Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
“KAK, apa yang membuat siswa STM ikut demonstrasi? Padahal, mereka tidak tahu masalahnya.”
Begitu pertanyaan seorang wartawan yang masuk ke Whatsapp saya. Kalimat pertama berupa pertanyaan sang wartawan, tak sulit untuk saya jawab. Namun begitu, kalimat kedua terbaca, saya bukannya memberikan jawaban, melainkan saya memilih untuk mendiskusikannya.
Banyak dari masyarakat yang mungkin memiliki anggapan yang sama dengan sang wartawan. Bahwa anak-anak diidentifi kasi sebagai individu yang tidak paham, bahkan abai politik. Pelajar dipandang sebagai individu yang berwatak egois sekaligus berpikiran dangkal sehingga kurang peduli terhadap kehidupan berbangsa.
Asumsi sedemikian tentu patut dikoreksi. Anak-anak hari ini terpapar informasi jauh lebih banyak, bahkan--hingga beberapa segi--lebih tidak terkendali jika dibandingkan dengan anak-anak dari era lampau. Keberadaan jaringan internet ialah penyebabnya.
Ini terbukti antara lain dari studi Meagan Patterson, Profesor Psikologi Pendidikan. Bersama sejumlah koleganya, di dalam Monographs of the Society for Research in Child Development, Patterson menulis bahwa anak-anak berusia lima hingga 11 tahun pun memiliki perbendaharaan pengetahuan yang baik tentang dinamika politik di negara mereka. Sikap anak-anak itu tidak terlepas dari pengaruh keluarga, orangtua, dan masyarakat sekitar.
Banyak studi lain yang juga menghasilkan temuan serupa. Semuanya memberikan dasar bahwa sikap meremehkan literasi politik anakanak sudah saatnya diakhiri.
Memandang remeh kecerdasan anak-anak dalam menangkap situasi negara tampaknya beriringan dengan masih adanya kecenderungan untuk sepenuhnya mengharamkan anak-anak turut ambil bagian dalam politik. Cara pandang demikian sesungguhnya bertitik tolak dari cara pikir yang kedaluwarsa.
Disebut kedaluwarsa karena UU Perlindungan Anak justru mengandung semangat sekaligus memuat pembenaran konstitusional bahwa anak-anak sudah semestinya dilibatkan sejak dini dalam aneka ragam aktivitas politik. Tentu tetap dalam ‘bahasa anak’. Sebagai contoh, anak-anak dapat diberikan ruang untuk ‘berpartisipasi’, ‘menyatakan pendapat dan berpikir’, ‘menerima informasi lisan atau tertulis’, serta ‘berserikat dan berkumpul’.
Kebebasan bagi anak-anak untuk melakukan hal-hal tersebut bahkan ditegaskan UU Perlindungan Anak sebagai kewajiban yang patut diupayakan pemerintah ataupun pemerintah daerah.
UU yang sama, pada bagian lain, juga tidak melarang pelibatan anak dalam politik. Yang dilarang ialah ‘penyalahgunaan (anak) dalam kegiatan politik’. Satu lagi, UU Perlindungan Anak menjamin ‘hak (anak) dalam menyampaikan pendapat, sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan(nya)’.
Seluruh ketentuan di dalam UU Perlindungan Anak, sebagaimana tertulis di atas, memandu semua pihak untuk menjadikan literasi dan aktivitas berpolitik anak sebagai sasaran integral dalam perlindungan anak di Tanah Air.
Dengan pijakan sedemikian rupa, kalimat yang diajukan wartawan pada bagian awal tulisan ini, jika benar adanya, justru mengindikasikan betapa praktik perlindungan anak di Tanah Air masih senjang dengan amanat UU.
Pertanyaan sekaligus keraguan akan ‘kemelekan politik anak’ memunculkan imajinasi tentang sebuah ruang yang mungkin terlupakan negara.
Cara pandang yang menciptakan ruang hampa tersebut kadang juga masih dianut sementara pejabat dan lembaga negara terkait. Tentu saya juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan anak-anak telah dimanipulasi untuk kepentingankepentingan yang jauh dari moral, etika, dan hukum.
Dibutuhkan penanganan yang efektif terhadap perbuatan seperti itu. Namun, melalui tulisan ini dan juga tulisan-tulisan senada terdahulu, saya memilih untuk berpandangan positif: anak-anak Indonesia ialah insan cerdas yang memikul tanggung jawab untuk menyusun puzzle kejayaan Indonesia di masa depan.
Sebagai misal, anak-anak yang aktif dalam kegiatan Forum Anak Nasional setiap menjelang peringatan Hari Anak Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kongres Anak Indonesia yang baru-baru ini diselenggarakan LPAI.
Agar mereka sanggup mengemban tugas masa depan itu, tak lain tak bukan, negara harus sejak sekarang mengambil segala daya upaya guna merealisasikan setumpuk perintah Undang-Undang Perlindungan Anak.
Penanganan lebih
Sehari setelah aksi massa besar-besaran menentang UU Cipta Kerja (omnibus law), Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bergegas berkomunikasi dengan Polri. Dari komunikasi itu kami ketahui ada ratusan anak yang diamankan pihak kepolisian.
LPAI juga menyampaikan harapan agar seluruh anak yang diamankan tersebut, terlepas bagaimana pun tindak-tanduk mereka, tetap memperoleh jaminan ‘sehat, selamat, dan terjaga martabatnya’.
Khusus dengan Polda Metro Jaya, LPAI diminta ikut menangani anak-anak apabila ada di antara mereka yang tak kunjung dijemput keluarga. LPAI menyanggupi dan berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan Polda Metro Jaya.
Ke depan, apabila berlangsung kembali langkah-langkah pengamanan terhadap anak-anak yang melakukan demonstrasi, saya menaruh harapan kepada para pemangku kepentingan terkait, bekerja secara lebih komprehensif terhadap generasi muda harapan bangsa itu.
Tidak sebatas pemenuhan kebutuhan pangan dan memulangkan mereka ke keluarga masing-masing. Kepada anak-anak itu, sebagaimana anak-anak lainnya, patut dikenai perlakuan sesuai isi UU Perlindungan Anak.
Anggaplah bahwa mereka turun ke jalan lebih sebagai aksi ikut-ikutan. Namun sekali lagi, secara positif saya melihat mereka sebagai insaninsan belia potensial. Kerja terpadu antarpihak diharapkan akan bisa mematangkan anak-anak itu agar kelak tidak lagi sekadar ikut-ikutan, tetapi lebih mampu menjadi ‘insan politik’ yang lebih cerdas dengan menyalurkan suaranya melalui jalur yang tepat sebagai anak. Bisa melalui Forum Anak Nasional ataupun Kongres Anak Indonesia.
Kegiatan ini sudah banyak diikuti anak-anak pelajar, anak-anak berprestasi, anak-anak marginal, anak berkebutuhan khusus, anak berbakat, dan sebagainya.
Sejarah mencatat kiprah nyata kelompok-kelompok pelajar, seperti Tentara Pelajar pada masa Revolusi Fisik. Di pengujung Orde Lama, Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, juga turut berjasa mengantar Indonesia ke ufuk baru. Tentu tidak cukup bagi kita untuk sebatas terinspirasi itu semua.
Anak-anak Indonesia patut senantiasa hadir dalam setiap episode peradaban negeri ini. Dengan memberikan ruang yang lebih luas guna menyalurkan dinamika politik mereka secara tepat, dengan tetap memakai bahasa anak, akan lahir pula kelak pemimpin-pemimpin unggul dan cerdas dalam bidang politik di masa depan negeri ini. Semoga.
Survei CfDS terhadap 400 pemilih pemula menunjukkan bahwa digital image lebih berpengaruh daripada sejarah politik, menggeser gagasan ke estetika dan perasaan.
KETUA DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah proaktif dan menyiapkan strategi menghadapi fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin mengkhawatirkan
Rocky Gerung mengatakan bahwa momentum 27 tahun Reformasi bukan sekadar untuk diperingati, melainkan untuk diulangi dalam konteks perombakan struktur politik dan ekonomi Indonesia.
Platform Bijak Memantau resmi diluncurkan pada Selasa (20/5). Platform terseubut dimaksudkan sebagai ruang untuk menavigasi isu kebijakan, dan memantau proses legislasi.
Reformasi yang sudah susah payah dicapai Indonesia pasca 32 tahun Soeharto berkuasa, kini dipaksa putar balik kembali.
DUKUNGAN untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada sektor politik harus konsisten diperkuat demi mewujudkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap kebijakan yang diterapkan.
Unjuk rasa tersebut merupakan reaksi terhadap operasi penangkapan besar-besaran yang dilakukan Lembaga Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) terhadap para migran tidak berdokumen.
Wakil Gubernur California, Eleni Kounalakis, berencana mengajukan gugatan hukum atas keputusan Presiden Donald Trump yang mengerahkan Garda Nasional.
Penegak hukum di Los Angeles bersiap menghadapi malam yang penuh ketegangan usai demonstrasi terkait penggerebekan imigrasi.
Wali Kota LA, Karen Bass, mengatakan tidak ada kebutuhan menurunkan pasukan federal dan kehadiran Garda Nasional menciptakan kekacauan yang disengaja.
LAPD menyatakan unjuk rasa di luar Pusat Penahanan Metropolitan sebagai perkumpulan ilegal dan mengizinkan penggunaan peluru tak mematikan.
Penyidik mengatakan Mohammed Sabry Soliman merencanakan pelemparan bom molotov ke demonstran pawai untuk sandera Israel, selama satu tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved