Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Ritual Pamakaman dan Kalahnya Agama

John L Hobamatan, Direktur Pusat Kegitan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang, NTT
01/9/2021 12:10
Ritual Pamakaman dan Kalahnya Agama
John L Hobamatan,(Dok pribadi)

KLAIM kolektif sebagai bangsa yang religius, dapat kita wadahi dalam berbagai argumen berlapis untuk menyokong kebenaran tersebut. Kita beragama, tidak hanya tuntutan sosial, tetapi mengimaninya sebagai keyakinan yang hidup. Namun sebuah celah kecil dari gambaran religiusitas itu dapat kita gugat. Sejauh mana menyakralkan kematian berlandaskan fondasi religiusitas kita bagi orang-orang yang menjadi korban covid-19, sebagaimana kita menyakralkan kehidupan sebagai anugerah yang Ilahi?

Merenung ritual pemakaman bagi para korban covid-19 tidak hanya berada di puncak kedukaan yang melukai batin, tetapi memendam derita atas peristiwa penggerusan kultural-religius, yang semakin menebalkan keyakinan bahwa kematian yang diakibatkan virus korona adalah ancamanan bagi kehidupan. Begitu tingginya manusia menghargai kesehatan, maka pemakaman korban covid-19 dalam 'ritual medicin', menempatkan jenazah sebagai obyek yang harus segera dienyahkan, dijauhi tanpa ada tata cara ritual yang layak.
 
Peristiwa-peristiwa tragis ini jauh berbeda dengan perlakukan terhadap jenazah korban kecelakaan pesawat misalnya. Korban yang tidak bisa dipastikan keberadaannya, tetapi tidak menyurutkan semangat untuk mencari dan menemukannya. Dengan armada serba canggih, bantuan teknologi muthakir, operasi berbiaya mahal, pencarian terus dilakukan dibalut semangat kemanusiaan dan kepekaan nurani. 

Jika kemudian hanya seonggok daging yang ditemukan, obyek itu diperlakukan sebagai representasi sebuah nyawa- yang tidak hanya berarti di mata manusia tetapi juga berarti di hadapan Tuhan. Walaupun tidak utuh secara fisis, tetapi obyek itu tetap utuh dalam konstruksi kultural-religius yang mengakar. Dengan demikian, ada perlakukan yang manusiawi, agamawi, dan kultural.   

Penghormatan yang demikian tinggi ini dirawat sebagai bagian inheren dari religiusitas dan kultural karena agama manapun mengajarkan kita bahwa pasangan kehidupan adalah kematian. Dengan menyakralkan kematian, kita memberi arti penting pada kehidupan.   

Kematian tak lain adalah pulang kembali kepada yang memberi kehidupan. Ketika kematian juga kita alami sebagai saat terakhir kehidupan dengan semua orang dalam kasih dan cinta, kematian adalah saat kata pisah itu diucapkan, maaf diberikan agar yang pergi ada dalam ketentraman, dan yang ditinggal mendapatkan penghiburan.
 
Ritual pada kematian adalah ekspresi religiusitas yang khas manusia. Ritual tidak hanya menempatkan penghargaan, penghormatan, kepada orang yang meninggal, tetapi juga memberi makna pada kehidupan sebagai karunia Tuhan yang harus dirawat dan disucikan. Cinta dan penghargaan itulah yang hilang dalam kematian mereka yang terpapar covid-19.

Oleh karena itu, ketika ada seruan nasional untuk berdoa dari rumah (pray from home), imbauan ini terasa paradoks di tengah situasi sosial yang disruptif. Mengapa Tuhan hanya dibutuhkan untuk berpihak pada kehidupan sebaliknya diabaikan untuk menyucikan kematian? Tidakkah agama juga telah kalah karena ketakutannya pada kematian, sehingga memasrahkan seluruh ritual keagamaan pada keputusan yang mutlak berdasarkan pertimbangan medik ?  

Reaksi penolakan

Pengambilan paksa jenazah yang dinyatakan positif covid-19 di rumah sakit dan penggalian kembali jenazah di sejumlah tempat, adalah sebagian fakta yang mengofirmasi sikap penolakan masyarakat terhadap tatacara pemakaman jenazah atas dasar pertimbangan medik semata dan mengabaikan tradisi kultural dan religius.

Ekspresi yang ditunjukkan seolah mereka tidak percaya akan adanya informasi tentang covid-19, bahaya yang diakibatkannya, serta peraturan dan ketentuan protokol yang menyertainya. Jika dicermati dari jeritan mereka, sesungguhnya yang diminta adalah mungkinkah jenazah anggota keluarga mereka itu dimakamkan secara layak oleh keluarganya dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan, tetapi tidak mengabaikan tradisi kultural-religius yang melingkupi kehidupan manusia beradab.

Sudah cukup lama masyarakat dunia ditundukkan dengan protokol pemakaman jenazah yang bersimpuh pada kesehatan. Sementara masyarakat tumbuh dalam tradisi agama sebagai jalan keselamatan dan kerangka budaya yang memberi tempat pada kematian sebagai bagian dari kehidupan. Tata cara pemakaman dengan 'liturgi medik' telah melukai religiusitas masyarakat karena telah terjadi dekonstruksi budaya secara radikal dan tak berdasar.

Saat menerima hadiah Nobel 1979 di Oslo, Ibu Theresa berpidato, "Saya tak pernah lupa, bagaimana saya menemukan seorang laki-laki di jalanan. Sekujur tubuhnya dikerubungi lalat. Apa yang kelihatan bersih hanyalah wajahnya. Saya membawa orang itu ke tempat di mana kami menampung orang-orang yang mau meninggal. Inilah satu-satunya kata yang ia ucapkan, ’Saya hidup seperti binatang di jalanan, tapi sekarang saya akan mati sebagai seorang malaikat, dicinta dan dirawat’. Dan ia pun mati dengan indah…..". (Kompas, 20 Maret 2021)

Kesan ini begitu menggugah. Bagaimana cinta begitu berarti di saat akhir kehidupan seseorang. Memang, menjelang ajal, siapa pun patut mengalami bahwa ia adalah manusia, yang dicinta dan dihargai sebagai manusia. Sangat menyesakkan, berbagai keindahan cinta, penghiburan, yang harus dialami oleh stiap orang di saat akhir hidupnya terabaikan semuanya bagi penderita covid-19. Yang bernilai hanyalah kesehatan dan keselamatanku. 

Perlakukan demikian menyuburkan paham keselamatan liberal. Apa yang bernilai adalah keselamatanku, peduli amat dengan kematian korban, dan duka cita mereka yang ditinggalkan. Jika ketidakpedulian ini dibiarkan, kita takkan bakal bisa bersama-sama menemukan ide, bagaimana menghargai dan menghormati mereka yang telah berpulang dalam upacara ritual yang semestinya.

Hikmah di balik derita

Kepedulian pada sakralisasi dan penghormatan pada kematian yang terekspresi melalui tata cara pemakaman, seharusnya sama tinggi dengan kepedulian kita baik dalam konteks individu maupun tanggung jawab sosial untuk merawat kehidupan. Sungguh mustahil kita menolak tata cara pemakaman dalam 'liturgi medik', karena berbagai ketentuan yang ada di dalamnya telah ada dan beroperasi dalam wilayah otoritas kekuasaan. 

Tanggung jawab kita pada akhirnya adalah bagaimana kita secara gotong royong, bahu membahu memberi perlindungan yang maksimal pada pribadi, anggota keluarga, masyarakat di sekitar kita agar terhindari dari kematian yang diakibatkan oleh covid-19. Berbagai ketentuan mengenai protokol kesehatan, pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), kita taati sebagai bentuk perlindungan bersama. 

Dengan kepasrahan total, kita terima kematian sebagai kematian. Semuanya adalah takdir dari yang kuasa. Hanya alasan kematian yang membedakan harus seperti apa kematian itu dihadapi dan diperlakukan. Dari nurani terdalam kita meyakini bahwa siapapun selalu menginginkan agar kematiannya ada dalam dekapan cinta dan persaudaraan, di tengah keluarga dan kerabat, bukan sebuah kematian yang dijauhi dan ditakuti sebagai ancaman kematian lebih lanjut. Bukankah yang hilang pun kita cari agar kepergiannya membawa cinta dan pengampunan yang membebaskan?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik