Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Habitus Baru dalam Pendidikan

Bernardus Tube Beding, Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng
25/1/2022 19:00
Habitus Baru dalam Pendidikan
Bernardus Tube Beding(Dok pribadi)

PENDIDIKAN merupakan hal penting dan utama di tengah era disrupsi. Setiap orang antusias berkompetisi untuk mendapatkan pendidikan terbaik guna meningkatkan kualitas hidup. Dalam pendidikan, niscaya setiap komponen berhadapan dengan situasi digitalisasi. Berbagai perubahan membawa artikulasi baru dalam memahami diri manusia.  

Kehidupan manusia mulai bergantung pada teknologi. Bahkan, teknologi dengan berbagai perangkatnya sudah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, termasuk dalam dunia pendidikan. David Bell (2001) dalam bukunya, An Introduction to Cybercultures menulis, “Sitting here, at my computer, in cyberspace.” Bell ingin menunjukkan bahwa komputer dan internet telah membawa manusia memasuki dunia maya (cyberspace) dan telah menggiring manusia memiliki budaya maya (cybercultures).

Pada 1969 keberadaan internet hanya digunakan oleh Departemen Pertahanan AS. Sejak 1986, internet mulai diadopsi untuk keperluan non militer. Mulai 1991, internet dibuka untuk kepentingan komersial, hingga 2006 internet telah menjangkau 75% rumah di AS (Sraubhaar dan LaRose, Media Now, 2006).

Sementara itu, Internet World Stats meliris jumlah penguna internet di Indonesia di 2000 berjumlah 2 juta. Namun, 2008 berlipat 12,5 kali menjadi 25 juta (sekitar 10 persen dari populasi) dan jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, hingga 2017 mencapai 143,26 juta orang.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi pengguna internet Indonesia 2019-2020 berjumlah 73,7 persen, naik dari 64,8 persen dari 2018. Jika digabungkan dengan angka dari proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), populasi Indonesia di 2019 berjumah 266.911.900 juta, sehingga pengguna internet Indonesia diperkirakan sebanyak 196,7 juta. Jumlah tersebut naik dari 171 juta di 2019 dengan penetrasi 73,7 persen atau naik sekitar 8,9 persen atau sekitar 25,5 juta pengguna. Selanjutnya, APJII juga survei pengguna internet pada pendidik dan peserta didik, yakni sebanyak 88,24 persen adalah mereka yang menyandang predikat sebagai magister dan doktor, sedangkan yang sarjana dan diplomat mencapai 79,23 persen.

Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo merilis hasil survei bahwa pada 2021 pengguna internet di Indonesia meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari 175,4 juta menjadi 202,6 juta pengguna. Bahkan, jumlah pengguna internet, Indonesia menduduki peringkat ke-3 terbanyak di Asia dan peringkat ke-8 di dunia. Dalam konteks dunia pendidikan, sesungguhnya internet telah melahirkan habitus baru bagi setiap komponennya, khususnya pendidik dan peserta didik dalam kegiatan membaca.

Pertama, pendidik dan peserta didik membaca layar atau sceen-reading (Cranny-Francis, Multimedia: Texts and Contexts, 2005). Artinya, berbagai macam informasi tersaji di layar komputer atau telepon genggam yang nirkertas (paperless). Cara konvensional, yakni memegang dan membaca buku sambil duduk dengan kepala menunduk atau sambil tiduran pun ditingglkan.

Kedua, pendidik dan peserta didik memahami gejala multisemiotis (banyak tanda). Dalam internet, teks tidak melulu berupa tulisan, tetapi juga tanda visual, warna, suara, gerak, jarak, dan hubungan antartanda yang animatif. Karena itu, habitus baru pendidik dan peserta didik, yakni kemampuan memahami aneka tanda untuk menangkap apa yang dinyatakan teks dan bagaimana teks menyatakannya (synaesthesia).

Ketiga, umumnya, internet menggunakan bahasa asing. Artinya, banyak informasi di internet tersaji dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Fakta ini memunculkan isu dominasi bahasa Inggirs dalam internet yang dikhawatirkan meminggirkan bahasa-bahasa lain. Namun, sungguh sulit dihindari, habitus baru, yakni menuntut pendidik dan peserta didik memiliki kemampuan bahasa asing (Inggris).

Keempat, internet memiliki keberaksaraan digital atau digital literacy (Gilster, 1997). Habitus baru pendidik dan peserta didik, yakni keterampilan mengoperasikan program, membuka laman-laman selancar, membolak-balik halaman buku, dan mengacusilangkan sebuah laman dengan laman lain sebelum atau sesudah. Digital literacy juga mencakup kemampuan kritis dalam memilah informasi (information) dan pengetahuan (knowledge). Internet ibarat lautan informasi, tetapi tidak semua bernilai sebagai pengetahuan.

Dewa informasi

Dengan demikian, para pendidik dan peserta didik memiliki life style baru; dapat membuka karier baru; internet menuntut aturan baru bagi pendidik dan peserta didik; internet menampilkan isu-isu baru; internet membentuk dinamika kekuasaan yang baru; bahkan internet menebar berbagai kecemasan baru, termasuk kecemasan sejumlah orang terhadap pendidik dan peserta didik dalam menggunakan media maya, seperti facebook.

Kehadiran internet dalam dunia pendidikan, dimitoskan sebagai dewa informasi. Dalam konteks ini, beberapa hal perlu diwaspadai oleh pendidik dan peserta didik; pertama, masalah kesenjangan. Internet mensyaratkan perangkat keras, perangkat lunak, dan aneka keterampilan yang sulit dipenuhi mayoritas pendidik dan peserta didik, khususnya mereka yang mengenyam pendidikan di perdesaan.

Wajar jika pendidik dan peserta didik 'perdesaan' tidak mampu mengaskes buku digital yang ditawarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi karena keterbatasan fasilitas. Jadi, pendidik dan peserta didik masa depan adalah kaum yang luar biasa timpang atau senjang dalam informasi dan pengetahuan. Bagi sebagian (kecil) pendidik dan peserta didik, informasi dan pengetahuan murah berlimpah, tetapi sungguh tak terjangkau bagi sebagian (besar) yang lain.

Kedua, masalah aborsi budaya baca. Teeuw (Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 1994) menelusuri rendahnya budaya baca mayarakat Indonesia, khususnya kaum pelajar. Lebih lanjut, menurut Teeuw, ada empat tahap perkembangan budaya, yakin kelisanan murni, khirografik (mendengar kisah yang dibacakan), tipografik (membaca dan menulis), serta elektronik (mendengar dan menonton). Namun, Teeuw juga menegaskan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memasuki era disrupsi elektronik tanpa pembatinan atau pencernaan budaya baca-tulis yang mendalam dan sungguh-sungguh. Saat budaya baca belum kuat dan berakar dalam diri setiap orang. Mereka dimanja tradisi pascabaca (mendengar dan menonton) khas tahap elektronik.

Budaya baca menjadi teraborsi, yakni belum tumbuh utuh tetapi sudah harus mati. Karena itu, kehadiran internet dapat menjadi ironi kultural. Internet mensyaratkan tingginya budaya baca, tetapi menghampiri masyarakat Indonesia, khususnya kaum akademis yang tuna budaya baca. Artinya, meski banyak pendidik dan peserta didik menggunakan internet, sesungguhnya mereka tidak menghidupi budaya baca karena sekadar melanggengkan budaya mendengar dan menonton jilid baru.
 
Ketiga, soal pudarnya etos membaca. Jutaan 'buku maya' di internet memungkinkan pencarian pengetahuan secara instan. Sebaliknya, membaca buku konvensional tidaklah sebatas mencari pengetahuan, tetapi juga menjadi dialog intens antara pembaca dan penulis beserta pergulatan pemikirannya. Dialog dapat terungkap lewat corat-coret atau highlight yang dibuat pembaca pada lembar-lembar buku yang digulatinya. Corat-coret yang highlight juga mencerminkan dialog antara pembaca, penulis, dan pemikiran (penulis atau buku) lain.

Itulah keasikan dan kenikmatan membaca buku konvensional yang mustahil dilakukan dalam screen-reading. Semua itu lalu membentuk etos membaca yang pada gilirannya membangun pengetahuan individual maupun kolektif menjadi sistem pengetahuan pendidik dan peserta didik. Pudarnya etos membaca sebenarnya mengisyaratkan bencana (besar), yakni runtuhnya pengelolaan pengetahuan (knowledge management) dan pembangunan pengetahuan (knowledge building) pendidik dan peserta didik. Padahal pendidik dan peserta didik dengan budaya dan etos membaca tinggi, internet justru mendukung pengelolaan dan pembangunan pengetahuan mereka.

Kehadiran internet yang telah melahirkan habitus baru dalam dunia pendidikan menimbulkan progress mind-set pendidik dan peserta didik sekarang sebagai connectivus socialis. Artinya eksistensi pendidikan zaman sekarang ditandai dengan koneksi atau jaringan internet.  Semua lini kehidupan akademik mulai dibangun dengan gaya kekinian yang serba digital. Satu sisi, ungkapan 'mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat' merupakan bentuk kegagalan penggunaan teknologi. Penggunaan internet dalam dunia pendidikan boleh diartikan sebagai wajah ganda. Satu sisi, dapat menjadi jembatan atau penghubung pengetahuan, tapi di sisi lain dapat menjadi jurang pemisah.

Dalam konteks literasi (baca-tulis), semoga pendidik dan peserta didik tetap berkesadaran kritis bahwa dunia dan kehidupan juga sebuah buku. Semua gejalah alam serta segala peristiwa sosial, politik, kultural dalam lingkup global, nasional, lokal, hingga rintihan tetangga karena terlilit kemiskinan adalah teks-teks yang wajib dibaca dan dimaknai. Inilah habitus membaca sejati yang patut kita miliki.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik