Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Future Shock ala Toffler, Waspadai Buta Huruf Abad 21

Ismi S Hehamahua, Fungsional Pelaksana Humas, ASN di P3E Sulawesi Maluku-KLHK
25/4/2022 11:20
Future Shock ala Toffler, Waspadai Buta Huruf Abad 21
Ismi S Hehamahua(Dok pribadi)

ALVIN Toffler yang dikenal sebagai futurolog, jurnalis, sekaligus penulis pernah mengungkapkan bahwa, "The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." Atau kalau diartikan secara bebas bermakna 'mereka yang disebut buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (unlearn), dan belajar kembali (relearn)'.

Futurolog atau futuris merupakan ilmuwan/ilmuwan sosial yang mempunyai spesialisasi dalam futurologi, atau upaya untuk secara sistematis mengeksplorasi prediksi dan kemungkinan tentang masa depan dan bagaimana ia bisa muncul dari sekarang. Apakah itu masyarakat manusia tertentu atau kehidupan di atas  Bumi ini secara umum.

Istilah futurologi dalam arti kontemporer pertama kali diciptakan pada pertengahan 1940-an oleh Profesor Jerman Ossip K Flechtheim, yang mengusulkan ilmu baru probabilitas. Ia berpendapat bahkan jika peramalan sistematis tidak lebih dari sekadar mengungkap bagian dari proses statistik yang memungkinkan perubahan dan memetakan kemajuan mereka, ia tetap akan menjadi nilai sosial yang penting.

Mempelajari sesuatu yang baru itu sulit. Saat ini apa yang kita kuasai dari kemampuan 'baca dan tulis' tak akan terlalu signifikan berpengaruh. Dibutuhkan seperti jurus 'Ajian Serat Jiwanya Brama kumbara' di serial sandiwara radio Saur Sepuh untuk berpengetahuan dan mengerti akan suatu hal. Untuk mempelajari hal baru, kita membutuhkan ketiga proses yang disebutkan di atas; learn, unlearn, dan relearn. Dengan kata lain kita belajar untuk menanggalkan sementara pembelajaran tersebut, untuk selanjutnya mempelajari sesuatu hal yang baru lagi.

Menurut prediksi Toffler, "Mereka merasa sulit untuk menerapkan cara hidup yang benar-benar berbeda untuk diri mereka sendiri, apalagi peradaban yang sama sekali baru. Tentu saja mereka menyadari bahwa segala sesuatunya berubah. Tapi mereka menganggap perubahan hari ini entah bagaimana akan melewati mereka."

Salah satu penggalan kalimat tersebut ada dalam karya yang ditulis Toffler lewat bukunya berjudul Future Shock (Goncangan Masa Depan) dan The Third Wave atau (Gelombang Ketiga). Penulis dan visioner asal Amerika Serikat itu dikenal luas dengan karya-karya tersebut.

Adapun beberapa karya tulis Alvin Toffler saat menulis buku-bukunya bersama sang istri Heidi Toffler, antara lain; The Culture Consumers (1964), The Schoolhouse in the City (1968), Future Shock (1970), The Futurists (1972), Learning for Tomorrow (1974), The Eco-Spasm Report (1975), The Third Wave (1980), Previews & Premises (1983), The Adaptive Corporation (1985), Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century (1990), Creating a New Civilization (1995), War and Anti-War (1995), Revolutionary Wealth (2006).

Sosok berpengaruh 

Toffler lahir di Los Angeles, 4 Oktober 1928 meninggal dunia di kota yang sama pada 27 Juni 2016 di usia 87 tahun. Perusahaan konsultan manajemen Accenture menjulukinya sebagai suara paling berpengaruh ketiga di antara para pemimpin bisnis, setelah Bill Gates dan Peter Drucker. 

Mengutip Wikipedia, pada daftar Top 50 intelektual bisnis Accenture 2002, ia pun menduduki peringkat ke delapan. Ia juga digambarkan dalam Financial Times sebagai futurolog paling terkenal di dunia. Menarik dan tak ada salahnya kita kembali mengulik apa saja prediksi Toffler yang telah ditulis. Nyatanya terbukti beberapa puluh tahun kemudian. Buku Future Shock telah mengkaji akan adanya perubahan sosial besar-besaran beberapa tahun kemudian. Membuat sosok penulis ini salah satu futuris yang disegani di era modern.

Toffler pun secara akurat memprediksi tentang perkembangan ekonomi dan teknologi. Mencakup beberapa hal yakni komputer, internet pribadi, serta dampak sosial yang ditimbulkannya. Termasuk keterasingan sosial, kemerosotan keluarga dan meningkatnya sisi gelap manusia.

Ramalannya juga tentang pada suatu masa yang mana kemajuan teknologi membentuk suatu era yang disebut sebagai pasar daring (online) kemudian meningkat menjadi life style. Akan hadir suatu masyarakat yang konsumtif, dan kini gaya hidup konsumerisme, atau flexing sebagai sesuatu tren topik yang nyata dan menyentuh sebahagian masyarakat.

Era lompatan hingga jalan pintas

Toffler memikat jutaan orang di seluruh dunia dengan ramalan mendalam tentang segala hal, mulai dari munculnya internet hingga gelombang baru kejahatan lainnya. Karyanya membahas tentang kemajuan sosial dan teknologi yang cepat akan menyapu masyarakat ke era perubahan baru yang tak kenal lelah bagaikan quantum leap. Suatu lompatan besar ke depan dengan jalan pintas yang telah bertransformasi.

Dengan tepat meramalkan ekonomi berbasis pengetahuan akan melampaui era pascaindustri. Melampaui era mesin uap ke era digitalisasi, mengalihkan fokus dari industri manufaktur menyasar ke tenaga kerja dalam dunia informasi dan data. Hal ini didominasi media interaktif serta ruang-ruang melalui platform obrolan daring.

Masih segar dalam benak kita tentang trading yang mengantarkan Indra Kenz, Fakarich, dan Doni Salmanan terkenal berlabel crazy rich. Sosok anak-anak muda dengan penampilan outfit bermerk plus tunggangan mentereng, dan punya penghasilan di luar nalar sehat. Mereka dan nama lainnya dalam dunia trading berskema ponzi ini cukup mampu mendongkrak bisnis jalan pintasnya meraih pundi-pundi cuan. Pada kenyataannya menjadi salah satu celah kejahatan, sehingga mengakibatkan kerugian materi para korban yang tak sedikit.

Menurut Toffler bahwa teknologi canggih dan sistem informasi memungkinkan sebagian besar pekerjaan masyarakat dilakukan di rumah, melalui pemasangan komputer-telekomunikasi. Atau dengan kata lain saat ini jamak terdengar kata work from home (WFH), atau work from anywhere (WFA).

Toffler boleh hebat dengan segudang ramalan. Namun yang patut digarisbawahi saat ini tidak ada satu pun antisipasi atau prediksi dari banyak pakar, termasuk pakar futurulogi terkemuka dunia, yang pernah memperkirakan pada suatu masa akan datang suatu turbulensi di tengah gemerlap kemajuan teknologi. Badai itu bernama pandemi covid-19 pada 2020 hingga akhirnya mengubah kebiasaan sehari-hari umat manusia.

Sekarang memakai masker, mencuci tangan, dan menerapkan protokol kesehatan dalam setiap aktivitas merupakan hal yang jamak biasa dilakukan dalam keseharian. Dahulu jika memakai masker seorang diri di tengah orang banyak, perhatian akan tertuju pada kita. Kebiasaan baru membawa perubahan pada kehidupan sehari-hari demi kebaikan bersama. 

Ada pepatah menyebutkan pelaut ulung tidak dilahirkan di lautan yang tenang. Tanpa terasa pandemi pun telah menyapa sejak dua tahun lalu. Pagebluk telah memaksa kita untuk meloncat lebih cepat dalam era percepatan teknologi. 

Keadaan pandemi memaksa pada perubahan/kebiasaan keseharian yang tak pernah terbayangkan dan melaju sangat cepat. Hal itu menuntut kita agar cepat beradaptasi terhadap perkembangan jaman yang semakin cepat. Pandemi memaksa kita untuk berubah atau tergilas roda putaran era disruptif. Hal itu merupakan hukum alam; siapa yang mau berubah, siapa yang bertransformasi, maka dia yang akan bertahan dari turbelensi digital disruptif.

Literasi digital

Keadaan teknologi digital sekarang mengalami shifting atau pergeseran yang harus beradaptasi dan berkolaborasi secara cepat. Era teknologi secara eksponansial semakin cepat bertumbuh. Pertumbuhan eksponensial ini merupakan proses yang meningkatkan kuantitas dari waktu ke waktu.

Teknologi digital telah membawa umat manusia dalam lompatan yang jauh ke depan di bidang komunikasi dan informasi. Hal itu berdampak pada hampir semua aspek kehidupan dalam era Industri 4.0 dan memasuki society 5.0, dari era steam engine ke era internet of things (IoT), metaverse, koin dan token crypto serta non-fungible token (NFT).

Menurut salah satu Certified Eksekutif Coach Internasional dan penulis buku Enjoy Life with Eco Life, Darhamsyah, ada beberapa cara dalam memaknai hidup ini dengan cara smart; konfigurasi rumus yang bernama reappraisal, represure atau reframing dengan jalan menerapkan formula reintrepeting, renormalizing, reordering dan repositioning.

Sangat bagus jika kita melihat sesuatu dalam sudut pandang yang lain. Melihat persepektif ketika suatu masalah datang menerpa dalam kehidupan. Melihat sesuatu dari kacamata orang lainlah yang membedakan angle sudut pandang kita.

Dibutuhkan kemampuan menerima perubahan walau tak akan semua orang dapat menerima perubahan ini. Perubahan itu membutuhkan komunikasi, kekuatan, dan kemampuan mendengar. Kemauan semangat bergerak lebih lincah atau agile serta inovasi, dan berpikir positif. Satu hal lagi yang penting tentukanlah arah dan tujuan ke mana kita akan bergerak.

Tentu hal itu bisa dilakukan dengan pengetahuan literasi digital yang mumpuni. Semoga kita menjadi pelaut-pelaut yang tangguh, berhasil dalam gelombang pandemi menuju era pemulihan normal baru dengan pusaran quantum leap disrupsi digital. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya