Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
DARI 196 negara yang saat ini sudah terjangkit pandemi covid-19, harus diakui beberapa di antaranya menerapkan kebijakan yang tidak tepat, terlalu tergesa, atau penuh risiko. Sebagian wajar karena tingkat emergency yang ada memaksa pemimpin mengambil keputusan cepat, walau tidak tepat, bahkan negara sebesar Amerika Serikat.
Misalnya, dalam soal obat. Chloroquine, yang ratusan tahun dikenal sebagai obat malaria, direkomendasikan, bahkan dijadikan keputusan oleh kepala pemerintahan di beberapa negara, termasuk Indonesia, sebagai pembasmi virus korona baru ini. Sementara itu, banyak otoritas farmasi tingkat dunia menyatakan sebaliknya.
Chloroquine ialah obat yang berbahan dasar quinone, semacam alkaloid (senyawa nitrogen) yang ditemukan di kulit pohon cinchona, tumbuhan yang tumbuh di dataran tinggi Amerika Selatan. Bangsa Inca, yang menemukannya, menghadiahkan ramuan itu ke pendeta Jesuit pada pertengahan abad ke-16. Di Eropa, obat itu didapuk ‘sebagai penemuan paling luar biasa dunia medis abad ke-17’. Walau mungkin saat itu belum diketahui obat tersebut juga membawa efek samping, seperti diare, tuli, buta, bahkan dalam beberapa hal bisa menyebabkan kematian.
Derivat dari chloroquine ialah hydroxychloroquine yang kandungan racunnya lebih rendah dan kemudian hari populer sebagai HQC. Itulah penyembuh malaria sebenarnya, dengan cara memperkuat darah dalam melawan parasit yang masuk ke tubuh. Dengan metode yang sama, dia juga akan melawan virus korona baru (novel coronavirus).
Informasi ini datang pertama kali dari Aix-Marseille University, Prancis, yang dalam penelitian awalnya menyatakan HQC dikombinasi dengan azithromycin ternyata dapat mengurangi secara signifikan jumlah virus pada pasien covid-19.
Menariknya, hasil penelitian awal itu langsung disambar presiden negara terbesar dunia, Donald Trump, yang langsung mentwit, ‘...chloroquine telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration/FDA, semacam Badan POM di Indonesia) sebagai obat dari covid-19’.
Tak lama setelah twit di atas, Stephen Hahn, Direktur FDA, menulis twit balasan yang dengan tegas menyatakan bahayanya menyebarluaskan harapan palsu alias PHP pada rakyat banyak, tetapi Trump ngeyel. Sebagaimana kebiasaannya, ia malah menyatakan temuan awal peneliti Prancis itu sebagai ‘temuan terbesar dunia kedokteran’ dan mengimbau rakyat AS untuk segera minta resep dokter dan menggunakannya.
Reaksi keras dari kalangan medis pun muncul. Sam Ghali, dokter gawat darurat dari Kentucky, langsung berteriak lewat Twitter-nya, ‘Rekomendasi Presiden itu melibatkan kombinasi obat yang sangat berbahaya dengan berton-ton efek samping, yang dapat membuat jantung seseorang berdetak secara tidak normal dan berkemungkinan membunuh’. Dokter lain dari Michigan juga dengan tegas mengatakan, “Biarkanlah dokter yang memberi saran medis. Kamu bahkan tidak dapat menyelesaikan tugasmu dengan baik. Berhentilah mencoba mengerjakan tugas dan tanggung jawab kami.”
Namun, siapa yang tidak tahu: Trump bergeming. Ia tetap pada keputusannya.
Pemerintah harus tegas
Saya tidak tahu jika ada negara-negara lain memiliki pemimpin seperti di AS, apa yang terjadi pada rakyat negeri itu? Di negeri sendiri, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) membentuk satu gugus tugas atas permintaan Bappenas membuat perkiraan data real pasien covid-19 di Indonesia jauh di atas angka yang diumumkan secara resmi pemerintah: 250.000 orang yang sudah terjangkit covid-19.
Angka itu tercipta bila ada intervensi tingkat tinggi. Dari empat level intervensi, yang terendah (tanpa intervensi) bisa mengakibatkan penyebaran virus ini ke 2,5 juta orang dalam jangka 77 hari. Kondisi aktual sekarang dikategorisasi PMK UI, kebijakan dan antisipasi pemerintah dalam pandemi ini ada di antara level rendah dan tidak intervensi dengan range penduduk yang terjangkit dari 1,7 juta hingga 2,5 juta.
Angka tersebut, yang sebenarnya tidak beda jauh dengan hasil penelitian ilmiah beberapa lembaga riset Inggris, Prancis, AS, ataupun internasional, tentunya cukup menimbulkan rasa ngeri, bahkan teror, jika didiseminasi pada publik. Wajar bila kita mengimbau pemerintah untuk lebih keras (tough), berani, dan tidak oportunistis dalam mengambil kebijakan menghadapi pandemi ini. Misalnya, mengambil keputusan lockdown yang berlaku di seantero negeri dengan penerapan aturan-aturannya yang tegas.
Tentu saja banyak risiko dari keputusan itu, terutama secara ekonomi, juga politis. Kalau Tiongkok, misalnya, mengeluarkan lebih Rp3.000 triliun untuk lockdown Provinsi Hubei, yang mana Wuhan berada dengan penduduk sekitar 60 juta. Amerika, baru saja disepakati Presiden dan Senatnya, dana bencana dan stimulus sebesar 2 miliar dolar (sekitar Rp32 triliun, bisa diperkirakan dana yang dibutuhkan negeri ini, yang memiliki hampir 270 juta warga). Angka Rp1.500 triliun cukup moderat. Namun, sementara pemerintah, di antaranya Menko Perekonomian, menyebut angka ‘hanya’ di kisaran Rp180 triliun–Rp200 triliun.
Kita bisa melakukan perhitungan sendiri dengan data di atas. Satu hal penting dalam soal lockdown ialah alasan pemerintah, yang dinyatakan Presiden, kenapa tidak perlu lockdown, lebih dari soal finansial dan turbulensi politik yang diakibatkannya, tapi karena ‘budaya kita berbeda’. Dengan pengetahuan minim yang saya miliki, saya agak gagal paham dengan alasan tersebut. Apa yang dimaksud ‘budaya’? Apa pula yang dimaksud dengan ‘budaya berbeda’? Berbeda dengan siapa, apa perbedaan itu, dan kenapa perbedaan itu jadi alasan untuk tidak lockdown?
Sepanjang yang saya tahu, ada yang disebut budaya bangsa ini, secara kolektif didasari beberapa nilai dan norma yang kemudian menjadi watak atau karakter kita, yakni gotong royong, kekerabatan, dan kebersamaan atau dalam ekspresi orang Jawa ‘mangan ora mangan (sing penting) ngumpul’. Artinya, pertemuan rutin entah antara anggota keluarga, lingkungan warga, dan teman main atau kelompok (komunitas) khusus ialah tradisi keseharian kita, mendarah daging, bahkan sejak ratusan atau ribuan tahun lalu. Itu watak orang (beradab) bahari.
Watak itulah yang menjadi bukti bahwa orang bahari ialah homo socius atau homo communalis sejati, berbeda dengan orang (beradab) kontinental yang cenderung individualis (selfish). Karenanya, seperti orang-orang bagian Selatan AS, California, misalnya, partai konservatif (Republik) memiliki banyak pendukung atau Italia Selatan yang panjang pantainya sulit sekali untuk melaksanakan perintah-–apalagi imbauan--untuk physical distancing dan stay at home.
Karena tingkat kesulitan tinggi meminta orang Indonesia menerapkan kebijakan global sebagai upaya preventif menghadapi pandemi covid-19, alasan budaya di atas justru seharusnya menjadi dasar keputusan untuk lockdown atau perkiraan ilmiah dari riset FKM UI di atas akan benar-benar terjadi. Indonesia tidak hanya menjadi episentrum dunia dari pandemi ini, tapi juga negara dan bangsa akan mengalami kerusakan, bahkan keruntuhan yang belum pernah terjadi dalam sejarahnya. Pemerintah sekaranglah salah satu yang akan menerima dampak destruktifnya.
Perubahan budaya
Sikap dan tindakan yang penuh kenegarawanan dibutuhkan saat ini. Bukan hitungan pragmatis, apalagi oportunistis, dari seorang politikus yang terlalu cemas akan reputasi dan wibawa atau keselamatan kekuasaan. Lebih dari itu, keselamatan nyawa rakyat harusnya jadi pertimbangan utama. Negarawan bisa membuat seruan agar seluruh bangsa mulai hidup prihatin untuk jangka dua tiga bulan saja demi menyelamatkan dua tiga dekade masa di depan. Semua harus terlibat, berkontribusi, dan share pada upaya dan keprihatinan ini.
Ini saatnya pihak-pihak berbuat untuk negara dan bangsanya seperti yang sudah dilakukan tenaga medis/kesehatan di seluruh penjuru Tanah Air. Elemen-elemen lain harus bergerak paralel, yaitu ilmuwan, agamawan, kaum adat, pekerja politik dan sosial, juga pengusaha.
Para pemilik kekayaan besar, 500 orang terkaya misalnya, atau siapa saja, diimbau merelakan minimal 10% harta mereka untuk disumbangkan pada pemerintah sebagai dana stimulus atau penanggulangan bencana. Yakin, mereka tidak akan melarat karena itu.
Seluruh pejabat memotong seluruh biaya fasilitas mewahnya, hidup sederhana, mulai makanan, busana, sampai transportasi. Anggaran kementerian dan lembaga negara dipotong 20%-25%, terutama untuk program-program bersifat lunak, seperti seminar, rapat-rapat, diklat, kunjungan-kunjungan, dan festival. Setop. Bahkan, jika perlu dana konstruksi yang tidak mendesak dipotong dan dialihkan ke tahun berikutnya. Kita harus selamat dari bencana yang menciptakan teror global ini. Nyawa dan kehidupan rakyat lebih penting dari segalanya.
Karena sebenarnya antisipasi yang kuat, berani, dan penuh disiplin di atas tidak hanya menyelamatkan bangsa dan negara ini, tapi juga dunia. Ketika setengah dunia, bahkan di beberapa negara seluruh warganya tidak keluar rumah, terjadi sebuah perubahan yang tidak akan terbayang selama ini. Ketika Wuhan pada Januari melakukan lockdown, misalnya, kualitas udara Tiongkok, seluruhnya bukan hanya di Wuhan, meningkat 21%.
Tiongkok yang menyumbang emisi CO2 dunia 30% setiap tahunnya, karena sebagian penduduknya stay at home, mengurangi sumbangannya menjadi 25%. Semua hanya dalam jangka dua bulan. Udara kian bersih. Hal yang sama terjadi di pelbagai belahan dunia, termasuk Jakarta yang sebelumnya menjadi salah satu kota terpolutif dunia. Berkurang drastisnya perjalanan wisata juga memberi konstribusi signifikan untuk hal di atas.
Bahkan, kota seperti Madrid dan Barcelona di Spanyol, juga dua bulan setelah stay at home, polusi udaranya berkurang 50%. Luar biasa. Kanal-kanal di Venesia, gondola menghilang, sedimennya turun drastis, airnya menjadi jernih dan ikan-ikan kecil bermunculan berenang di permukaan. Angka WHO yang menyatakan 7 juta orang mati karena polusi setiap tahunnya di dunia dipastikan akan berkurang secara signifikan.
Akankah semua bukti faktual dan aktual di atas, dalam satu dimensi (tingkat polusi) saja akan menciptakan kesadaran baru, bukan hanya bagi manusia pada umumnya, melainkan juga pemerintahan di mana saja. Bahwa hidup tidak harus selalu berjalan, bahkan berlari tanpa henti. Kadang ia harus direlaksasi, pause, berhenti, dan nyepi, lalu membiarkan alam melakukan otomatis atau natural recovery dari kerusakan hebat yang diakibatkan keserakahan manusia.
Inilah sebuah cara yang lebih hebat dalam menyelamatkan bangsa manusia, bukan hanya dari wabah, melainkan juga limbah yang merusak. Bukan hanya kehidupan natural (alam), melainkan juga sosial dan kultural. Inilah moment of the truth kita berubah melakukan penyelamatan yang lebih permanen untuk membuat Bumi kian tangguh menjadi penunjang kehidupan homo sapiens yang kian berlipat jumlahnya, tak tercegah.
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak, serta tradisi dan budaya kita harus berubah sesuai dengan realitas aktual tiap-tiap negara. Covid-19, bencana itu justru akan menjadi berkah jika kita bisa menyikapinya dengan tepat, jujur, dan penuh niat kebaikan. Kebaikan itu harus muncul di hati, bagian dari diri kita yang selalu terhijab selama ini. Karena dari situlah, cahaya, cahaya ilahiah, akan memancar memberi kita kekuatan melakukan perubahan yang akan menyelamatkan di atas: menyelamatkan masa depan, masa depan anak cucu kita.
Nimbus berada pada kategori VUM, artinya sedang diamati karena lonjakan kasus di beberapa wilayah, namun belum menunjukkan bukti membahayakan secara signifikan.
KEPALA Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Ishaq Iskanda, Sabtu (21/6) mengatakan Tim Terpadu Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (Sulsel) menemukan satu kasus suspek Covid-19.
Peneliti temukan antibodi mini dari llama yang efektif melawan berbagai varian SARS-CoV, termasuk Covid-19.
HASIL swab antigen 11 jemaah Haji yang mengalami sakit pada saat tiba di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, menunjukkan hasil negatif covid-19
jemaah haji Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala penyakit pascahaji. Terlebih, saat ini ada kenaikan kasus Covid-19.
Untuk mewaspadai penyebaran covid-19, bagi jamaah yang sedang batuk-pilek sejak di Tanah Suci hingga pulang ke Indonesia, jangan lupa pakai masker.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved