PADA Jumat (17/12), penulis menghadiri diskusi di kantor Komisi Informasi Publik (KIP) terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang belum dieksekusi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Timur (Matim) dan Manggarai Barat (Mabar).
PTUN Kupang telah memutuskan menerima gugatan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten itu. Ketiga pegawai itu menggugat bahwa pemecatan mereka sebagai PNS oleh bupati masing-masing telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Majelis hakim PTUN Kupang dalam putusannya memutuskan bahwa tindakan bupati itu tidak benar.
Majelis hakim memerintahkan agar para PNS diangkat kembali sebagai PNS serta pulihkan harkat dan martabat mereka. Putusan PTUN Kupang itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Di Kabupaten Manggarai ada 9 PNS yang menghadapi masalah itu. Tidak lama setelah setelah putusan PTUN keluar, Bupati (waktu itu) Deno Kamelus mengaktifkan kembali 9 orang itu menjadi PNS. Namun, walaupun sudah menerima gaji tetapi nomor induk kepegawaian (NIP) mereka belum dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Di Manggarai Timur ada 11 orang dipecat dari PNS dan gugatan mereka diterima PTUN Kupang pada 2018. Namun, bupatinya belum mengaktifkan mereka kembali karena harus menunggu persetujuan dari BKN. Di Manggarai Barat juga sama dengan di Manggarai Timur.
Diskusi dihadiri Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut, Sekretaris Daerah Kabupaten Matim, perwakilan dari Kabupaten Mabar, utusan BKN Janri, utusan Kementerian Dalam Negeri Ceka, dan utusan Kementerian PAN-RB Abas Bagya.
Dalam diskusi itu terungkap bahwa pihak BKN tidak mengaktifkan NIP para PNS itu pascaputusan PTUN, karena; pertama, adanya surat edaran tiga menteri terkait bahwa para PNS itu tidak bisa diaktifkan kembali karena pemerintah berkomitmen memberantas korupsi. Pasalnya para PNS dipecat dengan alasan pernah di penjara gara-gara korupsi. Kedua, putusan pemecatan para PNS itu berdasarkan UU yang khusus untuk itu (lex specialis) yakni UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta aturan turunannya.
Penulis berpikir, kasus PNS di tiga kabupaten tersebut di atas merupakan sebagian kecil dari begitu banyak kasus PNS yang dipecat kemudian menggugat ke PTUN dan dikabulkan tapi tidak dieksekusi oleh yang berwenang untuk itu.
Konsekuensi negara hukum
Dari teori terbentuknya negara, dikatakan sesuatu dikatakan negara apabila ada wilayah, masyarakat yang mendiami wilayah, pemerintah yang mengurus atau penyelenggara negara dan harus ada pengakuan dari negara lain (I Dewa Gede Atmadja, 2012:297). Indonesia adalah negara demokrasi. Ciri utama negara demokrasi adalah menjunjung tinggi hukum. Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila diatur jelas dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi 'Negara Indonesia adalah negara hukum'.
Dengan adanya hukum, maka tidak boleh terjadi penindasan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya; oleh kelompok masyarakat yang satu terhadap kelompok masyarakat lainnya; atau oleh pemerintah terhadap masyarakat, atau oleh masyarakat terhadap pemerintah. Negara dalam arti sempit adalah pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat adalah sama-sama warga negara. Dalam negara demokrasi, pemerintah bertugas melayani masyarakat. Masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk bersama pemerintah membangun negara. Salah satu kewajiban masyarakat atau setiap warga negara adalah bekerja. Dengan bekerja bisa menghidupi diri sendiri, keluarga dan membantu negara berupa pajak dari penghasilannya, dan lain-lain.
Jadi bekerja selain sebagai hak setiap warga, juga sebagai kewajiban. Hak untuk bekerja ini diatur dengan jelas dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'. Menjadi PNS adalah suatu pekerjaan (profesi). Untuk mengatur dan menyelesaikan 'sengketa' antara pemerintah dengan masyarakat maka dibentuklah PTUN.
Pengangkatan dan pemecatan PNS
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), berbunyi 'Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan'.
Sesuai Pasal 1 angka 14 UU ASN bahwa pejabat Pembina kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mereka adalah Presiden, Menteri (Sekretaris Jenderal), Gubernur (Sekda Provinsi), Bupati/Wali Kota (Sekda Kabupaten/Kota) (Pasal 154 UU ASN).
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil berbunyi, 'Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS kepada: a) menteri di kementerian;b) pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;c) sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural; d) gubernur di provinsi; dan e) bupati/walikota di kabupaten/kota'.
Pemecatan PNS atau aparatur sipil negara (ASN) oleh menteri, gubernur, bupati atau wali kota bisa menggunakan dua perangkat peraturan perundang-undangan; pertama, PP Nomor 53/2010 tentang Disiplin PNS. PP ini merupakan aturan turunan dari dari UU Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Kedua, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam ketentuan pertimbangan dibentuknya UU ini, di poin d menyebutkan bahwa UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global. Sehingga perlu diganti.
Namun, dalam ketentuan Penutup UU 5/2014 yakni dalam Pasal 139 menyebutkan bahwa 'Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ini'.
Itu berarti PP 53/2010 tentang Disiplin PNS sebagai peraturan turunan dari UU 8/1974 sebagaimana diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan. Aturan turunan dari UU 5/2014 adalah PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Managemen PNS.
Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyebutkan, 'PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana'.
Selanjutnya, Pasal 87 ayat (4) UU 5/2014 menyebutkan, 'PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum'.
Ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Keempat, dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
PP 20 Tahun 2020 sebagai aturan turunan dari UU ASN, Pasal 250 menyebutkan 'PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila; pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan keempat, dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Gugat ke PTUN
PNS yang tidak terima dengan hukuman yang diterimanya, maka dilakukan upaya administratif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 PP 53/2010 tentang Disiplin PNS. Upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding administratif. Apabila upaya administratif telah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil, PNS mengajukan gugatan ke PTUN.
Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi, 'Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan'.
Harus dieksekusi
Ketika putusan PTUN keluar dan berkekuatan hukum tetap (inkrah) maka putusannya harus dieksekusi. Pasal 116 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN mengatur; pertama, 14 hari sejak putusan dibacakan pihak pengadilan mengirim salinan putusan kepada para pihak. Kedua, kalau dalam waktu tiga bulan sejak 14 hari putusan dibacakan, putusan itu belum dilaksanakan oleh pihak tergugat (pihak yang kalah), maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Ketiga, jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Bupati tentu atasannya adalah gubernur, Mendagri dan Presiden. Keempat, instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat yang dimaksud melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Kelima, dalam hal instansi atasan tidak mengindahkan ketentuan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Begitu menerima salinan putusan PTUN, maka salinan putusan itu diberikan kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN) agar NIP PNS yang bersangkutan kembali diaktifkan. Serta gajinya yang dibekukan selama ia menjalani hukuman harus dibayar negara.
Kalau menteri, gubernur, bupati atau wali kota yang memberi sanksi kepada PNS seperti pemecatan mentaati hukum (UU) maka segera mengangkat PNS yang telah dipecat itu menjadi PNS. Sungguh tidak dipidana atau mendapat sanksi hukum lainnya kalau mereka melaksanakan putusan hakim.
BKN tak berwenang
Keberadaan BKN dipayungi dua peraturan perundang-undangan; pertama, UU ASN. Dalam UU ini hanya tiga pasal yang secara eksplisit mengatur BKN yakni pasal 47 mengenai fungsi BKN; pasal 48 mengenai tugas BKN dan pasal 48 mengenai kewenangan BKN.
Dari fungsi, tugas dan kewenangan BKN dalam UU ASN, penulis tidak menemukan ketentuan bahwa BKN berhak dan berwenang menahan NIP (Nomor Induk Kepegawaian) PNS yang sempat diblokir karena dipecat kemudian harus diaktifkan kembali atas perintah pengadilan (putusan PTUN).
Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2013 tentang BKN. Pasal 1 ayat (1) Perpres ini berbunyi, 'Badan Kepegawaian Negara adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi'.
Pasal 3 poin b Perpres ini menyatakan BKN menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan pengadaan, mutasi, pemberhentian dan pensiun, serta status dan kedudukan hukum PNS. Apakah ada masalah dengan Pasal 3 poin b ini sehingga BKN masih enggan mengaktifkan kembali NIP PNS di Matim, Manggarai dan Mabar? Menurut penulis tidak ada masalah. BKN seharusnya begitu ada pemberitahuan dari bupati dan atau pejabat yang berwenang memecat dan mengangkat kembali para PNS itu sebagai pelaksanaan dari putusan pengadilan, harus menerbitkan kembali NIP para PNS tersebut.
BKN tidak berwenang dan salah besar kalau menafsirkan apalagi menilai putusan hakim salah. Perlu diketahui, dalam doktrin hukum putusan hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habatur). Karena itulah, suka atau tidak suka, putusan hakim harus dieksekusi.
BKN tentu tidak boleh tunduk pada surat edaran keputusan bersama beberapa menteri. Sebab, putusan hakim yang inkrah, kekuatan dan tingkatannya dalam tata urutan perundang-undangan sama dengan UU. Keputusan menteri berada di bawah itu. Siapa pun yang melaksanakan putusan hakim berarti patuh terhadap hukum. Mengapa hukum harus ditegakkan? Ya tentu saja untuk kepastian hukum, untuk kemanfaatan diri sendiri, lembaga dan banyak orang terutama bagi PNS yang dimenangkan PTUN; serta demi tegaknya rasa keadilan.
Kalau BKN masih tetap kekeuh menahan NIP para PNS itu, penulis mengamini pendapat Prof Philipus Hadjon bahwa begitu banyak putusan PTUN tidak dilaksanakan di Indonesia karena masih buruknya birokrasi. Buruk di sini bisa karena kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dan bisa juga karena rendahnya kualitas pejabat birokrasi Indonesia.