MEMASUKI musim liburan sekolah saat ini, banyak warga, mahasiswa, dan pelajar berkunjung ke rumah pahlawan nasional Cut Meutia atau akrab disapa Cut Nyak Meutia di Desa Mesjid, Kemukiman Pirak, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Para wisatawan yang sebagian besar kaum remaja itu datang dari berbagai kabupaten/kota di Aceh dan luar daerah.
Selain mengisi liburan sekolah, mereka juga ingin melihat langsung peninggalan atau bukti kegigihan pahlawan wanita yang syahid 24 Oktober
1910 di hulu sungai Krueng Pentoe, kawasan hutan rimba pengunungan perbatasan Aceh Utara-Bener Meriah (dulu Kabupaten Aceh Tengah).
Lokasi rumah kayu berkontruksi adat Aceh itu dekat pinggiran sawah nan luas, tergolong sangat asri karena dikelilingi kebun warga yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Berdasarkan pengamatan Media Indonesia, selama sepekan terakhir, para wisatawan ke tempat bersejarah itu datang menggunakan mobil pribadi serta bus umum. Karena lokasi berada di pedalaman sekitar 9 kilometer sebelah selatan Lhok Sukon, ibu kota Kabupaten Aceh Utara, tak sedikit pengunjung mengunakan sepeda motor.
Farida Hanum, siswi dari Sekolah Sukma Bangsa dari Kabupaten Pidie, kepada Media Indonesia, Selasa (5/7), mengaku, sangat tertarik berkunjung ke kediaman tempat lahir Cut Meutia.
Walaupun rumah itu merupakan bangunan baru yang dipugar sekitar tahun 1982 itu, tapi masih serupa dengan tempat kediaman pahlawan nasional Cut Meutia dulu. Apalagi di dalamnya tersimpan beberapa bukti sejarah, semisal gambar lukisan Cut Meutia, silsilah keturunan, alat musik rapa i pase, gambar tokoh-tokoh komandan militer Belanda yang terlibat peperangan dengan Cut Meutia, serta lukisan suami sang pahlawan Teungku Syik Di Tunong.
"Suasana di sini jauh dari hiruk pikuk kemacetan kota, penduduk perkampungan yang masih berpakaian sopan dan rapi seperti zaman dulu ini sebagiannya masih famili Cut Meutia. Mereka cukup familiar. Tidak usah membayar tiket untuk berkunjung ke rumah bersejarah pejuang kemerdekaan itu, bila ada kemudahan silakan masukkan sumbangan dalam kotak amal di pintu serambi rumah," tutur Farida.
Celengan kotak amal itu atas inisiatif Kolonel Yogi Gunawan saat menjabat sebagai Komandan Kodim Aceh Utara. Tujuannya tak lain agar sumbangan pengunjung dapat dimanfaatkan untuk biaya kebersihan atau perawatan ringan lainnya.
Yogi memang sangat peduli terhadap jasa kepahlawanan Cut Meutia. Melalui program bakti TNI saat itu, dia juga yang mencetuskan cikal bakal jalan menuju ke makam Cut Meutia di rimba Aceh Utara.
Baca juga: Kunjungi Semarang, Presiden Bagikan Bansos dan Cek Harga Sembako
Sementara pengujung lainnya Ghina Zuhaira, mahasiswi Kedokteran Universitas Syiah Kuala Aceh, menuturkan, berwisata ke rumah perjuangan Cut Nyak Meutia laksana melakukan napak tilas sejarah 112 tahun silam.
Suasana di perkampungan pedalaman Aceh Utara seperti terbawa dan mengingatkan kita seberapa sulitnya Cut Meutia dan suami tercinta Teungku Syik Di Tunong mempertahankan aqidah dan Tanah Air dari cengkeraman kolonial Belanda.
Dikatakan Ghina, berkat dari membaca sejarah perjuangan Cut Meutia dan
melihat bukti sejarah di kediaman istri Teungku Syik Di Tunong tersebut, dia tertarik mengunjungi sekitar kawasan perbukitan tempat Cut Meutia wafat.
Di tengah hutan lebat bersama orangtua dan adik-adiknya, mahasiswi kedokteran USK itu berhasil menelusuri jalan ke makam yang baru dibangun dari perkampungan terakhir di Desa Alue Rime, Kecamatan Pirak Timur atau sekitar 9 km sebelah selatan lokasi rumah sang pahlawan tersebut.
Untuk tahap awal, jalan aspal memang baru dibangun sepanjang 4 km. Kondisi medan yang sangat sulit melalui jurang dan bukit terjal itu membawa kita seperti berada di atas awan dingin.
"Pemandangan alam di atas bukit itu menarik sekali dan mengundang keteduhan mata. Bukan cuma menikmati alam indah, tapi penuh makna melihat medan berat pejuang zaman dulu. Walaupun belum teraspal, tapi badan jalannya 21 km sudah tembus ke makam. Tentu cukup menarik sebagai tempat penelitian sejarah perjuangan kemerdekaan," tambah Ghina.
Pada bagian lain, penjaga rumah Cut Meutia, Muslim, mengungkapkan, rumah milik pahlawan nasional itu sudah tampak uzur. Misalnya kondisi atap yang mulai bocor, cat dinding yang mulai pudar, serta pagar pekarangan yang berkarat sangat disayangkan. Ditambah lagi atap balai di pekarangan, atap lumbung padi telah bocor di kala hujan nengguyur, sungguh memprihatinkan.
Dua penjaga rumah museum itu, Idris, 47, dan Muslim, 40, tentu tidak sanggup memperbaiki kerusakan tersebut. Apalagi honor mereka hanya Rp1 juta per bulan. Itu pun sudah termasuk biaya bayar rekening listrik, ongkos potong rumput, dan untuk bahan bakar mesin potong rumput.
Berbagai kalangan, warga sekitar, termasuk dua penjaga situs bersejarah itu berharap perhatian serius dari pemerintah. Karena kalau terus menerus tidak terpelihara dengan sempurna dikhawatirkan akan rusak serta menjadi bukan monumem tua yang tidak terurus sehingga berpotensi lupakan oleh generasi ke depan. (S-2)