tak lagi berwenang menetapkan seseorang sebagai tersangka karena bukan penyidik.
KPK mengungkap adanya Rp400 juta uang untuk menyuap Wahyu Setiawan dari Hasto. Duit itu diserahkan melalui staf Hasto, Kusnadi.
Di samping itu, penetapan tersangka itu juga diduga untuk pengalihan isu terkait Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
KEPOLISIAN Resor Kota Barelang (Polresta Barelang) telah menetapkan dua pekerja PT Makmur Elok Graha (MEG) sebagai tersangka dalam kasus penyerangan yang terjadi di Rempang.
KPK mengubah format penetapan tersangka, kini penetapan tersangka akan langsung diumumkan pada publik.
Dari tiga pelaku yang diamankan ini, satu di antaranya terpaksa ditembak di bagian kaki kanannya karena melawan saat dibekuk.
Pelaku kini harus menjalani perawatan di RSUD Ir Soekarno Brebes, Ketanggungan akibat babak belur dihajar korban dan sejumlah temannya.
SEORANG wanita dipepet oleh komplotan begal bersenjata api saat dibonceng menggunakan sepeda motor di Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Penembakan
Sepeda motor korban dipepet oleh sebuah motor Honda PCX warna merah yang ditumpangi tiga orang pelaku hingga korban terjatuh.
Korban mengalami luka sobek di bagian leher hingga harus mendapatkan 20 jahitan
Pos Pantau Ramadhan juga untuk mengantisipasi tindak kejahatan atau kriminalitas yang terjadi seperti curanmor, pencurian rumah kosong (rumsong) dan aksi begal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved