Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Virus Korona dan Teori Kucing Schrodinger

Yopi Ilhamsyah, Dosen Fisika Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 
17/9/2020 19:55
Virus Korona dan Teori Kucing Schrodinger
Yopi Ilhamsyah(Dok.pribadi)

SUDAH sembilan bulan virus korona beredar di tengah-tengah warga dunia. Coronavirus disease 2019 (covid-19) sangatlah mematikan, dan World Health Organization (WHO) dalam rilis pada Juli 2020 menyebutkan bahwa virus ini dapat menyebar melalui udara.

Untuk ini disarankan agar selalu menghindari keramaian, tetap menjaga jarak, memakai masker dan rajin mencuci tangan bila beraktivitas di luar ruangan. Jika beraktivitas di dalam ruangan agar selalu menjaga sirkulasi udara dengan baik dengan membuka jendela, menyediakan ventilasi memadai. Jika menggunakan penyejuk ruangan (AC) agar menggunakan penyaring udara yang baik. Upayakan sinar matahari dapat masuk ke ruangan. 

Untuk menghindari penyebaran secara masif, banyak negara telah menerapkan lockdown atau karantina total. Perlahan kasus kematian akibat covid-19 menurun sementara orang yang terinfeksi banyak pula yang sembuh. Karena guncangan ekonomi yang timbul dari lockdown, sejumlah negara mulai mencabut kebijakan lockdown dan hanya memberlakukan social distancing (pembatasan sosial) dengan mengikuti protokol kesehatan ketat hingga kini. 

Indonesia tidak menerapkan lockdown namun memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selama tiga bulan (Maret-Mei) kasus covid-19 sempat menurun. Namun, memasuki fase new normal atau adaptasi kebiasaan baru di Indonesia yang berlaku pada Juni, perlahan tapi pasti kasus ini malah terus naik. 

Di Indonesia, angka kematian akibat covid-19 bahkan lebih tinggi dibanding rata-rata dunia. Data Satuan Tugas Covid-19 Nasional pada 31 Agustus 2020 melaporkan kasus kematian mencapai angka 4,2%, di atas rata-rata dunia yaitu 3,34%. Dengan kasus merata di 34 provinsi sementara kasus positif hari demi hari terus menunjukkan tren naik. 

Transmisi lokal lewat orang tanpa gejala diyakini sebagai penyebab merebak kembali kasus covid-19. Hal ini pula yang melanda dunia. Temuan para ilmuwan menegaskan bahwa kasus korona tanpa gejala sedang beredar di tengah-tengah kita kini. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang menjadi mitra WHO mengemukakan angka 40% untuk kasus tanpa gejala di Amerika Serikat. Ilmuwan dunia juga meyakini bahwa hampir setengah kasus covid-19 yang melanda dunia kini ditularkan lewat orang tanpa gejala. 

WHO baru-baru ini mendorong agar orang-orang yang terinfeksi tanpa gejala juga harus menjalani uji kesehatan. Selain berpeluang menularkan ke orang lain, kasus tanpa gejala bahkan dapat menyebabkan kerusakan paru dan jantung si penderita dalam jangka panjang. 

Ketidakpastian

Kondisi ini tak pelak membuat warga semakin khawatir. Lewat transmisi lokal, beraktivitas di luar atau di dalam ruang sekalipun tetap berpotensi terpapar covid-19 yang dapat berakibat kematian. Kita sendiri juga tidak mengetahui apakah termasuk salah seorang yang terjangkit tanpa gejala ini.

Banyak negara yang kembali mewacanakan pemberlakuan lockdown untuk mencegah pergerakan massa. Namun pertimbangan resesi ekonomi membuat langkah karantina total kembali mental. Seiring dengan vaksin yang belum lagi ditemukan, kehadiran covid-19 di tengah-tengah kehidupan menjadikan kita sedang menjalani hidup yang tidak pasti, antara hidup dan mati. 

Studi terbaru yang dilakukan Profesor Hendrik Streeck dari Universitas Bonn, Jerman menemukan bahwa virus korona masih akan beredar di tengah masyarakat hingga 2023. Ahli virologi yang menjadi leading author penelitian SARS-CoV-2 Jerman dalam jurnal Medical-Archive (medRxiv) mengatakan bahwa keberadaan covid-19 mau tidak mau, disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita hingga tiga tahun mendatang. 

Saya teringat dengan beberapa kejadian di lingkungan saya satu bulan terakhir. Tiba-tiba saja kantor kembali ditutup karena kasus covid-19 yang mulai merebak. Tiba-tiba saja mendapat kabar kolega meninggal karena virus ini. Ada pula yang meninggal namun belum diketahui apakah karena korona atau bukan. 

Lantas, apa yang terjadi dengan saya selanjutnya? Apakah berpotensi terpapar covid-19? Hal itu belum diketahui sampai saya melakukan pemeriksaan. Dengan covid-19 yang masih beredar, apakah saya sudah benar-benar terbebas kendati dinyatakan sembuh? Belum tahu lagi. Kehidupan di dunia kini diliputi serba ketidakpastian. Saya mulai berpikir boleh jadi ini yang disebut ruang dan waktu yang berisikan fase hidup dan mati sekaligus. 

Fisika kuantum

Kondisi ini mengingatkan saya dengan teori ketidakpastian dalam fisika kuantum. Kebetulan baik virus korona dan kuantum (partikel untuk subatom tunggal) sama-sama berwujud mikroskopik tak kasat mata. Salah seorang penggagas teori kuantum yang terkenal adalah Schrodinger yang mengajukan percobaan imajinasi lewat kucing khayalan pada 1935. Prinsip ketidakpastian dinyatakan lewat probabilitas (peluang), yang disebut superposisi. 

Untuk contoh ekstrem kita ambil kasus hidup dan mati, sehingga hipotesis yang ingin diajukan apakah kucing hidup atau mati atau hidup dan mati secara bersamaan. Untuk itu, kita tempatkan zat radioaktif, sebotol racun, pencacah Geiger dalam kandang kucing yang kita tutup rapat. 

Antara botol racun dan pencacah kita gantungkan batu yang diikat antara mulut botol dan pencacah. Jika zat radioaktif memancarkan radiasi, pencacah akan bereaksi dan batu akan jatuh menumpahkan botol berisi racun. 

Intuisi klasik kita dengan membayangkan kucing yang senang bermain dan menjilat, kita akan mengatakan kucing mati seketika menjilat cairan mengandung racun yang tumpah dari botol. Namun, teori kuantum mengatakan kondisi kucing hidup sekaligus mati! Inilah paradoks yang ditimbulkan oleh teori ini. 

Kapan kita mengetahui kondisi ini berakhir? Coba kita intervensi dengan membuka kandang kucing. Namun, jika kandang dibuka, kondisi kuantum yang bermain dengan peluang-peluang akan runtuh karena sensitifitasnya terhadap lingkungan luar. Nah, pernyataan terakhir menyiratkan petunjuk kalau sesuatu yang mengandung ketidakpastian dan peluang dapat berakhir jika dilakukan intervensi. 

Kembali ke Prof Streeck, beliau menyebutkan bahwa vaksin dapat ditemukan namun masih dibutuhkan waktu dalam proses penyempurnannya. Menyadari hidup berdampingan dengan covid-19 dengan peluang terinfeksi tinggi yang dapat berakibat kematian, beliau menggaris bawahi pentingnya kesadaran diri sendiri. Selain disiplin akan penerapan prosedur kesehatan yang telah ditetapkan WHO, selalu hindari kumpul-kumpul apapun bentuk kegiatan tersebut. Ini tindakan penting untuk menekan laju penularan. 

Tinggal sekarang kita disiplin mematuhi protokol-protokol pencegahan korona di semua daerah di Indonesia tanpa terkecuali. Manusia adalah makhluk sosial nan dinamis, dan hanya kesadaran yang membatasi ruang gerak kita. Hindari kerumunan massa, tidak berpergian jika tidak penting, tetap jaga jarak, selalu memakai masker, rajin mencuci tangan dengan air mengalir/menggunakan hand sanitizer dan menjaga imunitas tubuh. 

Satu hal lagi, kendati tanpa gejala, memeriksakan diri tetap perlu, ingat bahaya jangka panjang yang dapat menyebabkan komplikasi radang pernafasan dan jantung. Segera mengisolasi diri jika didiagnosis covid-19. Intinya pengendalian diri lewat kedisiplinan menjaga diri sendiri. Inilah bentuk intervensi individu di tengah paradoks korona, mampukah kita? Semoga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya