Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
PENGANIAYAAN terhadap seorang siswi SMP di Purworejo yang viral di media sosial, yang dilakukan tiga siswa pada awal Februari ini, hanyalah salah satu dari gunung es kekerasan di lembaga pendidikan.
Kejadian yang lebih baru, seorang wakil kepala sekolah di sebuah SMA di Bekasi memukul siswa yang terlambat. Selang beberapa minggu sebelumnya, tawuran dan perkelahian antarsiswa terjadi di Depok, yang memakan korban jiwa dan siswa terluka parah.
Demikian juga dalam konteks keluarga dan pengasuhan. Sampai Juli 2019 saja, kekerasan terhadap anak dalam keluarga dan pengasuhan yang diterima KPAI mencapai 1.192 pengaduan. Jika dihitung sejak 3 tahun terakhir, terdapat 10.656 laporan pengaduan. Sementara itu, terdapat 3.213 kasus yang mana anak-anak terkena kasus hukum.
Sebagai orangtua yang kini telah memiliki cucu yang bersekolah di sekolah menengah dan perguruan tinggi, saya amat prihatin. Begitu pula sebagai orang yang sampai saat ini terlibat aktif dalam pembinaan dunia olahraga serta berlatar belakang disiplin militer.
Dalam pandangan saya, bentuk-bentuk kekerasan di atas, baik kekerasan sesama murid, guru kepada murid, serta orangtua terhadap anak, bisa terjadi karena sekolah, guru, dan orangtua tidak atau belum menggunakan cara-cara yang sesuai. Selain itu, terdapat juga persoalan terkait komitmen serta inkonsistensi dalam membangun dan menjalankan sistem pendisiplinan.
Khusus terkait kemampuan anak atau murid melakukan kekerasan, Albert Bandura (1970) telah jauh-jauh hari menerbitkan risetnya bahwa itu terjadi karena proses modelling atau mimicry. Artinya, anak-anak melakukannya berdasarkan apa yang mereka lihat atau alami, menirunya dan ketika kesempatan terbuka melakukan pengembangan atau modifikasi. Orangtua atau guru yang melakukan kekerasan, seperti dalam tindakan pendisiplinan, pada dasarnya sedang mengajarkan kekerasan.
Disiplin negatif
Supaya tidak disalahpahami, mari kita mulai dengan konsep disiplin dan pendisiplinan negatif. Salah satu model paling umum ialah pendisiplinan yang menggunakan sudut pandang punitif yang sempit. Model ini bisa dikatakan bersandar pada konsep surveillance, disiplin dan pendisiplinan berwujud pengawasan ketat. Para murid diposisikan sebagai manusia yang harus dicurigai atau bahkan diasumsikan sebagai kriminal.
Begitu pula dalam perspektif yang satu arah, konsep disiplin dan pendisiplinan negatif terjebak dalam relasi kuasa yang mana berlaku kecenderungan atau bahkan kebiasaan menyalahkan murid atau anak. Sementara itu, faktor keberadaan dan fungsi orang dewasa, terutama guru dan orangtua, diabaikan.
Dalam kasus pemukulan murid oleh guru karena keterlambatan, sebagai contoh, pendisiplinan dilakukan menggunakan jalan pintas. Cara-cara semacam ini mengacu pada rekayasa perilaku seperti yang dilakukan banyak pelatih binatang zaman dahulu. Murid menjadi manusia yang dibentuk dengan pukulan, tendangan, dan seterusnya.
Perubahan bukan karena faktor perkembangan yang unik dan berjalan alamiah. Alhasil, pendidikan ini membuat anak atau murid berpotensi besar mereproduksi kekerasan itu atau bahkan mengembangkan jenis-jenis kekerasan baru.
Cara barbar ini juga memosisikan guru sebagai yang mahatahu dan kuasa ketika murid ialah subjek yang bodoh dan harus patuh. Supaya berubah menjadi disiplin, murid-murid kalau perlu dimata-matai serta tidak boleh dipercaya begitu saja. Alat ukur yang paling sering digunakan ialah perilaku simbolis, seperti kesediaan menuruti perintah guru tanpa rasionalisasi.
Pokok yang luput dalam pendisiplinan negatif ini ialah asumsi dasar bahwa pendidikan merupakan proses pembangunan kesalingpahaman dan kesalingpercayaan dalam rangkaian dialog terus-menerus. Ini bukan saja antara guru dan murid, melainkan juga antara sesama murid. Pertumbuhan pengetahuan dan perilaku positif seiring pengalaman dialogis dalam sebuah konteks sosial seyogianya merdeka dari intimidasi.
Disiplin positif
Disiplin positif berangkat dari asumsi bahwa rumah tangga atau sekolah merupakan sebuah sistem sosial. Di sana terdapat relasi, organisasi, dan struktur sosial. Sebagai sebuah komunitas, terdapat pranata-pranata yang memungkinkan harmoni atau keteraturan dan membuat rumah tangga dan sekolah bisa berjalan sebagai pusat pendidikan.
Disiplin positif merupakan kecakapan hidup pribadi serta kecakapan hidup dalam berbagai konteks sosial. Dasarnya ialah fakta bahwa sejak lahir manusia hanya bisa bertahan hidup ketika mereka terhubung dengan orang lain dan bisa mengelola keterhubungan itu secara baik. Keterikatan dalam sebuah keluarga atau komunalitas seperti sekolah menjadi semacam alur yang mencegah mereka berlaku tak patut.
Sebuah lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin positif, oleh karena itu, tak bersandar pada kekerasan dalam bentuk apa pun dalam memfasilitasi perkembangan anak atau murid-murid. Tujuan pendisiplinan ialah dalam rangka mengembangkan rasa tanggung jawab, sikap hormat, dan penguasaan pengetahuan yang berdasar pada rasa kemanusiaan.
Setiap anak, dalam disiplin positif, diasumsikan unik dan penting, setara, baik, bersikap tegas, mandiri, serta mampu membuat keputusan. Perbedaan pertumbuhan dan perkembangan ialah hal alamiah. Justru tindakan menyamaratakan yang tak melihat berbagai perbedaan anak-anak hal yang pada umumnya dilakukan orangtua dan guru--ialah salah.
Berbeda dari disiplin negatif, yang mana perubahan sikap dan perilaku dilakukan dengan menghukum atau pembiaran oleh guru atau orangtua, disiplin positif dibangun seiring perkembangan daya menalar atau rasionalisasi anak. Sikap atau tindakan seorang murid terlahir atas dasar pertimbangan mandiri sesuai pembacaannya atas situasi dan kondisi dia berada.
Oleh karena itu, supaya kecakapan ini terbangun dan berkembang, orang dewasa (guru atau orangtua) harus menaruh rasa hormat dan percaya pada anak atau murid. Demikian pula perubahan sikap dan perilaku bukanlah perkara instan, melainkan mensyaratkan kesempatan yang cukup untuk menalar dan mengubah pandangan.
Guru dan orangtua mesti memiliki keterampilan komunikasi efektif serta kecakapan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Mereka harus tahu kapan bersikap lunak atau sebaliknya, bersikap tegas. Ketimbang berpikir keras mencari-cari bentuk hukuman, mereka harus menggunakan segenap daya pikiran menimbang berbagai solusi.
Sementara itu, disiplin positif harus dipahami sebagai praktik pendidikan yang berdasar keniscayaan proses. Tindakan menghukum, memuji atau memberi insentif supaya anak atau murid berlaku sesuai harapan ialah jalan pintas dan itu efektif dalam jangka pendek, sedangkan pengembangan kapasitas logis-rasional, rasa percaya diri, serta kemandirian ialah proses jangka panjang yang bisa efektif seumur hidup.
Supaya berjalan baik, selain melalui cara-cara dialogis-reflektif, proses pengembangan disiplin positif bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan eksperiensial. Orangtua atau guru memfasilitasi anak atau murid untuk berkegiatan dalam dunia nyata atau secara simulatif. Mereka mengalami langsung ha-hal positif yang membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku mereka. Atau paling kurang, terdapat rumah tangga dan sekolah yang memiliki atmosfer yang aman dan damai.
Keresahan terkait dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi para guru.
Program ini memberikan banyak peluang agar mengefektifkan dan mengefisienkan proses pembelajaran.
Kemenag Pastikan Tunjangan Guru PAI Non ASN Naik Rp500 Ribu
Perlu penguatan kualitas guru dengan mekanisme yang transparan, sehingga mudah diakses.
PULUHAN ribu guru dan penjaga rumah ibadah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kaltim (Kaltim) pada Rabu (25/6).
Lewat proyek Peta Virtual Wisata Kota Semarang, guru Ayu Kusumadiyastuti ubah pembelajaran teks deskriptif jadi teknologi petualangan.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong dilakukan pencegahan terhadap terjadinya tindak kekerasan kepada anak secara berulang atau reviktimasi.
Hampir setengah anak di Indonesia mengalami kekerasan. Temukan fakta penting tentang perlindungan anak dan langkah untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka.
POLISI masih menelusuri keberadaan orangtua anak berusia 7 tahun berinisial MK, yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di Pasar Kebayoran Lama beberapa waktu lalu.
Berikut fakta-fakta kondisi terkini MK, anak perempuan 7 Tahun yang diduga dianiaya dan dibuang ayahnya di Pasar Kebayoran Lama, Jaksel
KPAIÂ berkoordinasi dengan Tim Subdit Anak Direktorat PPA dan PPO Bareskrim Polri terkait anak yang ditelantarkan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dari gerak-geriknya, sang satpam melihat pria itu menaruh anaknya di lantai beralaskan kardus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved