Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Jejak Hak Asasi Manusia 2020

Mimin Dwi Hartono Analis Kebijakan Ahli Madya di Komnas HAM RI
09/1/2021 05:40
Jejak Hak Asasi Manusia 2020
Mimin Dwi Hartono Analis Kebijakan Ahli Madya di Komnas HAM RI(Dok.Pribadi)

PEMENUHAN dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) sepanjang 2020 semakin berat di tengah pandemi covid-19 yang banyak menyerap energi bangsa. Kewajiban negara
untuk secara progresif memenuhi HAM khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin tertatih tatih karena ekonomi yang terpuruk. Dengan begitu, banyak masyarakat
kehilangan pekerjaan, pendapatan, dan penghidupan.

Dalam pidatonya di Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2020, Presiden Joko Widodo berjanji untuk memenuhi hak atas kesehatan masyarakat seiring dengan upaya mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Namun, sampai dengan 28 Desember 2020, dari lima orang yang mendapatkan tes covid-19, satu di antaranya terkonfi rmasi positif.

Hal ini menunjukkan betapa seriusnya penyebarannya sehingga angka terkofi rmasi positif sampai dengan tulisan ini dibuat mencapai lebih dari 700 ribu orang, dan lebih dari 21 ribu
orang di antaranya meninggal.

Pandemi covid-19 pada satu sisi menimbulkan ancaman bagi kehidupan, tetapi pada sisi lain membuka peluang untuk membangun tatanan kehidupan baru yang lebih ramah pada keberlanjutan lingkungan hidup dan HAM. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah HAM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang tentang
Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, negara wajib memenuhinya melalui langkah kebijakan yang tepat, baik secara medis seperti penyediaan vaksin dan obat-obatan, serta tenaga medis/kesehatan, maupun menjaga keseimbangan ekosistem sebagai prasyarat mendasar terpenuhi dan terlindunginya hak atas kesehatan.


Pelanggaran HAM berat


Terkait dengan masih mangkraknya  penuntasan 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat, Presiden Joko Widodo berjanji akan menuntaskan melalui mekanisme yang bisa diterima
oleh semua pihak dan dunia internasional.

Janji itu lantas ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung dengan membentuk Satuan Tugas Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Penuntasan peristiwa pelanggaran
HAM yang berat tidak bisa ditunda lagi dan harus diwujudkan dalam bentuk kemauan politik yang kuat dan konkret demi keadilan bagi korban dan keluarganya.

Konflik agraria juga mewarnai situasi HAM sepanjang 2020. Terkait hal itu, Presiden Jokowi menjamin bahwa pembangunan infrastruktur didedikasikan sebagai prasarana pemenuhan HAM. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab konfl ik agraria. Sepanjang 2012-2019, 547 konflik agraria diadukan dan ditangani Komnas HAM RI, dengan 84 di antaranya terkait proyek infrastruktur.

Hal ini menujukkan bahwa konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur terus terjadi, meluas, dan dengan eskalasi yang semakin meningkat, yang berimplikasi pada pelanggaran HAM, baik hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak-hak sipil dan politik.

Konfl ik agraria yang berimplikasi pada pelanggaran HAM diprediksi meningkat eskalasinya dengan adanya omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena berbagai kemudahan bagi investor, baik dalam memperoleh dan mengakumulasi tanah maupun kemudahan regulasi yang melemahkan perlindungan atas HAM.

Terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, Presiden Jokowi berjanji menyelesaikan berbagai pelanggaran kebebasan beribadah di berbagai tempat. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006) menjadi salah satu penyebab pembatasan atas kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan, khususnya dalam pendirian rumah ibadah.

PBM 2006 tersebut melakukan pembatasan hak beragama dan berkeyakinan, padahal yang semestinya dilakukan pemerintah ialah pengaturan secara teknis dalam pendirian rumah ibadah berdasar pada syaratsyarat objektif, bukan subjektif, dan tidak diskriminatif.

Kita menyambut baik dan menunggu aksi nyata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang menyatakan tekadnya untuk melindungi kelompok- kelompok minoritas. Termasuk bentuk kebijakan afi rmasi terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut, misalnya terkait nasib pengungsi Syiah di Sidoarjo, Jatim, dan jemaat Ahmadiyah di Transito, NTB.

Pada 2020, penggunaan kekerasan yang berlebih (excessive force) oleh aparat negara khususnya kepolisian masih terjadi. Penggunaan kekerasan berlebih terjadi dalam penanganan
konfl ik sumber daya alam, pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, penanganan aksi-aksi unjuk rasa, maupun dalam merespons kelompok-kelompok tertentu.

Pada peristiwa penolakan omnibus law UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, terjadi berbagai bentuk kekerasan berlebih dan penangkapan terhadap sekitar 5.198 orang di wilayah DKI Jakarta. Kekerasan juga dialami oleh setidaknya 38 jurnalis ketika meliput unjuk rasa, dengan 13 orang di antaranya diduga mengalami
intimidasi.

Pada Senin, 7 Desember 2020, dini hari, terjadi penembakan yang menewaskan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) yang sedang mengawal Muhammad Rizieq dan
keluarganya di sekitar kilometer 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Peristwa ini harus diselidiki secara tuntas dan transparan untuk membuka terangnya peristiwa tersebut karena
terkait dengan hak hidup dan hak atas keadilan.

Alhasil, janji Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Hari HAM Sedunia 10 Desember 2020 adalah instruksi yang harus segera ditindaklanjuti secara konsisten, terukur, konkret, dan terencana oleh aparaturnya pada 2021. Hal ini supaya publik khususnya para korban pelanggaran HAM bisa menikmati HAM dengan lebih baik dan kondusif.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik