Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PERKAWINAN usia dini merupakan suatu realitas sosial yang menjadi persoalan serius di Indonesia maupun secara global. Berdasarkan data dari girlsnotbrides.org, lebih dari 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah setiap tahunnya pada usia kurang dari 18 tahun. Lebih lanjut, diperkirakan akan ada 150 juta perkawinan anak yang terjadi pada 2030.
Di Indonesia berbagai upaya pencegahan perkawinan anak dilakukan, termasuk dengan merevisi Undang-undang (UU) Perkawinan. UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan usia minimal untuk perempuan melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun, disamakan dengan usia minimal bagi laki-laki.
Meski demikian, Indonesia masih juga menempati posisi 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Bahkan selama 2020 terjadi lonjakan lebih dari 250% pengajuan dispensasi perkawinan anak di pengadilan agama seluruh Indonesia dibandingkan dengan tahun sebelumnya, berdasarkan laporan kegiatan Badan Peradilan Agama (Badilag) 2020.
Praktik perkawinan anak juga lekat dengan perceraian, kemiskinan, KDRT dan berbagai persoalan lainnya. Faktor-faktor pendorong terjadinya perkawinan pada usia dini juga beragam. Mulai dari tradisi adat, pergaulan bebas, desakan ekonomi, hingga faktor agama dan kepercayaan.
Perkawinan anak dan adat istiadat
Keberadaan norma hukum dan implementasi peraturan perundang-undangan terkadang berseberangan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat. Pada kondisi ini, tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk mengesampingkan hukum negara dan mengikuti tradisi yang menjadi the living law atau hukum yang benar-benar hidup di tengah masyarakat.
Di beberapa daerah, saat anak memasuki masa akil baligh, baik itu laki-laki atau perempuan dianggap sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi lainnya mengharuskan seorang anak yang terlambat pulang ke rumah pada waktu petang dengan pasangan ataupun teman lawan jenisnya harus dinikahkan.
Ada juga adat yang menghendaki perjodohan bagi seorang anak bahkan dilakukan saat anak masih dalam kandungan ibunya. Selain berpotensi melangsungkan perkawinan di usia yang sangat dini, tradisi ini juga mereduksi hak anak untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat adat melakukan tradisi perkawinan pada usia dini. Salah satunya yaitu masyarakat adat Suku Boti di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Perkawinan bagi masyarakat adat suku Boti merupakan peristiwa yang penting dan sakral. Berbeda dengan tradisi adat di beberapa daerah lain yang serta merta menikahkan anak yang memasuki masa akil baligh, masyarakat adat Boti memiliki aturan dan syarat yang ketat perihal menikah.
Selain karena perkawinan atau pernikahan menjadi sesuatu yang sakral, alasan asas monogami yang dianut masyarakat adat suku Boti juga menjadi alasan adanya sejumlah syarat yang harus dipenuhi calon mempelai. Hal ini dimaksudkan agar perkawinan yang terjadi nantinya dapat menjadi perkawinan sekali seumur hidup dan memberikan kehidupan yang baik bagi kedua belah pihak. Tidak hanya secara biologis, juga mengenai kesiapan mencari nafkah maupun mengurus rumah tangga.
Seorang laki-laki suku Boti diharuskan mampu bekerja dan menggarap kebun/ladang (benas/tof lene) kemudian mengumpulkan bahan makanan di rumah bulat (ume kbubu). Selain itu, diharapkan juga memiliki ternak peliharaan serta mampu bergaul, memahami dan ikut serta dalam upacara maupun ritual-ritual adat.
Sejumlah syarat juga ditetapkan bagi perempuan dalam suku tersebut. Seorang perempuan baru dikatakan siap untuk menikah apabila mampu memintal kapas menjadi benang dan menenun (ike sutti). Kemampuan perempuan sebagai bentuk kesiapan membangun rumah tangga adalah apabila sudah bisa memasak dan menima (mengambil) air.
Persyaratan-persyaratan tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dipenuhi baik itu oleh laki-laki atau perempuan. Dapat dipastikan, anak-anak bahkan yang telah memasuki masa akil baligh pun belum tentu mampu memenuhi syarat perkawinan tersebut. Meskipun tradisi budaya adat Boti ini tidak lekat dengan definisi kematangan usia secara biologis, namun setidak-tidaknya mampu menjamin kesejahteraan kehidupan rumah tangga yang akan dibentuk.
Peran hukum adat dalam masyarakat suku Boti dapat dikatakan cukup efektif untuk mencegah terjadinya perkawinan yang dipaksakan. Setiap pasangan tentu akan berusaha untuk 'memantaskan' diri sebelum melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang terjadi juga tidak semata-mata untuk menghindari zina, menjaga nama baik dan/atau memperbaiki ekonomi keluarga seperti alasan mainstream perkawinan anak, tetapi peran hukum adat di Boti juga dimaksudkan untuk memastikan kesiapan dari para calon mempelai baik secara fisik, mental dan juga ekonomi.
Dengan demikian, tradisi budaya suku Boti ini menjadi salah satu potret keberadaan hukum adat yang tidak selamanya bertentangan dengan hukum negara. Tidak semua masyarakat tradisional yang masih tunduk dengan tradisi dan budaya mengaimini perkawinan sabagai cara untuk menyelesaikan sejumlah persoalan sosial. Adanya ketentuan tegas mengenai syarat perkawinan di suku Boti selain dimaksudkan untuk mencegah perkawinan anak, sekaligus sejalan program pemerintah untuk mengurangi peningkatan jumlah keluarga miskin akibat perkawinan di bawah umur.
Untuk menuntaskan masalah itu perlu dilakukan upaya edukasi agar anak tidak melakukan perkawinan dini.
Celah itu juga merusak upaya global Inggris untuk mengakhiri pernikahan anak di negara lain.
Menurut kelompok hak asasi yang berbasis di Inggris, Plan International, negara miskin di Asia Tenggara ini memiliki jumlah pernikahan anak tertinggi ke-12 di dunia.
Angka perkawinan usia anak di sejumlah daerah di Kamboja masih tinggi dengan penyebabnya yakni pendidikan, budaya, dan status ekonomi.
Menikah di usia yang sangat muda bertentangan dengan tujuan syariat nikah itu sendiri, yaitu harus membawa kemaslahatan dan kebaikan bagi keluarga dan anak
Rancangan Peraturan Pemerintah Dispensasi Kawin merupakan pelengkap Peraturan Mahkamah Agung No 5 Tahun 2019 tentang dispensasi kawin.
Presiden Jokowi berhalangan hadir pada Perayaan 20 Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) karena tengah berada di luar negeri untuk melakukan kunjungan kenegaraan.
Menurut Anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman Hamzah yang juga menjadi pengusul RUU RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU itu saat ini sudah disepakati di Badan Legislasi DPR.
Dalam pengelolaan hutan masyarakat harus dilibatkan secara aktif, tidak boleh ada lagi petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dalam bentuk perhutanan sosial.
RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Perlindungan PRT adalah RUU dengan status usulan DPR dan sudah selesai dilakukan pengharmonisasian, dan pembulatan dan pemantapan konsepsi di Baleg.
WAKIL Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya menyebutkan nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) sudah satu tahun lebih diselesaikan di Baleg.
PARA raja dan sultan yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) mendorong pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menuntaskan pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi UU.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved