Tantangan Berat Muhammadiyah Saat Ini

Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
18/11/2020 03:05
Tantangan Berat Muhammadiyah Saat Ini
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah(Dok.Pribadi)

TANGGAL 18 November 2020, menurut kalender Masehi/Miladiyah, Muhammadiyah berusia 108 tahun. Disesuaikan dengan dengan kondisi saat ini, ulang tahun (milad) Muhammadiyah mengangkat tema Meneguhkan gerakan keagamaan hadapi pandemi dan masalah negeri.

Mengapa harus diteguhkan? Karena maraknya gerakan keagamaan seperti ‘hijrah’, untuk yang sudah muslim, tapi merasa belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, dan ‘mualaf’ untuk yang nonmuslim dan berpindah keyakinan menjadi muslim, sama-sama belum sepenuhnya menyentuh sisi substantif dari agama.

Hijrah, misalnya, menjadi fenomena yang cenderung berhenti pada aspek simbolis, ditandai dengan berpakaian tertutup dengan hijab, atau niqab bagi perempuan; atau memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang (di atas mata kaki) bagi laki-laki. Fenomena ini tentu sangat baik, sepanjang dibarengi pula dengan perilaku yang terpuji, dan kedalaman ilmu agama yang memadai.

Menjadi kurang baik manakala hijrah, selain sebatas pada cara berpakaian, dibarengi dengan perilaku eksklusif, membatasi pergaulan, hanya dengan mereka yang berpandangan dan perilaku yang sama dengan dirinya, dan cenderung menganggap yang berbeda sebagai pendosa. Hijrah semacam itu, menurut Tafsir, salah satu tokoh penerima Maarif Award 2008,
merupakan hijrah yang berkemunduran.

Berkemajuan


Hijrah berkemunduran adalah hijrah yang selain tidak dibarengi perluasan dan pendalaman agama, cenderung antiilmu pengetahuan, dengan mengharamkan hal-hal baru, mengharamkan musik, dan menutup diri dari (bahkan cenderung memusuhi) orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama.

Hijrah yang tepat ialah yang berkemajuan, yakni berhijrah dari cara beragama yang jumud dan kaku menjadi progresif, sesuai dengan tuntutan zaman, proilmu pengetahuan, bersikap terbuka, dan bisa menawarkan solusi yang konstruktif bagi siapa pun yang tengah menghadapi masalah, tanpa kecuali. Inilah fungsi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.

Seperti halnya hijrah, mualaf juga seyogianya ditempuh dengan cara berkemajuan, berpindah ke agama baru dengan semangat belajar dan berperilaku yang berorientasi ke depan, bukan dengan terus melihat ke belakang, menyalah-nyalahkan, atau bahkan menista agama mantan.

Dalam Islam, dilarang menghina sesembahan (keyakinan) agama lain. Jika itu dilakukan, akan ada pembalasan (saling menghina), yang pasti lebih buruk akibatnya. Sadarilah bahwa pada saat kita menghina agama orang lain, sama artinya dengan menyuruh pemeluk agama lain menghina agama kita.

Tidak simbolis


Fenomena hijrah yang berkemunduran dan bermunculannya mualaf yang cenderung menjelek-jelekkan agama lain (agama sebelumnya) ialah tantangan Muhammadiyah, yang sudah berkomitmen mengembangkan dakwah bil hikmah wal mau’idzah hasanah. Dakwah dengan berpegang teguh pada keteladanan, rasionalitas, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada awal kelahiran Muhammadiyah, 18 November 1912 silam, pendirinya, KH Ahmad Dahlan, mengajarkan b a g a i m a n a cara berpakaian (dengan celana panjang/pantalon,
dasi, dan jas), cara mengajarkan agama (melalui sistem pendidikan klasikal), dan cara menyantuni anak yatim dan fakir miskin (dengan mendirikan panti asuhan).

Apa yang dilakukan Kiai Dahlan itu persis seperti yang dilakukan kelompok zending (Belanda), cuma berbeda isi. Oleh karena itu, Kiai Dahlan kadang menerima cercaan dan tuduhan sesat/kafi r dari tokoh tokoh muslim yang lain karena dianggap berdakwah dengan menyerupai orang kafir, dengan dalilman tasyabbaha biqaumin, fahua minhum (barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka). Namun, apakah dengan demikian Kiai Dahlan takut, atau surut ke belakang? Tidak. Kalau takut, tentu pendidikan Muhammadiyah tidak berkembang seperti saat ini.

Artinya, sejak awal, Muhammadiyah tidak terjebak pada aspek simbolis (pakaian dan cara). Namun, yang lebih penting ialah isi (substansi) dari apa yang berada di balik simbol. Kiai Dahlan juga mengajarkan agama dengan biola (melalui musik) karena beliau ingin agama diserap dengan segenap rasa seperti manusia menyerap keindahan suara biola. Jadi, kalau
sekarang ada yang berdakwah dengan mengharamkan musik, jelas bertentangan dengan cara dakwah Muhammadiyah.

Antikebodohan


Saat ini, kita menghadapi dua bahaya sekaligus, pandemi dan stupidity (kebodohan), baik dengan sadar atau tanpa sadar. Ada kalangan yang melakukan kebodohan dengan sadar karena ‘menyerah’ pada keadaan. Daripada mati karena kelaparan jika tetap tinggal diam di rumah, mending keluar rumah, berusaha mencari sesuap nasi walaupun tahu risikonya bisa terkena korona.

Atau bisa jadi, sengaja melakukan kebodohan karena protes pada kebijakan pemerintah. Karena pemerintah tetap melaksanakan proses pilkada serentak di tengah pandemi, banyak kalangan kembali melakukan aktivitas keagamaan, yang melibatkan banyak orang. Padahal, mereka tahu kegiatan semacam itu berpotensi menjadi klaster penyebaran korona.

Yang lebih memprihatinkan, ada kebodohan yang (mungkin tanpa sengaja) pelakunya dari kalangan cerdik pandai sekelas profesor, misalnya dengan ikut-ikutan menyebarkan hoaks tentang korona. Ini parah karena pada saat hoaks itu sampai ke kalangan orang biasa akan dipercaya begitu saja karena sumbernya dianggap otoritatif.

Muhammadiyah memiliki trade mark sebagai gerakan berkemajuan dan tanwir (pencerahan) karena dianggap sukses memberantas kebodohan melalui gerakan pendidikan dan sosial kemanusiaan. Tentu saja, sekarang menghadapi tantangan berat karena berhadapan dengan kebodohan bukan dalam arti leksikal, melainkan lebih merupakan ‘tindakan bodoh’ dari orang orang yang sebenarnya pintar.

Dalam menghadapi kebodohan semacam ini, Muhammadiyah melakukannya dengan dua cara. Pertama, bil hikmah atau bil hal, yakni melalui contoh tindakan nyata. Beribadah dengan tetap berpegang pada protokol kesehatan, melakukan kegiatan-kegiatan rapat, pengajian, dan diskusi secara daring, dan aktif menggalang kegiatan penanggulangan
pandemi korona melalui lembaga MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center), yang bekerja sama dengan puluhan RS, lembaga amil zakat (Lazismu), dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).

Kedua, melalui mau’idzah hasanah (nasihat, seruan, dan kritik konstruktif), baik pada masyarakat secara umum maupun kepada pemerintah dan aparaturnya. Baru-baru ini, misalnya, Muhammadiyah mengkritik keras aparat yang membiarkan acara kerumunan yang melibatkan ribuan orang, termasuk acara penyambutan dan pernikahan putri
Habib Rizieq Shihab. Sebelumnya, Muhammadiyah juga mengeluarkan seruan agar pilkada ditunda.

Untuk cara yang kedua ini, Muhammadiyah memang hanya bisa (sebatas) menyampaikan karena tidak memiliki kewenangan atau ketegasan untuk menindak apabila nasihat dan seruannya tidak diperhatikan. Kewenangan menindak tegas ada pada pemerintah. Karena itu, jika pemerintah juga hanya mampu menyampaikan imbauan, apa bedanya dengan Muhammadiyah? Wallahu a’lam!

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya