Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?

Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Jakarta dan Direktur Indikator Politik Indonesia
18/12/2019 01:40
Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?
Opini(Dok.MI/Tiyok)

BAGAIMANA wajah pemerintahan Jokowi jilid kedua? Dari sisi ekonomi, tidak sulit menebak ke arah mana Indonesia akan berlayar lima tahun ke depan. Berdasarkan pidato-pidato kemenangan dan pidato kenegaraan Jokowi pada Agustus lalu, ekonomi masih menjadi prioritas utama di periode kedua. Fokusnya terutama dalam bidang infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, membuka investasi seluas mungkin, dan reformasi birokrasi.

Jokowi nyaris tidak menyebut agenda hak asasi manusia (HAM) dan pemberantasan korupsi dalam pidato-pidatonya pascapilpres. Perhatian Jokowi terhadap antikorupsi sekadar berkaitan dengan pemberantasan pungli, yang lagi-lagi harus dibaca dalam satu tarikan napas dengan ambisinya dalam melakukan deregulasi besar-besaran. Ia juga menilai pungli sebagai parasit birokrasi yang menciptakan ekonomi berbiaya tinggi yang menghalangi investasi asing masuk.

Pada titik ini, nyaris tidak ada perbedaan signifikan antara periode pertama dan kedua. Yang membedakan ialah di periode kedua Jokowi tidak bisa maju lagi sebagai calon presiden di 2024. Akibatnya, Jokowi diprediksi akan tampil tanpa beban elektoral di periode terakhirnya. Namun, banyak yang salah paham menafsirkan klaim tampil lepas tersebut.

Dia tampil tanpa beban ketika terkait reformasi ekonomi, bukan dalam soal politik. Jangan lupa bahwa klaim tersebut disampaikan pada saat Jokowi pidato di Musrembangnas 2019 saat menyusun agenda ekonomi 2020 karena klaim tersebut disampaikan dalam konteks reformasi ekonomi. Maka, ia akan jauh lebih berani dalam mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak populer, tapi penting dilakukan.

Sebagai contoh, kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% resmi diteken Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 karena defisit keuangan yang parah.

Jokowi juga punya komitmen kuat mencabut ratusan peraturan yang menghambat investasi. Dia juga siap untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang dianggap terlalu menyulitkan investor masuk. Itu karena pesangon yang terlalu mahal, upah minimum, ketentuan PHK, larangan outsource, dan lain-lain.

Beberapa alasan

Ada beberapa alasan di balik preferensi Jokowi terhadap ekonomi ketimbang isu-isu yang lain. Pertama, dengan menekankan ekonomi, Jokowi tidak terlalu menghadapi oposisi atau konflik yang serius dengan parlemen dan partai politik. Ekonomi secara umum ialah isu yang disukai setiap orang. Mempercepat infrastruktur, menciptakan lapangan pekerjaan, atau mengembangkan ekonomi digital tentu akan banyak mendapat dukungan dari politikus.

Namun, bukan berarti isu ekonomi lepas dari kontroversi. Jika Jokowi terpaksa harus melakukan reform, termasuk meluncurkan kebijakan tidak populer, seperti kenaikan BBM atau revisi UU Ketenagakerjaan, bisa saja dia mengabaikan protes publik, tapi tidak bagi para koalisi pendukungnya. Jangan lupa, meskipun Jokowi tidak bisa maju lagi di 2024, partai-partai pendukungnya masih akan ikut pemilu lagi nanti.

Inilah yang menjelaskan mengapa Jokowi memasukkan Gerindra sebagai armada baru koalisi untuk mengantisipasi membelotnya anggota koalisinya ketika Jokowi harus meluncurkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kontroversial.

Terlepas bahwa koalisi pendukung Jokowi secara total sudah memperoleh 60% lebih dalam Pemilu Legislatif 2019. Namun, jika ada satu atau partai yang membelot, agenda Jokowi untuk mengeksekusi agenda ekonominya bisa menjadi problematik. Terlebih lagi partai-partai koalisi tak bisa dikontrol langsung oleh Jokowi, tapi oleh elite partai masing-masing.

Alasan kedua yang membuat Jokowi lebih menitikberatkan ekonomi ialah faktor personal. Marcus Mietzner (2015) menyebut Jokowi sebagai technocratic populism yang merupakan kombinasi antara pribadi yang pragmatis, teknokratik, dan nonideologis (nondeological technocratic pragmatism) dan empati sosial kepada rakyat miskin.

Jokowi tidak memiliki kosakata yang canggih tentang demokrasi. Dia bukan seorang yang terlalu suka abstraksi filosofis atau konseptual tentang demokrasi dan kebebasan. Pemahamannya mengenai demokrasi sederhana dan konkret seperti terlihat pada saat debat pilpres. Bagi Jokowi, demokrasi baru bermakna sepanjang rakyat bisa menikmati manfaat melalui pembangunan dan kesejahteraan sosial.

Dengan kata lain, Jokowi cenderung melihat aspek-aspek nonekonomi sebagai sekunder atau sekadar instrumen untuk meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat. Karena itu, perhatian terhadap agenda demokrasi atau antikorupsi harus diletakkan dalam bingkai ekonomi. Jika ambisi ekonominya bertabrakan dengan agenda antikorupsi, Jokowi cenderung mengutamakan yang pertama.

Sebagaimana tipikal elite politik di Indonesia pada umumnya, Jokowi memahami demokrasi semata-mata sebagai instrumen kesejahteraan rakyat. Jusuf Kalla bahkan berkomentar lebih jauh dengan mengatakan bahwa demokrasi hanyalah cara mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Cara pandang semacam ini problematik karena kesejahteraan rakyat bisa dicapai tanpa melalui demokrasi seperti kasus Tiongkok dan Vietnam, yakni stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi ditempatkan di atas segalanya.

Implikasinya bisa lebih mengerikan: demokrasi dan hak-hak sipil bisa dikorbankan atas nama stabilitas politik dan pembangunan. Studi terbaru Morgan Stanley menemukan bahwa sejak 1950 terdapat 43 kasus perekonomian tumbuh rata-rata 7% atau lebih per tahun dalam satu dekade penuh. Sebanyak 35 kasus di antaranya atau 81% kenaikan ekonomi fantastis terjadi di pemerintahan yang otoriter.

Kondisi di atas bertemu dengan kenyataan bahwa pada periode kedua Jokowi tidak bisa maju lagi di 2024. Pada periode pertama, Jokowi masih memiliki insentif elektoral ketika menunjukkan kepedulian terhadap institusi penegakan hukum yang paling dipercaya, KPK. Isu HAM mungkin juga masih dilirik karena masih ada segmen pemilih yang peduli isu ini dalam Pemilu 2019. Namun, insentif elektoral hilang seiring dengan pelantikannya sebagai presiden periode kedua.

Di sinilah kekuatan kartel oligarki memanfaatkan 'keengganan' Jokowi dalam isu-isu democratic reform dan pemberantasan korupsi. Kekuatan oligarki ini bukan hanya yang memiliki kekuasaan atas partai-partai politik, melainkan juga mereka kelompok elite di luar partai yang menguasai aset-aset material ekonomi yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan perpolitikan di Indonesia.

Kekuatan oligarki yang berada di dalam maupun di luar lingkaran kekuasaan terbukti bersatu menggolkan revisi UU KPK yang merugikan pemberantasan korupsi.

Pada saat Revisi UU KPK yang memuat pasal-pasal pelemahan terhadap KPK disahkan secara kilat, DPR dan pemerintah juga menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sangat progresif dalam melindungi perempuan. Menariknya, partai cenderung seia sekata.

Fenomena kartel politik semacam ini membuat DPR dan pemerintah sejalan pada semua ketentuan yang justru bertentangan dengan aspirasi publik. Tak ada perbedaan antara partai koalisi dan oposisi, sekaligus menegaskan minimnya diferensiasi ideologi antarpartai.

Gejala inilah yang kemarin sempat membangunkan gerakan mahasiswa dari 'tidur panjangnya'. Gerakan mahasiswa merasakan ancaman serius terhadap agenda reformasi yang mereka perjuangkan dulu. Survei pada Oktober 2019 yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa di antara mereka yang tahu tentang Revisi UU KPK, 70,9% responden menilai sebagai pelemahan dan hanya 18% yang setuju dengan argumen elite bahwa revisi tersebut menguatkan KPK. Karenanya, 76,3% mereka setuju meminta Presiden Jokowi mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK yang baru.

Kesuksesan elite kartel dalam mengebiri KPK memantik semangat kartel oligarki. Konsolidasi elite makin nyaring seiring dengan makin kerasnya mereka dalam menggulirkan wacana amendemen UUD 1945 dengan memasukkan pasal pembatalan pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan via MPR, mengembalikan GBHN, wacana tiga periode jabatan presiden, dan lain-lain.

Sebagian elite juga mulai nyaring menyuarakan pilkada via DPRD dengan mengabaikan dukungan supermayoritas publik yang masih menuntut pemilihan kepala daerah secara langsung.

Tarik-menarik

Inilah dilema Jokowi: mengikuti aspirasi publik atau terperangkap dalam kepentingan kartel oligarki. Tarik-menarik antara kedua kutub tersebut merepresentasikan debat klasik antara model demokrasi elitis versus demokrasi populis.

Demokrasi elitis menitikberatkan pada asumsi Joseph Schumpeter (1943: 269) bahwa 'pemilih hanya berguna pada saat pemilu untuk membentuk pemerintahan', sedangkan demokrasi populis menuntut elite agar mendengar suara publik bukan hanya pada saat pemilu.

Pada kasus Revisi UU KPK, Jokowi tampaknya lebih 'memihak' elite politik. Jokowi enggan mengabulkan tuntutan mayoritas publik yang menghendaki Jokowi mengeluarkan perppu. Namun, pada isu amendemen UUD 1945, Jokowi memilih berpihak kepada rakyat. Dia menolak keras amendemen yang diusulkan elite karena bisa menjadi Kotak Pandora yang membuka aspirasi yang bertentangan dengan spirit reformasi. Secara eksplisit Jokowi menyebut wacana penambahan masa jabatan presiden sebagai modus elite mencari muka, bahkan mempermalukan dirinya.

Periode kedua Jokowi akan banyak ditandai oleh tarik-menarik kepentingan publik versus elite. Inilah dilema Jokowi. Agenda reformasi ekonomi yang diusung Jokowi takkan berjalan mulus tanpa dukungan politik di parlemen yang dikuasai kartel oligarkis. Namun, jika Jokowi mengabaikan tuntutan rakyat, stabilitas politik juga akan terganggu karena resistansi publik yang meluas juga akan menghambat agenda-agenda ekonomi. Waktu yang akan menguji apakah Jokowi ikut kehendak rakyat atau masuk perangkap oligarki.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya