Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Menjaga Kilau Kerajinan dan Usaha Perak Kotagede

Ardi Teristi Hardi
19/5/2025 08:58
Menjaga Kilau Kerajinan dan Usaha Perak Kotagede
Ilustrasi(MI/ARDI TERISTI )

TOKO-TOKO perak tampak berjajar di kawasan Kotagede, Kota Yogyakarta. Walau tidak seramai dulu, sebelum 1998, eksistensi perajin dan pelaku UMKM perak Kotagede tetap eksis hingga sekarang.

Priyo Salim (63 tahun) menjadi salah satu saksi sejarah pasang surut industri perak di kawasan yang dulu menjadi ibu kota Keraton Mataram Islam tersebut. Saat ini, industri perak di Kotagede masih berusaha bangkit setelah diterpa Covid-19.

"Industri perak di Kotagede saat ini sedang bangkit, tapi masih belum sebaik sebelum Covid, apalagi sebelum 1998," terang dia saat ditemui Media Indonesia, Minggu (11/5).

Ia mencatat, paling tidak ada tiga periode industri perak di Kotagede terpuruk. Pertama, industri perak Kotagede terpuruk pada 1942, saat pendudukan tentara Jepang. 

Naik Turun 

Namun, setelah kemerdekaan, industri ini perlahan pulih setelah pemerintah Presiden Soekarno.mengeluarkan kebijakan, industri perak di Kotagede bisa membeli perak dengan harga lebih murah dari harga pasaran.

Pada masa Presiden Soeharto, industri perak semakin tumbuh. Menurut dia, ada dua kebijakan yang membuat perak Kotagede semakin dikenal luas, yaitu perak Kotagede dijadikan suvenir kenegaraan.

"Saat itu, suvenirnya berupa tea set atau coffee set dengan berat sekitar 5 kilogram perset," terang dia. Selain itu, pelaku usaha perak juga mendapat penundaan pembayan perak dari PT Aneka Tambang hingga sebulan melalui koperasi.

Namun, pada 1998, industri perak Kotagede kembali terpuruk. Saat '98, dollar Amerika Serikat naik dari 2 ribu hingga 15 ribu dalam waktu singkat. Padahal, harga perak mengikuti harga dollar Amerika Serikat.

"Harga perak naik dari Rp400 ribu perkilogram menjadi Rp 3 juta perkilogram dalam 6 bulan, yang kenaikannya dalam 8 kali," terang dia.

Akibatnya, agar bisa tetap berproduksi, banyak koleksi perak-perak lama yang kemudian dilebur. Perak itu kemudian dibentuk dengan model yang lebih baru.

Kejatuhan perak selanjutnya terjadi pada 2020, saat Covid-19. "Dua tahun belakangan, usaha Kotagede mulai bangkit. Wisatawan asing juga mulai sering berdatangan," terang dia.

Ia menjelaskan, walau mulai bangkit, Industri perak di Kotagede belum seperti masa kejayaannya, baik 1920-1942 maupun pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia menyebut, pada awal 90an, ia mempekerjakan sekitar 60 pengrajin perak, saat pandemi pernah tinggal 10, dan saat ini ada 12.

"Produksi kami berkurang sekitar 20 persen, untuk eksport ada peningkatan, tetapi masih sangat sedikit," jelas terang pemilik Salim Silver.

Turun-temurun

Dalam Jurnal Humaniora (UGM) Volume Xll, No. 2/2000 UGM, A. Daliman, Pengajar Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menulis, tumbuhnya seni kerajinan perak. juga emas, dan tembaga di Kotagede bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Mataram Islam. Kotagede pada masa itu merupakan ibukota kerajaan (kuthagara) pada abad ke-16 dan 17. 

Bagi Priyo Salim, yang juga Ketua Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya (BPKCB), hal tersebut masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Namun, hal tersebut bisa juga benar. Pasalnya, saat itu, Kerajaan Mataram Islam sudah berdiri. Namun, Jogja bukanlah penghasil perak sehingga bahan bakunya didatangkan dari luar untuk dibuat berbagai perkakas rumah tangga.

Ia mengatakan, ketika bahan perak sulit didapat dan jumlahnya kurang, perkakas perak itu akan dilebur untuk dibuat menjadi perkakas model baru. Akibatnya, dirinya sampai sekarang belum melihat peninggalan kerajinan perak pada masa Mataram Islam.

Cerita tentang industri perak di Kotagede sangat panjang. Priyo Salim, yang memasuki generasi ketiga, mewarisi usaha perak sudah turun temurun, sudah ada sekitar 1940an.

"Ini (kerajinan perak Kotagede) sudah diakui pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Kami bukan semata membuat barang kerajinan, tetapi menjaga tradisi yang sudah ada puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu," terang dia.

Gelar Festival

Untuk terus menghidupkan perak Kotagede, Festival Perak Kotagede 2025, diadakan setiap tahun. Mantri Pamong Praja (MPP) Kotagede, Komaru Ma'Arif mengatakan, Kampung Basen merupakan salah satu kampung yang memiliki perajin perak terbanyak di Kotagede. Ia menyebut, saat ini ada lebih dari 70 perajin perak dan kriya logam yang ada di Kotagede.

Festival menjadi upaya untuk meningkatnya daya saing industri perak Kotagede. "Kami juga ingin memperkuat posisi Kota Yogyakarta sebagai destinasi wisata budaya dan kreatif serta terciptanya lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan perajin lokal," jelas dia.

Di saat bersamaan, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo berpesan, para perajin harus terus berinovasi dengan memadukan keindahan tradisi dengan kemajuan jaman. Festival Perak Kotagede menjadi wadah, terutama bagi seniman perajin perak, kriya, dan logam, untuk menunjukkan potensi mereka.

"Industri kerajinan perak dan kriya logam telah menjadi ikon Kotagede selama berabad-abad. Jadi ini perlu kita lestarikan dan kita promosikan agar seluruh masyarakat global mengetahuinya," terang dia.

Hasto optimis ke depan industri perak Kotagede dapat bangkit kembali dan meraih kejayaannya. Terlebih, perak Kotagede juga memiliki sejarah panjang yang khas dan tidak dimiliki industri perak di tempat lain. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya