Transisi Energi yang Setengah Hati

Harun Ardiansyah, Ph.D Student Department of Nuclear, Plasma, and Radiological Engineering University of Illinois at Urbana-Champaign
02/1/2022 21:10
Transisi Energi yang Setengah Hati
Harun Ardiansyah(Dok pribadi)

MENJADI negara kepulauan terbesar di dunia menjadikan Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan yang mempengaruhi bagaimana masyarakat menjalani kehidupan. Dengan luasnya laut Indonesia, sudah jelas kita menjadi salah satu negara dengan kekuatan maritim terbesar di dunia. Keberagaman flora dan fauna laut Indonesia, serta letak strategis kepulauan Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara terpandang di bidang maritim. 

Selain itu, iklim tropis juga memungkinkan keberagaman flora dan fauna kepulauan Indonesia yang juga menjadi perhatian dunia– hal yang menyebabkan terjajahnya Indonesia di abad ke-17 hingga ke-19. Namun, seiring perubahan zaman, Indonesia mengalami tantangan baru. Industrialisasi menjadi tantangan yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya bagaimana cara menyelesaikannya. Indonesia terlanjur menjadi negara konsumen. 

Hal ini dapat terlihat dari begitu banyaknya start-up Indonesia yang bergerak di bidang jasa, yang hanya menyalurkan produk jadi ke masyarakat luas. Masih sangat jarang– atau bahkan hampir tidak ada– start-up yang bergerak di bidang produksi barang atau industri manufaktur. Ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa hal ini terjadi. Mulai dari rumitnya perizinan, modal yang terlalu tinggi dan berisiko, dan yang tidak banyak disadari adalah masih terbatasnya pasokan energi listrik di Indonesia untuk industri manufaktur.

Indonesia masih cukup tertinggal dari sisi industri manufaktur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya impor barang jadi dari luar negeri ke Indonesia. Padahal, bahan baku dari beberapa produk tersebut berasal dari Indonesia. Ini membuktikan bahwa Indonesia perlu meningkatkan industri manufakturnya. Salah satu faktor yang mendasarinya adalah pasokan listrik yang memadai untuk keperluan industri. Hingga saat ini, lebih dari 70% dari total energi nasional diproduksi oleh pembangkit listrik dengan emisi karbon yang tinggi yaitu batu bara dan gas. 

Penggunaan batu bara dan gas menjadi masuk akal mengingat seluruh rangkaian proses pembangkitan listrik menggunakan batu bara dan gas telah terbangun sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini membuat energi yang dihasilkan menjadi murah. Energi murah adalah kata kunci untuk pembangkitan listrik di Indonesia. Dengan ukuran yang begitu besar, tidak heran jika Indonesia menjadi salah satu negara dengan emisi karbon per kapita tertinggi di dunia. 

Dengan adanya gerakan untuk mengurangi emisi karbon di seluruh dunia, Indonesia mengalami peer pressure untuk juga ikut dalam gerakan mengurangi emisi karbon tersebut. Ini tentu akan menjadi perubahan sistemik yang pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Transisi dari energi dengan emisi karbon tinggi dan energi rendah karbon menjadi satu topik yang menantang untuk dilaksanakan oleh pemangku kebijakan. 

Energi terbarukan

Untuk melaksanakan transisi tersebut, pemangku kebijakan menelurkan satu visi untuk bauran energi nasional, yang pada intinya adalah membaurkan sumber energi listrik dengan emisi karbon tinggi dan sumber listrik rendah karbon sesuai dengan kemampuannya pada saat. Visi akhirnya adalah untuk menghentikan pembangkit listrik dengan emisi karbon tinggi dan menggantinya dengan energi yang rendah karbon. 

Indonesia telah merumuskan itu sejak pertengahan 2000-an, dengan memasang visi ambisius yaitu merencanakan agar pada 2025, 23% sumber energi listrik nasional berasal dari energi terbarukan. Pemangku kebijakan telah melakukan berbagai cara yang bisa mereka pikirkan untuk mencapai target tersebut. Namun hingga 2020, kontribusi energi terbarukan masih di kisaran 15%. Jauh di bawah target yang telah dicanangkan oleh pemangku kebijakan. Transisi yang setengah hati ini akhirnya membuat Indonesia on-track untuk tidak memenuhi target tersebut dan hanya akan menjadi sebuah mimpi. 

Hal ini membuat Indonesia masih bergantung pada sumber energi listrik dengan emisi karbon tinggi untuk keperluan industri. Padahal, telah banyak penelitian yang dilakukan oleh anak bangsa– utamanya yang saat ini sedang berkuliah di luar Indonesia– yang bisa berkontribusi untuk perbaikan bauran energi. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah salah satu jenis energi bebas karbon yang menjadi favorit di seluruh dunia. 

Banyak negara telah menerapkan dan banyak pula riset anak bangsa yang membahas bagaimana Indonesia bisa meningkatkan bauran energi dari sumber energi bebas karbon. Teknologi semikonduktor yang makin maju, serta adanya teknologi energy storage membuat PLTS dapat menjadi andalan sumber energi bebas karbon. 

Dengan begitu masifnya pembangunan PLTS di seluruh dunia, harga pembangkitan listrik oleh PLTS telah bisa menyamai pembangkit dengan emisi karbon tinggi. Akan tetapi, permasalahan mengenai limbah semikonduktor dari solar panel PLTS yang telah tidak digunakan masih menjadi poin kelemahan PLTS yang hingga saat ini masih perlu diatasi. Jika masalah limbah ini teratasi, tidak ada alasan PLTS dengan sistem energy storage bisa menjadi sumber energi rendah karbon yang dapat diandalkan.

Teknologi lain yang hingga saat ini masih tidak dimanfaatkan potensinya adalah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). PLTN selalu menjadi 'opsi terakhir' untuk dimanfaatkan energinya tanpa kejelasan apa definisi 'opsi terakhir' tersebut. Teknologi PLTN saat ini telah berkembang sangat cepat dibandingkan reaktor lama yang digunakan di Fukushima, Jepang– yang menjadi ground zero kecelakaan reaktor nuklir di era modern– atau bahkan di Chernobyl, Ukraina. 

PLTN dapat dikategorikan menjadi sumber energi bebas karbon karena carbon footprint yang dihasilkannya jauh lebih kecil dari pembangkit listrik dengan emisi karbon tinggi. Selain itu, PLTN juga menjadi salah satu teknologi yang paling aman dengan jumlah kematian tersedikit relatif terhadap energi yang dihasilkannya (death per terawatt-hour). Hal ini adalah akibat dari begitu banyaknya parameter keselamatan dan keamanan yang perlu dipenuhi untuk membangun sebuah PLTN. 

Akan tetapi, memang perlu disadari bahwa persepsi masyarakat terhadap nuklir masih berkutat dengan bom Hiroshima-Nagasaki, Chernobyl, ataupun Fukushima. Hal ini harus menjadi perhatian para peneliti nuklir di Indonesia agar mampu meyakinkan masyarakat tentang keamanan sebuah PLTN dengan membeberkan semua fakta dan mitos tentang PLTN. Ini bukan lagi menjadi masalah teknis, melainkan menjadi masalah komunikasi publik.

Namun pada akhirnya, sebagian besar masyarakat Indonesia hanya memahami tentang harga energi listrik yang digunakannya. Sehingga, pertimbangan ekonomi harus selalu menjadi dasar untuk menentukan kebijakan pendayagunaan sumber listrik di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan infrastruktur dengan juga mempertimbangkan emisi karbon di Indonesia yang saat ini mengarah ke arah yang tidak diharapkan. 

Bauran energi memang menjadi satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Namun, penerapan bauran energi ini juga harus diperhatikan sungguh-sungguh. Target yang realistis dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat saat ini harus menjadi pijakan untuk menentukan visi bauran energi nasional yang dapat diterapkan dengan sepenuh hati. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya