Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menanti Sosok Mafia Minyak Goreng

Eko Suprihatno, Editor Media Indonesia
02/4/2022 13:30

Hari-hari belakangan ini kita makin sering disuguhi pemandangan yang kontradiktif terkait minyak goreng. Kalau sebelumnya orang-orang rela antre berjam-jam karena barang langka akibat penerapan harga eceran tertinggi, kini antrean terjadi karena minyak goreng murah untuk masyarakat menjadi barang langka.

Baca juga: Minyak Goreng Ada di Komputer, tidak di Pasar

Kalau saja masyarakat punya daya beli yang tinggi, minyak goreng premium yang dijual di toko-toko retail dengan harga mencekik leher, pasti akan dibeli.

Sebelumnya minyak goreng kemasan tiba-tiba saja serempak langka begitu ada penetapan harga eceran tertinggi (HET) melalui Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6 tahun 2022 pada 26 Januari 2022.

Indonesia memang negeri penuh kejutan. Bayangkan saja ketika minyak goreng diharuskan dijual dengan harga Rp14 ribu per liter, barangnya seolah mendadak lenyap dari muka bumi. Berjuta kilah pun dimunculkan pihak-pihak yang punya urusan perminyakan ini. Kalau pun ada, cuma dalam hitungan menit langsung ludes dibeli warga.

Baca juga: Polda Banten Bongkar Mafia Minyak Goreng Curah dalam Kemasan

Tapi begitu harga dilepas dengan pasaran Rp24 ribu per liter, barang-barang yang tadinya tenggelam di dasar bumi langsung memenuhi rak-rak toko ritel dan pasar. Lebih menyakitkan ketika ada pejabat pemerintah yang justru menyalahkan emak-emak karena memborong minyak sehingga menjadikan barang itu langka.

Yang hebat adalah Menteri Perdagangan M Lutfi langsung mengumumkan akan ada tersangka mafia yang membuat kacau minyak goreng. Tapi sebulan berlalu, pak menteri tak juga ngomong siapa sosok mafia itu. Enggak jelas juga apa alasan beliau bungkam. Tak berani bilang karena ada tekanan, atau karena hal lain. Tapi yang pasti, pelaku kekacauan ini memang terbilang mafia yang hebat, karena membuat negara bertekuk lutut.

Setali tiga tiga uang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, mengungkapkan kabar serup. Seperti dituliskan Editorial Media Indonesia Rabu 30 Maret 2022 berjudul Memukul Kartel Minyak Goreng, temuan satu alat bukti atas dugaan kartel minyak goreng. Itu memang kabar baik meski tidak mengagetkan.

Temuan itu merupakan hasil investigasi KPPU sejak Januari 2022. Satu alat bukti telah cukup membawa proses penegakan hukum soal dugaan kartel naik ke proses penyelidikan. Kita tentu saja mengapresiasi kerja KPPU dan proses penegakan hukum mestinya berujung ke penuntutan. Itu merupakan hasil wajar dan, bahkan minimal. Sebab kejanggalan pasokan sangat mudah dirasakan orang awam sekalipun.

Kelangkaan serempak bukan sesuatu yang mengagetkan. Kecuali terjadi peristiwa force majeure yang membuat banyak alat produksi rusak. Lha ini kan enggak begitu, apalagi alasan panen yang turun hingga distribusi yang terganggu akibat berkurangnya jumlah kapal sangat sulit diterima akal. Terlebih, kenyataannya kepolisian menemukan penimbunan jutaan kilogram minyak goreng di sejumlah daerah.

Aroma kartel makin kuat karena begitu pemerintah mencabut HET minyak goreng kemasan pada 19 Maret 2022. Pasokan di pasar langsung melimpah. Padahal, sebelumnya agen dan jaringan ritel berkali-kali mengatakan harus menunggu lama untuk pasokan minyak goreng. Fakta itu menyiratkan adanya kongkalikong di antara para produsen untuk menahan stok, yang berarti melanggar pasal 11 Undang-Undang no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Investigasi KPPU juga melihat permainan stok itu menjurus ke praktik permainan harga, yang berarti melanggar pasal 5 undang-undang yang sama. Investigasi kartel minyak goreng bahkan semestinya diperluas lagi pada pemenuhan pasokan minyak sawit mentah, crude palm oil atau cpo dalam negeri. Sejak 27 Januari 2022 kementerian perdagangan juga menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

Kebijakan baru tersebut mengamanatkan para eksportir minyak sawit untuk memasok ke dalam negeri sebesar 30% dari total volume ekspor CPO dan turunannya. Angka itu naik dari kewajiban 20% sebelumnya.

Sampai di sini sebenarnya banyak banget yang harus ditelisik lebih dalam lagi. Senyatanya ada pembangkangan industri sawit akan ketahanan pangan dalam negeri. Mereka tak peduli dengan kondisi pasokan dalam negeri. Padahal mereka sudah mendapat sejumlah kemudahan. Pertanyaannya, kalau mereka begitu berani mengangkangi beleid yang dikeluarkan pemerintah, patut diduga ada sesuatu yang membuat mereka memegang kartu truf. Kalau memang ada seperti itu sih, wajar sajalah pelaku industri sawit yang tak peduli.

Yang tidak bisa dibantah, urusan urusan minyak goreng di negeri ini dikuasai oleh para spekulan yang memainkan harga seenaknya. Celakanya, pemerintah seakan tidak berdaya untuk bertindak melawan para pengusaha nakal itu.

Kemendag, KPPU, sudah mengungkapkan permasalahan yang ada. Kesamaan ungkapan mereka cuma pada ungkapan adanya permainan dalam proses produksi minyak goreng. Tapi kedua lembaga ini tak mengungkapkan siapa yang bermain dengan nasib rakyat banyak. Polri pun masih menunggu informasi lanjutan, seperti diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, yang justru menyatakan pihaknya akan melakukan konfirmasi ke Menteri Perdagangan.

Buat emak-emak, mohon urat sabar dipanjangkan ya. Sebab harapan bahwa minyak goreng akan bisa dibeli dengan harga seperti sebelum kisruh ini, akan lenyap. Padahal harapan kita adalah memiliki pemerintah yang melindungi rakyatnya dengan baik, bukan malah mengombang-ambingkan nasib rakyat yang sudah semakin sesak napas.

Kalau aparat berwenang kelamaan bertindak, jangan salahkan rakyat kalau berspekulasi bahwa para pejabat yang menangani urusan minyak goring lebih melindungi kepentingan para pengusaha nakal daripada nasib rakyat kecil.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya