Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Media Digital dan Agama di Masa Pandemi

Yohanes Widodo, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 
29/7/2020 23:00
Media Digital dan Agama di Masa Pandemi
Yohanes Widodo(Dok.pribadi)

MEDIA digital menawarkan peluang baru bagi agama, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. Akankah Internet menjadi ruang hidup (baru) bagi agama di masa normal baru?

Kemunculan covid-19 menjadikan semua orang (termasuk agama) terkejut dan tidak siap. Ada sejumlah rumah ibadah, khususnya gereja, yang lebih siap untuk ibadah daring, namun secara mental tetap terkejut karena mereka belum terbiasa dengan pelayanan daring. Gereja Katolik awalnya tetap melakukan ibadat dengan protokol kesehatan dan mengubah kebiasaan tertentu, misalnya menghilangkan jabat tangan. Ketika situasi memburuk, gereja menghentikan layanan ibadat regular. 

Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) yang menangani bidang media dan pewartaan di tingkat Keuskupan maupun Paroki dengan cepat menyesuaikan diri dan menyiapkan sistem siaran daring. Para Uskup memimpin misa tanpa jemaat dan menyiarkannya melalui platform YouTube, hingga berkembang seloroh; misa di Gereja Santo Yutub.  

Covid-19 memaksa agama-agama melakukan cara-cara yang baru dan kreatif: going digital dan membuat institusi agama dan media berbasis agama akhirnya bangkit dari tidur panjang. Penggunaan media daring dalam liturgi dan non liturgi pun meningkat tajam. Meski muncul perdebatan teologis mengenai liturgi daring, faktanya umat cukup antusias mengikutinya. 

Peran media digital
Media digital setidaknya memiliki empat peran penting dalam dalam aktivitas keagamaan. Pertama, sebagai media dakwah atau katekese gaya baru. Selama ini kegiatan dakwah cenderung dilakukan satu arah. Peran media digital makin mengemuka sebagai media pengajaran dengan model, gaya, dan cara baru,  lebih interaktif, dan tidak menggurui. 

Kedua, sebagai ruang untuk membangun relasi dan interaksi sesama umat dan antarumat. Media digital menjadi media yang efektif untuk berinteraksi. Interaksi ini mampu membangun komunitas virtual yang bersifat lintas batas. Media digital mampu menjadi ruang untuk membangun interaksi dan relasi yang egaliter, santai, tanpa sekat birokrasi. Dari sini diharapkan muncul sikap inklusif dan toleran.  

Ketiga, sebagai tempat bertemunya wacana atau ideologi yang berbeda. Media digital adalah ruang yang terbuka, sehingga siapa pun bisa menyampaikan sikap, ideologi, dan perspektif. Misalnya, yang sering muncul terkait perdebatan antara kaum tradisional dan kaum liberal; antara mereka yang ingin menjaga kemurnian agama versus mereka yang menekankan aspek toleransi dan kemanusiaan. 

Fenomena itu riil terjadi di masing-masing agama. Pertemuan atau gesekan antarmereka mewarnai keriuhan media sosial. Mereka yang berpandangan sama saling berkumpul dan mendukung lalu bersama-sama 'menyerang' pihak liyan. Jika berlangsung secara sehat, pertentangan itu bisa berakhir dengan kompromi dan saling memahami. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, pertentangan semacam itu bisa berakhir dengan konflik dan perpecahan (cyberbalkanization). 

Keempat, mendukung keterbukaan dan akuntabilitas lembaga agama. Adalah fakta bahwa muncul beberapa kasus penyelewengan atau bahkan kriminal terjadi di lingkungan lembaga agama. Di lingkungan gereja Katolik misalnya, baru-baru ini mencuat kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan gereja. 

Di era internet ini, kasus-kasus seperti itu tak lagi bisa ditutup-tutupi. Sekali kasus itu muncul di media sosial, akan makin besar dan jadi perhatian publik. Lembaga agama dituntut lebih akuntabel dan mengupayakan penyelesain kasus-kasus penyelewengan secara terbuka. 

Masa normal baru
Bagaimana habitus penggunaan Internet dalam aktivitas keagamaan ke depan? Menurut dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Bagus Laksana (2020), di masa normal baru, internet menjadi bagian yang signifikan dari cara beragama dan menggereja. Situasi ke depan menuntut interaksi dan keterlibatan yang makin erat antara kegiatan daring dan luring. Komunitas gereja tidak bisa lagi dipisahkan dengan interaksi daring. Sebaliknya, interaksi daring tidak bisa berdiri sendiri. Liturgi daring menjadi pengembangan dan pengayaan dari liturgi luring (ibadat regular).

Melihat sejumlah fakta di atas, ada agenda yang perlu dicermati oleh lembaga agama. Pertama, internet atau media digital bukanlah musuh namun justru menjadi tempat bagi umat beragama hidup dan ada di sana. Lembaga agama perlu membuka diri dan ikut hadir untuk ‘menggarami dan menerangi’ ruang siber dalam rangka kebutuhan dan pengembangan umat. Lembaga agama perlu belajar dan lebih memahami pengelolaan Internet dan media sosial sehingga mampu memanfaatkannya secara maksimal. 

Kedua, membangun relasi yang cair (communion). Kalau dulu, di era 1990an, Islamnet dan ParokiNet mampu mempertemukan dan menjaring umat lintas batas geografis atau parokial, pendekatan ini juga perlu menjadi perhatian lembaga agama untuk membangun komunitas-komunitas digital berbasis agama yang hidup dan sehat.

Ketiga, lembaga agama perlu mengantisipasi potensi perpecahan dalam konteks internal umat maupun antarumat. Pemimpin agama perlu hadir dan menyapa warganet untuk berdiskusi, mengarahkan, dan mengingatkan jika ada yang keluar jalur atau memancing perpecahan. 

Keempat, hirarki agama perlu mengubah pendekatan dari berkotbah di ‘mimbar’ menjadi berbincang di ‘pasar’. Internet identik dengan interaktivitas. Jika lembaga agama atau tokoh agama masuk ke dunia internet namun cenderung berkotbah model satu arah, biasanya kurang diminati. Lihat saja akun-akun official lembaga agama yang cenderung minim pengikut. Umumnya karena pendekatannya cenderung kaku atau satu arah. 

Kelima, lembaga agama perlu mengembangkan literasi digital terutama etika bermedia sosial. Poin ini menjadi penting karena faktanya, ketika umat beragama masuk ke media sosial, maka unggahan, komentar dan sikapnya bisa berubah 180 derajat; menjadi barbar dan nir-etika. 

Lembaga agama perlu mendidik dan membekali umat dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menyebarkan nilai-nilai dan keutamaan agama di ruang publik, misalnya dengan tidak menyebarkan hoaks, tidak mengunggah komentar judgemental dan cenderung menyakiti pihak liyan. Jika hal-hal ini bisa diwujudkan, harapannya, Internet bisa tercipta sebagai ruang atau suasana di mana ‘surga’ sungguh hadir dan dapat dirasakan.
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik