Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Covid-19 bukan hanya Virus Semata bagi Anak

Seto Mulyadi Ketua Umum LPA I, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
18/9/2021 05:05
Covid-19 bukan hanya Virus Semata bagi Anak
Ilustrasi MI(MI/Duta)

AWALNYA, tahun lalu, sempat ada anggapan bahwa anak-anak bukan merupakan kelompok yang berisiko terpapar virus korona. Hanya sedikit yang menderita covid-19 bila dibandingkan dengan kelompok usia dewasa. Waktu terus berlalu. Seiring munculnya varian delta, anak-anak pun mulai disebut sebagai salah satu kelompok yang paling rentan. Jumlah anak yang jatuh sakit akibat covid-19 mulai mendaki. Deret angka tentang anak yang meninggal dunia akibat penyakit yang sama pun semakin menggelisahkan. Mereka merupakan korban virus ini.

Namun, sesungguhnya mereka 'hanya' satu kategori korban. Realitasnya, pandemi ini ditandai bukan hanya penyebaran penyakit, melainkan juga perkembangan masalah-masalah lainnya secara multidimensional, termasuk masalah psikis, sosial, dan ekonomi. Studi pun menunjukkan bahkan ketika virus dapat terkendali, setumpuk masalah multiwajah tadi justru berlangsung berkepanjangan. Begitu simpulan penelitian Douglas Almond dari Columbia University and National Bureau of Economic Research.

Almond menyebut anak-anak yang lahir pada masa mewabahnya influenza pada 1918 (lazim disebut Spanish flu) mengalami kesengsaraan yang lebih parah. Penyebabnya memang bukan virus, melainkan terkendalanya proses pendidikan sebagaimana yang juga anak-anak Indonesia lalui sejak tahun lalu. Almond memerinci bahwa anak-anak yang lahir di tengah pandemi flu 1918 lebih rentan putus sekolah, memiliki tingkat pendapatan lebih rendah, dan mengalami ketergantungan pada bantuan negara untuk bertahan hidup. Tidak hanya sampai di situ. Generasi yang sama juga berisiko lebih tinggi menjadi narapidana dan menderita disabilitas yang nantinya menghambat mereka untuk bekerja.

Pandemi 1918 juga ditandai banyaknya anak-anak yang menjadi yatim atau piatu akibat tidak bertahannya orangtua mereka dari terjangan virus flu. Cerita yang tertinggal memang bukan hanya sekadar kedukaan. Sejumlah rekaman testimoni memperdengarkan kisah tentang bagaimana sebagian anak-anak melewati masa pageblug dengan sensasi layaknya libur yang diperpanjang.

Greg Eghigian dari Penn State University juga mencatat bagaimana kematian dalam jumlah besar yang berlangsung tiba-tiba dan beruntun mengakibatkan masalah kecemasan dan ketidakberdayaan kronis. Penyebab utamanya ialah kematian, baik anak yang ditinggal wafat orangtuanya maupun orangtua yang kehilangan darah dagingnya akibat terkena flu. Pada November 1918, di kota New York saja terdapat paling sedikit 31 ribu anak-anak yang menjadi yatim ataupun yatim piatu.

 

 

Potensi berlanjut

Gambaran lebih jauh tentang situasi kelam di seputar wabah Spanish flu, khususnya terkait anak-anak, juga dapat diperoleh dari kliping media yang tersedia secara daring untuk umum, antara lain di Perpustakaan University of Michigan. Pandemi covid-19 yang sudah berjalan dua tahun ini memang terasa berat. Namun, mencoba membandingkan situasi sekarang dengan situasi pada seputar 1918 tampaknya tersedia lebih banyak sarana dan prasarana yang memungkinkan masyarakat--tak terkecuali anak-anak--beradaptasi secara lebih baik terhadap kemungkinan gejolak nonmedis yang muncul dan berpotensi berlanjut hingga tahun-tahun ke depan.

Pada masa sekarang, pendidikan, sebagai mediating variable yang menyebabkan hambatan hidup berkepanjangan seperti tertulis di atas, memang juga berhadapan dengan beragam keterbatasan. Namun, berkat dukungan teknologi komunikasi dan informasi, proses pendidikan tetap dapat berlangsung. Jadi, patut kita berharap faktor pendidikan justru dapat berkontribusi bagi terpeliharanya daya lenting anak-anak yang sangat dibutuhkan untuk menyongsong masa depan.

Yang mungkin lebih pelik ditanggulangi ialah risiko kesehatan akibat gizi buruk dan menyempitnya akses kesehatan bagi anak-anak. Itu masalah yang dapat dihadapi anak-anak secara umum. Sementara itu, khusus anak-anak yang menjadi yatim, jaminan pengasuhan atas diri mereka merupakan persoalan yang harus diantisipasi secara ekstra serius.

Sehubungan dengan masalah itu, sejauh ini sebetulnya sudah tersedia Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengasuhan. Intinya, PP memuat ketentuan tentang urut-urutan pihak yang dapat menjadi pengasuh anak manakala pengasuh primer (ayah bunda) tiada. Namun, sekali lagi, ketika wabah mengakibatkan krisis keuangan nan parah di begitu banyak keluarga secara serentak, patut dicari tahu seberapa jauh urut-urutan itu tetap menjadi solusi potensial yang efektif bagi anak-anak yang seketika berada dalam situasi tanpa pengasuh. Tentu saja ini bukan masalah pengasuhan dalam pengertian tempat bermukim semata. Bagaimana hak-hak dasar anak bisa terpenuhi dan itu membutuhkan dukungan ekonomi, juga merupakan masalah yang tak mudah ditanggulangi.

Tiga aspek itulah, yakni ketercukupan pangan bernutrisi, tersedianya akses kesehatan, dan kesinambungan pengasuhan anak, yang--sepanjang dapat saya simak di media massa--tampaknya belum diangkat dengan porsi yang seharusnya. Lalainya kita semua dalam mengelola tiga hal tersebut, saya khawatirkan, akan menjadi mediating variable antara covid-19 dan tumpah ruahnya problematika hidup anak-anak di masa depan.

Pemerintah sudah membentuk beberapa satuan tugas untuk membendung covid-19. Fokusnya ialah meredam virus. Namun, bagaimana dengan unsur-unsur nonvirus yang berpotensi melanggar hak anak kini dan sekian (puluh) tahun ke depan? Kiranya kementerian dan lembaga terkait dapat duduk bersama kemudian memberikan kesempatan kepada publik seluas-luasnya untuk menyimak, menguji, serta berperan serta dalam upaya mewujudkan realisasinya demi kepentingan terbaik bagi anak-anak Indonesia. Semoga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik