Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Pendidikan dan Rumah Vokasi

IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem
20/7/2020 05:57
Pendidikan dan Rumah Vokasi
IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem(MI/RAMDANI)

SALAH satu kritik sinis dalam khazanah sosiologi terhadap persekolahan adalah keberadaannya telah menjadi salah satu cara untuk menunda generasi muda masuk dunia kerja dan membiarkan generasi yang lebih tua tetap bisa bekerja. Sekolah selanjutnya diandaikan sebagai tempat penampungan generasi ini supaya tidak menjadi masalah sosial.

Di negara atau wilayah tempat terjadi ledakan tenaga kerja, mobilitas eksternal penduduk rendah dan ketersediaan lapangan kerja juga terbatas, kritik ini tentu ada benarnya. Dengan kata lain, kritik ini benar jika diandaikan adanya pasar tenaga kerja yang tak berkembang dalam satu wilayah atau negara, baik karena tidak berkembangnya dunia usaha maupun adanya lahan-lahan pekerjaan baru.

Akan tetapi, kita tidak bisa mengasumsikan bahwa ada satu situasi yang tidak ada sama sekali peluang untuk terjadinya perkembangan. Jika asumsi itu yang dipilih satu pemerintahan negara, misalnya, akan mudah berlaku hukum alam Darwinian survival of the fittest, atau
bahkan Homo homini lupus. Untuk mendapatkan pekerjaan supaya bisa bertahan hidup, orang harus bertarung dan kalau perlu saling terkam.

Oleh karena itu, dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk ‘memajukan kesejahteraan umum.’ Artinya, negara wajib memfasilitasi supaya setiap warga negara hidup layak dan sejahtera, yakni melalui pendidikan sebagai cara memampukan
mereka dalam bekerja dan senantiasa mengembangkan ekonomi supaya tersedia lapangan kerja.

Secara intrinsik, dalam konteks pendidikan, kata ‘memajukan’ lebih condong pada pilihan untuk memandirikan warga negara sehingga bisa
hidup layak. Seiring dengan itu, secara logika juga tak mungkin jika ‘memajukan’ berarti semua tanggung jawab berada di pundak negara dan warga negara diandaikan sebagai subjek yang pasif dan hanya menerima serta menikmati suatu kemajuan.

Rumah Vokasi

Dalam konteks inilah, hemat saya, program Rumah Vokasi yang baru saja diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Rabu (15/7), diletakkan. Di satu sisi, Rumah Vokasi memang menjalankan link and match, mengawinkan pendidikan dengan dunia kerja, tetapi di sisi lain lembaga ini secara intrinsik harus menjadi lembaga yang memanusiakan warga negara; memandirikan
mereka supaya tidak menjadi subjek yang pasif.

Konsekuensi dari alur pemikiran ini bisa menjadi sangat jauh. Tugas negara bukan hanya memfasilitasi warganya supaya bisa bersekolah dan kemudian mendapatkan pekerjaan yang layak. Jika sampai di sini saja, negara pada hakikatnya menjerumuskan warganya ke dalam human machination kalau bukan menjadikan mereka hanya sampai menjadi pekerja. Perkembangan negara juga akan lambat atau tak maju pesat karena rendahnya minat kewirausahaan.

Konsep ‘memajukan’ dalam pembukaan UUD 1945 harus diartikan lebih jauh sebagai memampukan warga negara menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Pertama, meskipun seorang warga negara bekerja pada satu perusahaan asing, misalnya, mereka bukanlah ordinarily employed, dipekerjakan sebagai orang biasa, dan rentan kehilangan pekerjaan karena tidak memiliki keterampilan khusus, atau bahkan bisa diperbudak.

Harus melekat dalam konsep ‘memajukan’ itu memampukan setiap warga negara untuk memiliki distinctive value atau nilai pembeda yang membuat mereka senantiasa dibutuhkan, dan oleh karena itu menjadi manusia terhormat. Rumah Vokasi, oleh karena itu, harus menjadi bagian dari upaya membalik kenyataan bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia, baik yang bekerja di dalam maupun di luar negeri, berpredikat babu dan karena rentan kehilangan pekerjaan terpaksa melakukan apa saja untuk mempertahankan pekerjaannya.

Kedua, bisa dan mampu bekerja pada orang atau suatu perusahaan sebagai manusia terhormat semestinya tidaklah menjadi tujuan akhir dari tanggung jawab negara dalam memfasilitasi kesejahteraan umum. Sebagai contoh, menjadi employee atau pekerja adalah tujuan antara saja. Pada satu titik, siapa pun berhak dan difasilitasi supaya beralih menjadi employer atau pemberi kerja.

Dengan kata lain, program vokasi yang kini direaktivasi Kemendikbud juga bertanggung jawab dalam memupus mentalitas pegawai atau pekerja yang jamak di Indonesia. Kecenderungan masyarakat untuk memilih bekerja sebagai pegawai, misalnya, dan karena alasan politik juga lainnya seperti diaminkan pemerintah, merupakan preseden buruk bagi kemajuan negara. Negara harus memfasilitasi warganya untuk menjadi pewirausaha seperti yang dilakukan negara-negara ekonomi maju.

Beberapa catatan

Agar upaya memajukan warga negara ini terjadi dalam dunia pendidikan vokasi, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yang mencakup pilihan jurusan berdasarkan minat dan bakat, kurikulum yang memiliki compellingness, dan tidak administratif, serta proses pendidikan yang manusiawi.

Secara wacana, pemilihan juruan berdasarkan minat dan bakat bukan hal baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Persoalan yang harus diatasi dalam penjurusan ini ialah adanya unsur pemaksaan, baik dalam relasi sosial di rumah tangga maupun yang lebih sulit diatasi di tengah masyarakat. Mungkin karena faktor kualitas literasi, jurusan ilmu-ilmu alam seperti lebih terhormat, dan menjanjikan secara ekonomi jika dibandingkan dengan jurusan- jurusan lainnya.

Padahal, dilihat menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk, jika berkapasitas mumpuni, seorang yang ber- bakat seni bisa lebih terhormat dan maju secara ekonomi. Demikian pula, seorang yang memiliki kemampuan interpersonal yang baik lebih berpeluang menjadi direktur sebuah bank ketimbang mereka yang jago hitung.

Terkait dengan kurikulum, tantangan terbesar menurut saya ialah konten yang membosankan dan ketinggalan zaman. Para murid tidak sungguh-sungguh dalam belajar bukan karena mereka secara genetis malas atau sebab-sebab sosial. Jika saja konten pembelajaran compelling: menarik, memicu, dan memacu rasa ingin tahu, serta membuat mereka merasa lebih berdaya dari waktu ke waktu, tak akan ada kebosanan. Mereka akan menjadi manusia pembelajar.

Sementara itu, dalam proses pembelajaran, pendidikan vokasi tak bisa lagi diandaikan seperti Sekolah Teknik (ST) atau Sekolah Teknik Me-
nengah (STM) zaman dulu. Kepatuhan dan ketaatan buta pada guru atau senior bukan penentu keberhasilan belajar, yang dahulu bahkan
dibangun dengan cara-cara kekerasan.

Resiliensi dalam belajar harus dibangun dalam suasana yang membahagiakan, yakni ketika murid-murid diposisikan sebagai manusia terhormat dan mereka difasilitasi untuk senantiasa mengalami dan menemukan kebaruan dalam proses belajar. Dengan cara ini, hemat saya, lembaga-lembaga pendidikan vokasi akan link and match dengan program Rumah Vokasi yang baru saja diluncurkan Kemendikbud.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya