Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Menegaskan Kembali Keislamian Pancasila

Darul Ma’arif Asry, Alumnus Hamad bin Khalifa University-Qatar, Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung-Bone
06/7/2021 21:40
Menegaskan Kembali Keislamian Pancasila
Darul Ma’arif Asry(Dok pribadi)

ISU radikalisme agama di negeri ini dengan berbagai macam perdebatan di sekitarannya seolah tak pernah usai. Dimulai dari definisi sederhana sebagai paham yang menginginkan perubahan dasar negara dari Pancasila ke syari’ah, bentuk konkret dan label yang disematkan kepada beberapa figur nasional. 

Sejatinya kita masih bisa bersyukur telah memiliki Pancasila. Hal ini sudah disuarakan oleh sang Proklamator pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945. Artinya, sejak 76 tahun yang lalu kita sebagai bangsa yang memiliki keinginan kuat untuk menentukan sendiri nasib dan arah tanah airnya, telah bersepakat dengan lima poin tersebut sebagai dasar kita bernegara. 

Hasilnya, sejauh ini mayoritas masyarakat Indonesia masih setia dengan Pancasila. Meskipun, tidak dapat dihindari pula fakta yang ditampakkan oleh beragam survei yang menunjukkan melemahnya loyalitas masyarakat Indonesia dengan Pancasila. Seperti di 2017, Badan Intelijen Negara (BIN) mengeluarkan data bahwa 39% mahasiswa Indonesia ingin mengganti Pancasila dengan syari’ah. Bahkan di 2018 Kementerian Dalam Negeri mengidentifikasi 19,4% pegawai negeri yang tidak lagi loyal dengan Pancasila. 

Jika data ini disandingkan dengan tren yang dirasakan masyarakat muslim Indonesia yang cenderung menjadi semakin relijius dengan maraknya forum-forum hijrah dan pengajian milenial yang dimassifkan melalui media sosial, saatnya kita manfaatkan untuk memeriksa kembali seberapa yakin kita dengan keislamian Pancasila.

Eksistensi Pancasila sebagai kesepakatan kita dalam ranah ide dalam bernegara sudah berada di jalur yang benar menuju masyarakat sejahtera. Filsuf muslim pertama, Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Awzalagh, yang lebih dikenal dengan nama Al-Farabi (w. 950 M/339 H) menuturkan pentingnya kesamaan ide ini. 

Menurut beliau, kesepakatan masyarakat mencakup tiga hal; awal, akhir, dan apa yang ada di antara keduanya. Kesepakatan pendapat tentang yang di awal adalah kesepakatan pendapat mereka tentang Tuhan dan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya. Adapun akhirnya adalah kesepakatan tentang titik akhir yang dituju berupa kebahagiaan. Adapun apa yang ada di antara keduanya adalah tindakan yang dengannya kebahagiaan dapat diperoleh.

Sikap moderat

Dalam konteks Indonesia, sila pertama Pancasila menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sepakat tentang pentingnya aspek Ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara. Kehidupan manusia Indonesia bukanlah kehidupan yang sekuler, berjalan dengan sendirinya sesuai dengan hukum alam yang eksis di alam makrokosmos. 

Pilihan menggunakan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pancasila yang kita sepakati hingga hari ini, dibandingkan dengan kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Jakarta adalah pilihan bijak umat beragama di Indonesia. Inilah ‘Pan-religious formula’ (Kunkler 2018), sikap moderat masyarakat muslim Indonesia yang diterapkan di dalam sistem politiknya sejak 1945 hingga sekarang. 

Hal ini sepertinya dianggap sesuai dengan ajaran Islam oleh para founding fathers maupun para ulama Indonesia kontemporer dengan berkaca pada Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah saw sebagai representasi masyarakat Madinah, berhadapan dengan para pemimpin kaum musyrik Makkah. Di dalam perjanjian itu, Rasulullah tidak keberatan mengubah kalimat yang sepertinya mengurangi nilai tauhid umat Islam menjadi kalimat yang diterima oleh pihak non Muslim demi terciptanya kedamaian hidup berdampingan di tengah masyarakat plural. 

Di dalam perjanjian 14 abad yang lalu itu, kalimat 'bismillahirrahmanirrahim'/atas nama Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang diubah menjadi bismika allahumma/atas nama Mu wahai Tuhan, dan kalimat "Muhammad rasulullah" (Muhammad utusan Allah), diganti menjadi "Muhammad bin Abdullah" (Muhammad putra Abdullah).

Permufakatan

Tidak dipertanyakannya keislamian Pancasila ini juga dilegitimasi dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bagi NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan 19 tahun sebelum Indonesia merdeka, hubungan agama dan negara sudah tidak perlu dipertanyakan lagi sejak generasi pertama. 

Pada 1936, NU menyebut Indonesia sebagai Darus Salam. Pada 1945, NU bersepakat dengan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan kemudian memobilisasi Resolusi Jihad untuk mempertahankan Republik Indonesia dari penjajahan kolonial. Pada 1953, NU mengakui keabsahan kepemimpinan Presiden Pertama Indonesia Soekarno secara fikih dan menamakannya Waliyyul Amr ad-Dlaruri bis Syaukah

Pada 1983-1984, NU menegaskan bahwa Indonesia adalah final perjuangan umat Islam. Pada 1987, NU memperkenalkan trilogi ukhuwwah (persaudaraan); Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), Ukhuwwah Wat'aniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), Ukhuwwah Basyariyah/Ins'niyah (persaudaraan sesama manusia) dan terakhir pada 2019, NU mengganti penggunaan status non-muslim yang tertulis dalam kitab-kitab klasik, seperti istilah kafir harby, kafir dzimmy, kafir mu'ahad, dan kafir musta'min menjadi satu kata, muwathinin, seorang warga negara yang sederajat di mata negara, apapun keyakinannya. Sebagaimana Nabi menggunakan kata ummat untuk penduduk Madinah, baik muslim maupun non-muslim. 

Bagi Muhammadiyah, Indonesia yang berlandaskan Pancasila adalah Darul 'Ahdi wa Syahadah yang diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 pada 3-7 Agustus 2015. Darul' ahdi artinya negara yang dibangun berdasarkan mufakat nasional. Negara tempatnya berdiri karena segala kemajemukan bangsa, golongan, wilayah, kekuatan politik, bersepakat untuk membangun Indonesia. Darussyahadah artinya negeri tempat persaksian. Maka setelah Indonesia merdeka, seluruh elemen bangsa harus mengisi bangsa ini menjadi negara yang maju, sejahtera, adil dan bermartabat. 

Dengan demikian, Pancasila yang menjadi dasar negara ini sudah sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana difatwakan oleh para Ulama sejak awal kemerdekaan hingga di 2021 ini. Sayangnya, abrasi loyalitas segelintir anak bangsa terhadap Pancasila dan keinginan untuk menggantinya dengan syari’ah, penulis berpendapat bahwa pemahaman mereka terhadap keislamian Pancasila sepertinya tidak cukup berakar dan komprehensif.

Sehingga mereka sepertinya masih menganggap penerimaan Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai dosa dalam agama, karena tidak menggunakan Alqur’an dan Sunnah. Semangat hijrah yang belakangan marak di kalangan milenial muslim Indonesia tidak disertai pemahaman yang baik tentang landasan dalam beragama. 

Hidup syari’ah sepertinya dipersempit ke dalam hidup berdasarkan dalil tekstual Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, di dalam studi Islam, sumber-sumber hukum Islam yang disepakati oleh banyak ulama tidak terbatas pada Alqur’an dan Sunnah- apalagi dengan hanya pemahaman literal-, melainkan juga mencakup pendapat para sahabat Nabi saw, konsensus ulama hingga fatwa tiap-tiap ulama yang kredibel.

Kini, menjadi momen penting untuk digunakan mensosialisasikan kembali keislamian Pancasila, sehingga masyarakat muslim Indonesia bisa percaya diri membangun negara kita dengan berpedoman pada lima poin isi Pancasila. Bahkan menggunakan semangat jihad untuk membangun negara tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan keahlian dan pengalaman masing-masing individu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya