Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Menebus Nusantara

Hasan Sadeli Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lulusan Magister Ilmu Sejarah UI
15/12/2021 12:52
Menebus Nusantara
Hasan Sadeli Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lulusan Magister Ilmu Sejarah UI(Dok Pribadi)

SETIAP tanggal 13 Desember diperingati sebagai Hari Nusantara. Peringatan Hari Nusantara pertama kali dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Dua tahun setelahnya, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan surat Keputusan Presiden Nomor 126 tahun 2001, yang isinya menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.

Peringatan Hari Nusantara, ditujukan untuk mempererat ikatan persatuan dan rasa persaudaraan sebangsa. Selain itu, peringatan ini juga dimaksudkan agar rakyat Indonesia mengetahui jati diri geografis Indonesia, yang menyandang predikat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Predikat ini sangat prestisius, dan tidak diperoleh secara instan. Melainkan, melalui perumusan pemikiran dan perjuangan diplomasi panjang yang asal-usulnya dapat dilacak dari Deklarasi Juanda pada 13 tanggal Desember tahun 1957.

Deklarasi Juanda, berperan besar dalam memperjuangkan prinsip negara kepulauan, dengan mengubah status perairan antarpulau di luar 3 mil yang semula berstatus laut bebas (berdasarkan warisan hukum Hindia Belanda), menjadi perairan teritorial Indonesia. Dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun bagi Indonesia untuk memperoleh pengakuan dunia atas konsep negara kepulauan, yang puncaknya terjadi pada konferensi hukum laut internasional ketiga tahun 1982.

Pengakuan terhadap asas negara kepulauan, merupakan prestasi besar dalam sejarah Indonesia sejak menjadi negara merdeka. Wilayah Indonesia menjadi berlipat ganda. Laut tidak lagi menjadi pemisah, melainkan menjadi penghubung, dan perekat kesatuan negara Indonesia.

Di sini, dapat pula dikatakan bahwa para diplomat kita telah berhasil mendeklarasikan ulang nusantara. Nusantara kita kembali seperti semula, yakni menjadi luas, dan tak terpisahkan. Kedaulatan wilayah yang membentang luas ini harus kita jaga dengan semangat persatuan.
Karena itu, pemaknaan kita tentang Hari Nusantara hendaknya jangan berhenti pada kekaguman dalam sudut pandang perluasan wilayah NKRI, yang diperjuangkan sejak tahun 1957. Melainkan, juga pada kekaguman terhadap realitas kemajemukan yang harus dipelihara sebagai identitas bangsa Indonesia.

Tanpa kesadaran dan kekaguman terhadap  keberagaman yang terdapat di bumi Nusantara, kita hanya akan terperosok pada pandangan sempit yang berujung pada pertikaian antarsaudara sebangsa. Kita juga akan terus menerus membingkai perbedaan dalam pengkotakan. Bila para diplomat kita, dalam perspektif teritorial telah berhasil “menebus” sesuatu yang menjadi hak negara kepulauan, dan menjadikannya seperti nusantara yang luas seperti dahulu kala. Maka kita juga perlu berjuang untuk menebus Nusantara dari upaya penyanderaan terhadap nilai-nilai toleransi dan persatuan sebagai nilai luhur di nusantara.

Penyanderaan nilai-nilai

Diakui ataupun tidak, perasaan kebangsaan dan nilai toleransi sedang disandera, oleh pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan kebencian, membelah masyarakat melalui provokasi dan cara pandang yang sempit, yang umumnya berkedok agama dan aliran tertentu. Sehingga, melunturkan nilai persaudaraan dan toleransi sebagai akar budaya bangsa Indonesia.

Di masa lalu, bangsa ini pernah merasakan berbagai upaya politik adu domba (divide et impera) yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Politik segregasi yang diterapkan pihak kolonial untuk melemahkan ikatan persautuan antara saudara sebangsa memang dapat kita lalui. Tetapi tantangan yang kita hadapi sekarang, harus diakui jauh lebih kompleks.

Terlebih, di era digital yang serba cepat membuat akses informasi dan komunikasi menjadi tidak terbendung. Yang paling mengkhawatirkan dari mudahnya akses dunia digital ialah, adanya inter-relasi dengan muatan ideologi tertentu yang bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
 
Kita juga dapat melihat dalam beberapa tahun belakangan, serangkaian hujatan dan upaya menyuburkan sikap skeptis terhadap pemerintahan yang sah menjadi penampakan yang kerap dijumpai di media sosial. Orang-orang, seolah kehilangan rasa hormat satu sama lain. Jangankan yang berbeda agama, bahkan yang seagamapun dapat saling mencaci dan menyalahkan hanya karena perbedaan pandangan dan kepentingan.

Publik di tanah air menjadi mudah termakan berita bohong dan menyesatkan. Yang paling menyedihkan ialah, adanya peran dari aparatur sipil negara yang bahkan di antaranya berprofesi sebagai seorang pendidik, dengan gagah berani terang-terangan menyulut dan menyebarkan skeptisme terhadap pemerintah.

Bila di media sosial atau dalam grup-grup WhatsApp saja mereka berani bersikap seperti itu, bayangkan apa yang dapat mereka kemukakan terhadap para pelajar di dalam ruang kelas. Realitas ini, tentu memunggungi semangat nasionalisme yang sudah seharusnya menjadi nilai yang terpelihara di bumi Nusantara. Kita semua, perlu berjuang untuk menebus nilai-nilai luhur di Nusantara tercinta ini, dari upaya penyanderaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan Indonesia terpecah-belah, melalui serangkaian adu domba dan sebaran fitnah.  

Upaya kohesif

Semua pihak, perlu melakukan upaya kohesif. Salah satunya, dengan mendiasporakan kembali wawasan Nusantara yang dahulu secara aktif ditanamkan pada tiap jenjang pendidikan. Karena bagaimanapun, generasi muda terpelajar Indonesia harus mengenali hakikat keberadaanya untuk hidup rukun di tengah keberagaman. Jangan sampai penanaman nilai persatuan, dan pengenalan landskap budaya melalui wawasan Nusantara/kebangsaan menjadi meredup.

Para pendidik, di semua jenjang perlu diarahkan pada pelatihan tentang pentingnya memupuk dan memelihara persatuan di tengah keberagaman. Ini hal mendasar yang perlu diupayakan oleh pemegang kebijakan, agar skema pendidikan dan pelatihan (diklat) tidak didominasi oleh berbagai uraian teknis-administratif.

Di saat yang sama, lembaga inspektorat juga harus melangkah lebih maju, dalam mengaudit sasaran kinerja yang tidak hanya seputar laporan-laporan tekstual dan bersifat administratif. Melainkan juga, pada upaya untuk menerapkan indikator yang outputnya memiliki relevansi dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme khususnya dilembaga pendidikan.  

Semua upaya, yang mengarah pada penguatan nilai-nilai toleransi dan persatuan perlu dilakukan, demi tegaknya NKRI. Sebab tidak banyak negara-negara di dunia ini yang mampu berdiri kokoh di atas keberagaman. Beberapa negara di dunia, harus runtuh dan tercerai-berai dikarenakan adanya pertentangan berlatar perbedaan etnis maupun agama.

Ini juga yang dialami oleh sejumlah negara di Timur Tengah pada masa kontemporer. Padahal dari sisi keragaman etnis, negara-negara Timur Tengah tidak sebesar dan sebanyak Indonesia. Selain itu, dari aspek geografis, negara-negara di kawasan Timur Tengah masih satu hamparan daratan. Tidak seperti Indonesia yang memiliki selat yang memisahkan antara pulau-pulau.     

Pada titik ini, kita semua patut mensyukuri kodrat keberagaman dalam bentuk keragaman suku, bahasa dan agama di Nusantara, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan amanah besar yang harus dipikul dengan kesadaran dan tanggungjawab segenap komponen bangsa. Untuk itu, perayaan Hari Nusantara harus benar-benar dijadikan sebagai momentum untuk mengingatkan para pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia, agar terus memupuk semangat persatuan dan persaudaraan di tengah keberagaman.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya