Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Bukan Sekadar Hari Kartini

Ichwan Arifin, Alumnus Pasca Sarjana UNDIP, mantan Ketua GMNI Semarang.
21/4/2021 13:54
 Bukan Sekadar Hari Kartini
(Dok. Pribadi)

KISAH hidup Raden Ajeng (RA) Kartini tentu tidak asing bagi kita, dan menjadi bagian pelajaran sejarah yang diajarkan sejak sekolah dasar (SD). Namun, apa yang kita kenal dari Kartini selain sebagai pahlawan nasional dan perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April?
 
Penggambaran sosok Kartini beragam. Foto-foto Kartini dalam buku pelajaran sejarah, mengesankannya sebagai sosok pendiam, bahkan sedikit muram. Selain itu, narasi perjuangan Kartini yang ditransformasikan dalam buku sejarah di sekolah hanya sebatas emansipasi perempuan. Lebih dangkal dari itu, perayaan Hari Kartini juga dimaknai secara artifisial seperti cara berpakaian, lomba atau festival kegiatan yang lekat dengan dunia perempuan dan sebagainya.
   
Gambaran lebih progresif muncul dalam buku Panggil Aku Kartini Kartini Saja, tulisan Pramoedya Ananta Toer. Kartini dalam perspektif Pram merupakan pemikir modern Indonesia yang pertama, dan pendobrak feodalisme. Melalui pendidikan, ia melawan tradisi, serta adat yang berkontribusi pada terciptanya kebodohan dan keterbelakangan masyarakat.
   
Gambaran kekinian dapat dilihat dalam film Kartini, Princess of Java, besutan Hanung Bramantyo. Agak berbeda dengan citra sebelumnya, Kartini dikonstruksikan Hanung sebagai gadis yang ceria, lincah, tengil layaknya anak kekinian, tetapi cerdas dan berpemikiran maju. Hanung berhasil mendekatkan sosok Kartini yang lebih dekat dengan generasi kekinian, sekaligus mengenalkan pemikiran progresifnya kepada kaum milenial.  
   
Apa pun penggambarannya, satu hal yang pasti, Kartini menjadi sosok yang menginspirasi, tidak hanya kaum perempuan, tetapi juga kalangan pergerakan nasional. Selepas Kartini, muncul Dewi Sartika yang membuka sekolah perempuan pertama di Bandung. Ada juga, Rohana yang menerbitkan Sunting Melayu, surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda. Patut disebut juga, Moenapsiah dan Soekasih, tokoh perempuan dalam pemberontakan kaum komunis 1926 yang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
   
Namun, pada masa Orde Baru (Orba), Hari Kartini justru dijadikan sebagai alat menciptakan kondisi yang bertolak belakang dengan cita-cita yang diperjuangkan Kartini. Narasi emansipasi wanita versi Orba, justru menguatkan domestifikasi peran perempuan. Julia Suryakusuma menyebutnya sebagai Ibuisme Negara. Salah satu operasionalisasinya, dilakukan melalui organisasi yang diciptakan negara. Misalnya, Dharma Wanita, atau organisasi serupa sebagai wadah para istri pegawai negeri, pejabat pemerintahan dan sebagainya.  Organisasinya lekat dengan nuansa feodal, hierarkis struktural, mengikuti jabatan suami dan berorientasi pada status, bukan kompetensi dan kapasitas pribadi anggota.  
   
Sayangnya hingga kini (19 tahun reformasi), artefak Orba tersebut masih berakar kuat, dan mewariskan situasi yang disebut Betty Friedan sebagai mistifikasi perempuan. Narasi peran perempuan, yang menguatkan mistifikasi, seperti pendamping suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pembimbing anak serta pengatur rumah tangga, masih kental dalam benak masyarakat dan dipersepsikan sebagai kodrat.

   
Reformasi melahirkan kebijakan publik 'ramah perempuan'. Namun, dampaknya belum optimal. Kadang, kendalanya juga terletak pada kesadaran perempuan itu sendiri. Misalnya, pemahaman gender yang tidak sejalan dengan kesetaraan dipahami sebagai kodrat. Padahal, gender bukanlah takdir, melainkan konstruksi sosial yang dapat berubah. Affirmative action dalam ranah politik juga belum maksimal,jika diukur dengan kualitas, dan kuantitas perempuan  di lembaga politik seperti eksekutif, legislatif dan sebagainya. Kualitas produk politiknya pun juga masih dipertanyakan.
   
Faktor lainnya, struktur dan kultur sosial yang belum 'ramah perempuan'. Budaya politik patriarki dan tafsir sepihak terhadap agama, sebagaimana dikemukakan Kathryn Robinson dalam Religion, Gender and the State in Indonesia, berkontribusi pada terjadinya diskriminasi. Bahkan, represi terhadap perempuan yang dilakukan kelompok masyarakat dan juga negara.
   
Hal yang harus dipahami, masalah ini bukan persoalan kesetaraan perempuan di hadapan laki-laki. Tommy F. Awuy dalam Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan menyatakan, feminisme pada dasarnya bukan persoalan gender. Namun, persoalan kemanusiaan manakala terjadi diskriminasi pada manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Ini adalah gerakan kemanusiaan yang harus diperjuangkan, ketika nilai-nilai kemanusiaan tersebut terdistorsi oleh ketimpangan gender. Bukan untuk mengalahkan satu sama lain. Tapi, untuk mewujudkan tata sosial yang adil dan berlandaskan kemanusiaan.    

Selain aspek kemanusiaan, isu ini juga menyentuh wajah peradaban. Karena itu, Hari Kartini harus dijadikan sebagai simbol, momentum, dan pengingat untuk melakukan perubahan secara terus menerus. Ini adalah panggilan sejarah, dan keberanian untuk melakukan perubahan. Sebagaimana dikemukakan Kartini, "Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!" Selamat Hari Kartini!

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya