Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Konstitusionalitas BRIN

Budi Suhariyanto Peneliti hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
19/1/2022 05:05
Konstitusionalitas BRIN
(Dok. Pribadi)

DISKURSUS publik tentang BRIN semakin intens hingga menyoal konstitusionalitasnya. Isu konstitusionalitas BRIN telah digulirkan melalui gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah menjatuhkan putusannya bernomor 46/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima.

MK mengemukakan pertimbangan dalam putusannya bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang di dalamnya mengubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional dan Ilmu Pengetahuan Teknologi (UU Sisnas Iptek) yang merupakan objek dimohonkan pemohon untuk diuji itu telah diputus dengan putusan No 91/PUU-XVIII/2020. Karena itu, MK bersimpulan bahwa permohonan pemohon kehilangan objek.

 

 

Konsekuensi dari putusan MK

Secara normatif, ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek dengan perubahannya dalam UU CK berbunyi sama, yaitu untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional”.

Juga, dalam penjelasan ketentuan tersebut, dari kedua undang-undang juga sama, yaitu yang dimaksud dengan ‘terintegrasi’ ialah upaya mengarahkan dan menyinergikan, antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.

Adapun yang membedakan pada Pasal 48 ayat (2)-nya yang mana pada UU Sisnas Iptek ditentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh presiden. Sementara itu, pada pasal dan ayat yang sama, UU CK mengadakan perubahan menjadi untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi di daerah, pemerintah daerah membentuk badan.

Kendati Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 memberikan tenggang waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pembentukan sebagai syarat konstitutionalitas UU CK, tidak berdampak dengan eksistensi ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek. Karena itu, BRIN memiliki dasar konstitusional untuk tetap berjalan sesuai yang ditentukan dan diatur presiden dalam peraturan presiden.

 

 

Kewenangan presiden

Merujuk pada ketentuan konstitusi, terkait kewenangan pemerintah dalam pemajuan iptek berdasarkan pada Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi: pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia, dihubungkan dengan presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Maka itu, sangat jelas, bahwa presiden merupakan penanggungjawab dari sistem pengelolaan iptek.

Merupakan hal yang konstitusional bilamana Pasal 48 ayat (3) UU Sisnas Iptek menentukan bahwa pengaturan tentang BRIN diatur dengan peraturan presiden (perpres). Dalam konteks ini, pembentuk UU Sisnas Iptek menyadari bahwa presiden merupakan penanggungjawab pemajuan iptek.

Kedudukan Perpres No 78 Tahun 2021 tentang BRIN didasarkan atas delegasi formal dan materiel dari UU Sisnas Iptek. Secara formal, ditinjau dari segi pembentukannya, bahwa Perpres BRIN tersebut dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari UU Sisnas Iptek. Sementara itu, secara materiel, materi muatan Perpres BRIN berisi materi yang diperintahkan UU Sisnas Iptek. Karena itu, memiliki validitas norma hukum. Validitas norma hukum tersebut juga termasuk dalam hal pengaturan kewenangan presiden dalam mengimplementasikan integrasi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) dalam BRIN.

 

 

Open legal policy

Pada dasarnya, presiden memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan apakah BRIN akan dimodel peleburan ataukah berfungsi mengoordinasikan litbangjirap saja. Hal itu disebabkan UU Sisnas Iptek tidak menentukan secara eksplisit tentang model atau bentuk integrasi litbangjirap itu dalam BRIN. Karena itu, memberikan kebijakan pembentukan peraturan yang bersifat terbuka kepada presiden. Dalam konteks doktriner, hal ini dikenal dengan open legal policy (OLP).

Keberadaan OLP itu juga diperkuat dengan adanya frasa ‘antara lain’ dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek (sebagaimana tersebut di atas) yang mana dapat membuka kemungkinan bentuk kegiatan lain yang dikategorikan sebagai upaya lainnya yang notabene tidak tercantum secara eksplisit dalam undang-undang. Dengan demikian, cukuplah upaya yang lain itu dimasukkan dalam Perpres tentang BRIN. Maka, itu sudah mendapatkan keabsahan sebagai bagian dari kegiatan yang bermakna ‘terintegrasi’.

Bilamana sebelumnya, pelaksanaan fungsi litbangjirap terdesentralisasi dan kemudian dievaluasi presiden sehingga diganti dengan model sentralisasi berbentuk peleburan dalam satu naungan BRIN, itu sah sepanjang didasari oleh perpres.

Demikian juga sebaliknya, bilamana di masa mendatang presiden melakukan evaluasi terhadap model sentralisasi dan akan mengembalikan ke desentralisasi dengan menghidupkan kembali lembaga dan unit litbangjirap pada kementerian/lembaga (K/L) sehingga BRIN bersifat mengoordinasi dan menyinergikan saja, itu sah juga sepanjang didasari oleh perpres. Oleh karena itu, kebijakan integrasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan litbangjirap ke dalam BRIN merupakan kebijakan presiden yang konstitusional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik