Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Etu, Pertarungan untuk Air Hujan di Nagekeo

Ignas Kunda
06/9/2023 09:10

SUARA gong dan gedang terdengar dari seberang Sungai Aesesa, sekitar 100 meter dari bantaran sungai di tengah Kampung Boa Rebe. Sekelompok pria tampak memainkan alat musik itu, namun tidak penari yang terlihat. 

Suara alat musik tradisional itu ternyata untuk memanggil para petarung. Para petarung itu bukan dipanggil untuk duel karena perseteruan. Pertarungan itu bagian dari ritual Etu atau tinju adat. 

Irama musik itu untuk memanggil para petarung dari kampung tetangga di beberapa bukit sebelahnya bahwa sebentar lagi pagelaran ritual etu akan berlangsung. Etu bagi warga kampung selalu dijalankan setiap tahun sesuai kalender adat yang telah ditetapkan oleh para tetua adat. Ritual etu merupakan salah satu ritual yang dibuat untuk memanggil hujan demi hasil panen yang melimpah buat warga kampung. 

Baca juga: Merawat Sungai Brantas, Melestarikan Tradisi

"Etu kami buat setiap tahun untuk panggil hujan biar apa yang kami tanam seperti jagung, padi hasilnya banyak, kalau hujan ada, " ungkap Vitalis Pi salah satu tetua adat kampung itu. 

Tak lama berselang, pelataran rumah adat sudah ramai dipadati warga dari berbagai kampung yang didominasi pria. Halaman yang telah dibatasi tali dengan tonggak bambu menjadi arena bertarung para lelaki pemberani. Di ujung selatan berkumpul para lelaki yang punya kampung, di bagian utara berkumpul para lelaki penantang yang datang dari kampung tetangga. Kebanyakan lelaki dewasa. Ada pula anak-anak yang bersiap. 

Baca juga: Warga Lereng Merapi Boyolali Gelar Bakdan Sapi

Sebelum ritual, para tetua adat akan memasuki rumah adat yang beratap alang-alang yang menghadap ke barat tempat perhelatan Etu. Rumah adat bernama Rajo Maso itu menjadi pusat segala ritual. 

Para tua adat melakukan ritual persembahan berupa sesajian hati ayam kepada leluhur dengan doa-doa adat memohon restu dan perlindungan. Mereka lalu makan bersama dengan nasi yang telah disiapkan setelah memberikan pada leluhur lewat sesajian tersebut. Tidak menunggu lama, para tetua adat berbaris sedikit menunduk menuruni tangga rumah. Vitalis Pi, dengan baju putih berbalut selendang dan bersarung semuanya motif berwarna kuning, seorang tetua adat yang dihormati di kampung itu lalu memberitahukan kepada penghuni kampung sekitar pelataran etu bisa mulai digelar. 

"Etu siap dimulai dengan pertarungan pembuka yang dilakukan anak-anak mulai umur SD hingga SMP kelas 2," ungkap Martinus Tuga, tokoh muda yang juga pemandu lokal bagi wisatawan di kampung itu ketika keluar dari dalam rumah bersama tetua adat lain. 

Setiap kubu saling menunjukan setiap petarung sambil memberi isyarat siapa lawan yang harus dihadapi. Biasanya ada seorang lelaki tua yang disebut pai etu untuk mencari lawan yang sepadan. Bila salah satu kubu menyetujui maka dua pasang petarung ini siap masuk medan laga. 

Dalam pertarungan mereka dibekali alat atau senjata tarung bernama kepo. Kepo ini berbentuk lonjong seukuran telapak tangan yang diberikan para terua adat saat keluar Rajo Maso. 

Para petarung hanya boleh memukul dengan satu tangan. Satu tangan lainnya digunakan untuk menangkis serangan. Di pinggang para petarung terikat sebuah kain selendang sebagai pengendali yang nantinya dipegang oleh seorang lagi dibelakang para petarung. 

Pemegang kain itu disebut sike atau pengendali. Sike bertugas menahan petarung tidak menyerang lawan yang sudah menyerah. 

Pertarungan antar anak pun dimulai. Keduanya saling menggangu dan mengejek lawan. Sejumlah aksi pukul memukul pun dilakukan keduanya, namun dua pria dewasa yang berperan sebagai sike berhasil memisahkan kedua petarung. 

Teriakan dan gelak tawa terdengar dari para penonton. Salah seorang anak akhirnya mengangkat kedua tangannya tanda ia tak mau bertarung lagi. Keduanya langsung berpelukan dengan tersenyum lebar penuh kedamaian. Tawa dan keceriaan membahana sekitar arena dari para penonton menyatu dalam pelukan kedua petarung. Tidak hanya satu anak beberapa anak mulai maju bertarung. 

Pertarungan hanya satu ronde untuk anak SD. Namun bagi anak SMP dan SMA dibisa lebih. Apalagi bila terkena pukulan telak lawan. Bagi mereka memukul mengenai wajah menjadi kemenangan besar dan pertaruhan harga diri. Apalagi para gadis banyak memberikan semangat dengan sedikit satire. "Muka keras pukul lemah mana mau dapat istri" terdengar celoteh suara perempuan dalam bahasa setempat. 

"Pertarungan anak ini bisa disebut etu co'o dan wajib dilakukan sebelum etu meze dengan petarung orang dewasa digelar. Bila tidak lakukan etu co'o ini maka ada pemali atau pire dalam bahasa kami. Macam-macam akibatnya bisa peliharaan kita mati, seperti babi, sapi, dan kita manusia bisa sakit. Ganjaran lain termasuk serangan hama di kebun sehingga gagal panen, " ungkap Martin. 

Pertarungan lebih sengit biasanya terjadi saat para lelaki dewasa tampil. Pasalnya harga diri paling dipertaruhkan dalam arena ini. Biasanya hanya 3 ronde dalam pertarungan ini namun ada lelaki yang meminta lebih. Namun seorang seka atau wasit punya insting membatasi agar ritual ini tetap pada jalurnya bukan sebagai ajang balas dendam. Akhirnya kedua petinju harus saling berdamai. Pertarungan hanya sementara dan hidup damai harus terus berlanjut.

"Luka sudah menjadi resiko dan dipercayai bila darahnya banyak maka musim tanam nanti hujan akan bagus, " kata Martinus Tuga. 

Ritual ke-9

Ritual Etu, kata Martin, tidak berdiri sendiri. Etu merupakan ritual ke-8 dari 9 ritual yang harus dijalankan setiap tahun sesuai kalender adat suku Lidhe. Ritual terakhir adalah berburu adat. 

Martin mengungkapkan ritual ini harus dijalankan bila ingin hasil panen yang bagus dan tidak ada hama menyerang ladang mereka. Selain itu dalam kelender adat Suku Lidhe setiap tahapan ritual ini harus dijalankan sesuai aturan adat yang berlaku dan tidak boleh melanggar karena akan berakibat fatal buat penghuni kampung. 

Martin mengungkapkan dalam 9 ritual ada ritual yang tidak  boleh dilanggar itu seperti wa waga ule atau mengantarkan belalang dan ulat dalam rakit kecil untuk diarungkan ke sungai. Ritual ini mengandung pesan agar hama tidak memakan hasil ladang atau kebun penghuni kampung, karena harus ditempatkan pada sebuah tempat yang berbeda dengan kepunyaan manusia. 

"Serta ada lagi ritual gedho lako wunga. Gedho lako wunga itu keluar untuk pergi berburu atau nara. Hari pertama keluar itu masyarakat di kampung tidak boleh aktivitas. Bila melanggar maka hama akan menyerang tanaman padi, jagung, sehingga gagal panen, " kata Martin. 

Bukan saja ritual yang sudah ditetapkan melalui kelender adat suku, dalam kampung Boa Rebhe punya ritual khusus untuk memanggil air hujan. Hal ini dibuat bila melihat cuaca panas atau musim kemarau sudah berkepanjangan.

"Kami di Suku Lidhe juga ada ritual yang namanya gae ae uza (cari air hujan) apabila di musim hujan panas berkepanjangan yang mengakibatkan tanaman jagung layu kami ke rumah adat untuk melakukan ritual lalu turun naik bukit. Lakukan belah kelapa di setiap tempat yang sudah ditentukan meminta agar hujan datang. Kami pernah buat itu di tahun 2013 dan 2019," pungkas Martin. 

Pertarungan akan selesai jika mulai matahari mulai terbenam. Tetua adat akan menyiramkan air di pelataran pertarungan sebagai lambang berakhirnya pertarungan dan membersihkan segala dendam. 

Bagi orang kampung, kering dan panas hanyalah wajah dari petarung. Namun hati nurani harus tetap sejuk dan dingin, sedingin air sungai yang terus mengalir di belakang kampung membawa pesan damai sampai ke penghujung bukit dan lembah Sungai Aesesa. 

Hampir setiap kampung di Nagekeo, Flores punya tradisi etu yang tersebar hampir di 31 kampung adat. Merekapun punya kepercayaan masing-masing sebagai bentuk syukuran panen dan cara meminta hujan. (Z-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya