Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Menilik Hilirisasi Kelapa Sawit dan Opsi Kebijakan

Frans BM Dabukke Analis Kebijakan Muda di Kementerian Pertanian
16/2/2022 05:05
Menilik Hilirisasi Kelapa Sawit dan Opsi Kebijakan
Ilustrasi Pohon Kelapa Sawit(MI/AMIRUDDIN ABDULLAH REUBEE)

INDUSTRI sawit nasional kembali mencuat ke permukaan setelah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam pidato kembali menyentil, sekaligus mengingatkan agar ekspor sawit nasional tidak melulu crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah. Bahkan, dengan tegas disampaikan kesan bahwa industri sawit sudah terlalu lama terlena, dan untuk itu harus dipaksa oleh pemerintah. Tulisan ini akan menggambarkan keragaan hilirisasi kelapa sawit dari sisi posisi dan peran CPO dalam struktur produksi dan ekspor sawit Indonesia secara statis (dalam satu titik waktu).

 

 

Konsep hilirisasi

Hilirisasi sesuai arti katanya adalah upaya menuju pengolahan lebih lanjut atau lebih mendalam atau lebih ke arah hilir suatu komoditas atau produk untuk menguasai nilai tambah yang lebih tinggi secara berkesinambungan. Hilirisasi terkait dengan konsep industrialisasi, yaitu langkah untuk mengembangkan industri-industri yang mengolah atau memabrikasi (manufacturing) bahan baku mentah atau primer menjadi produk olahan (processed) atau baik industri sekunder maupun produk jadi (final products) atau industri tersier.

Konsep hilirisasi dapat dimengerti dengan lebih mudah menggunakan klasifikasi perdagangan harmonized system code (HS Code). Dalam HS Code ini, semakin tinggi nilai awal kodenya, dapat diartikan semakin lanjut atau dalam pengolahannya atau produknya. Klasifikasi itu bila digunakan untuk kelapa sawit misalnya, level 1 untuk produknya ialah HS Code 14 untuk kernel sawit dan 15 untuk minyak baik dari buah maupun kernel sawit.

Buah sawit dan kernel ini yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi produk level 2 seperti fatty acids, olein, stearin, gliserol, dan lainnya. Produk level 2 ini yang kemudian diolah atau dimanufaktur lagi menjadi produk level 3 menjadi misalnya fatty alcohol, soap chips, industrial fatty acids, biodiesel, dan lainnya. Selanjutnya, baik dari produk level 2 maupun level ini dipabrikasi menjadi produk akhir menjadi seperti margarin, sabun, kosmetik, B30, dan lainnya.

Ada ratusan jenis komoditas dan produk olahan dari kelapa sawit, tetapi hanya puluhan yang bernilai ekonomis dan mampu diproduksi serta diekspor menurut Statistik Kelapa Sawit Badan Pusat Statistik (BPS). Produk-produk yang disebutkan di atas ialah produk kelapa sawit berdasarkan HS Code utama saja. Keseluruhan produk hilirisasi sawit itu digunakan untuk menyuplai baik secara langsung maupun menyubstitusi impor bahan baku bagi industri manufaktur domestik, yang berbahan baku kelapa sawit. Di samping itu juga untuk diekspor.

 

 

Indikator dan capaian hilirisasi 2019 

Dengan demikian, suatu strategi hilirisasi, termasuk untuk kelapa sawit, dapat diukur keberhasilannya dari variabel; 1. Pangsa produk olahan terhadap total produksi dan ekspor atau impor, 2. Keberagaman dan kedalaman jenis produk olahan yang dipasarkan, dan 3. Pertumbuhan pangsa produksi, ekspor dan impor produk olahan.

Dengan 3 variabel keberhasilan yang diajukan di atas, akan digambarkan capaian hilirisasi kelapa sawit nasional pada 2019 sebagai acuan. Pilihan 2019 untuk menetralisir efek pandemi. Statistik Kelapa Sawit BPS mencatatkan produksi CPO nasional 2019 sebesar 47,12 juta ton dan inti sawit (kernel) sebanyak 9,42 juta ton. Publikasi BPS ini juga menunjukkan ada 4 HS Code utama produk kelapa sawit yang diekspor, yang secara volume dan nilai ekspornya mendominasi. Dua HS Code produk berbasis CPO dan dua produk lainnya berbasis inti sawit (kernel). Volume dan nilai ekspor ke-4 HS Code ini masing-masing mencapai 30,22 juta ton dan US$15,99 miliar.

Secara berurutan dari sisi nilai ekspornya, mulai tertinggi ialah produk other palm oil/15119000, crude palm oil/15111000, other palm oil kernel/15132900, dan crude oil of palm kernel/15132110. Keempat HS Code utama ini mendominasi pangsa volume dan nilai ekspor masing-masing sebesar 66% dan 75% dari total ekspor Indonesia. Sisanya ialah produk HS Code lain yang berjumlah 41 jenis HS Code.

Konsentrasi ratio 4 produk terbesar ialah 75%, sedangkan 41 produk lainnya memiliki konsentrasi ratio sisanya atau 25%. Artinya dominasi 4 produk sawit HS Code utama sangat besar. Dalam konteks keinginan dan direktif Presiden, hilirisasi yang dimaksud tentunya dimulai dengan produk olahan CPO HS Code 15119000 ini yang di dalamnya masuk kategori produk refined, bleached, deodorized (RBD), dan sejenisnya. Walaupun dalam konteks yang lebih advanced, produk olahan HS Code ini masih dalam satu kategori dengan CPO, yaitu di HS Code 15, yang artinya pengolahan yang dilakukan belum merubah baik bentuk fisik maupun nilai tambahnya.

Bila hilirisasi kelapa sawit dimulai dari produk olahan CPO HS Code 15119000 ini, volume dan nilai serta pangsa volume ekspor nasionalnya masing-masing ialah 20,88 juta ton, US$11,08 miliar dan 44,31%. Ekspor CPO mencapai 7,40 juta ton atau 15,71%. Produksi CPO nasional mencapai 47,12 juta ton pada tahun yang sama atau hampir setengah dari produksi CPO nasional diekspor sudah dalam bentuk olahan RBD dan sejenisnya.

Di luar 4 HS Code utama di atas, dari 41 jenis produk lainnya, nilai ekspor tertinggi ialah produk fatty alcohol yang mencapai US$654,42 juta, lalu biodiesel yang bernilai US$653,34 juta dan industrial fatty acid yang bernilai US$652,42 juta. Ditambah produk lainnya seperti stearic acid, palm kernel, gliserol, stearic acid, dan soap chips. Total ialah 41 produk dengan total nilai ekspor US$15,80 miliar.

 

 

Kebijakan dan opsinya

Kebijakan dalam implementasi strategi hilirisasi kelapa sawit dapat diklasifikasikan sebagai kebijakan promosi fasilitasi dan kebijakan hambatan proteksi. Kebijakan promosi ekspor terdiri dari kebijakan pengurangan pajak penghasilan untuk industri hilir dan pajak untuk industri pelopor kelapa sawit, yang dipadukan dengan pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk pengembangan industri, serta pengembangan kawasan industri terintegrasi hilir sawit.

Kebijakan terakhir ialah kebijakan pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit yang dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilir sawit, subsidi biodiesel, dan riset inovasi produk sawit, sedangkan kebijakan hambatan proteksi utamanya ialah kebijakan pengenaan bea keluar minyak kelapa sawit dan turunannya untuk menjamin dan meningkatkan ketersediaan bahan baku CPO untuk industri hilir dalam negeri. Lalu, kebijakan kewajiban penyediaan CPO untuk bahan baku biodiesel dalam negeri.

Dampak berbagai kebijakan tersebut secara statis sudah cukup baik seperti tergambarkan di atas, yaitu pangsa ekspor biodiesel dan produksi biodiesel dalam negeri oleh Pertamina yang semakin tinggi. Pangsa dan nilai produk olahan sawit baik sekunder maupun tersier yang relatif signifikan dan tinggi jika dibandingkan dengan ekspor CPO, dan sudah beragamnya produk olahan yang mampu diproduksi dan diekspor. Kebijakan yang masih belum disentuh antara lain pengembangan dan penguatan industri domestiknya dan pengembangan pasar baik domestik maupun global, termasuk diversifikasi pasar untuk produksi berbasis inti sawit. Inti sawit masih diekspor mentah atau proses sederhana.

Kedua kebijakan lain di atas yang dapat diharapkan untuk lebih mendorong agar industri hilir sawit dapat dikuasai oleh pelaku nasional dan total nilai tambah hilirisasi berputar dominan bagi perekonomian nasional. Pasar domestik juga dapat dikuasai pelaku industri hilir nasional dan tidak malah dikuasai perusahaan asing seperti yang terjadi di produk hilir industri lain. Yang pada akhirnya dapat dicapai pertumbuhan dan penguasaan industri hilir sawit nasional yang berkelanjutan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya