Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Puluhan Seniman Gelar Pameran Bersama Museum Basoeki Abdullah di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung

Naviandri
26/5/2022 19:50
Puluhan Seniman Gelar Pameran Bersama Museum Basoeki Abdullah di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung
Pameran bersama di Galeri Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung(MI/NAVIANDRI)

 

ALTER Ego dikumandangkan di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, di Jalan Naripan, Kota Bandung, Jawa Barat. Alter Ego pun menjadi tema pameran bersama di kawasan bersejarah di Kota Kembang itu.

"Saya pada tiap hari 17 Agustus itu berhadapan pula dengan dunia luar
yang bukan Indonesia baik sebagai kawa, maupun sebagai lawan berhadapan
dengan lawan. Dengan kawan -kawan itu saya laksana bermusyawarah atau
berkonsultasi antara Ego dengan Alter Ego, " (Bung Karno, 1963).

Sejak 20 Mei hingga 30 Mei, tigapuluhan seniman mengikuti pameran bersama Museum Basoeki Abdullah, yang diadakan di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung. Para penyair pun bergabung bersama pelukis dan sastrawan.

Warga yang berada di pusat Kota Bandung itu dengan leluasa bisa menyaksikan karya-karya para seniman lama dan baru.

Kehadiran pameran itu melengkapi daya tarik kawasan Jalan Braga dan sekitarnya, yang sangat lekat dengan karya seni dan budaya.

Dalam galeri, susunan karya lawas dan anyar berpadu indah, dengan sejarah Pusat Kebudayaan Bandung yang sudah berusia puluhan tahun.

Bergabung dalam pameran itu, seniman Jawa Barat Acep Zamzam Noor, Wawan Setiawan, Rahmat Jabbaril, Roni Arif Putra hingga Teguh Indriana.


Kurator

Diyanto, kurator dalam pameran tersebut, Kamis (26/5) mengatakan, bahwa secara harfiah, alter ego adalah "aku yang lain" dan lebih banyak hidup di dunia bawah sadar.

Pada prinsipnya, makna alter ego mengacu pada aspek-aspek yang kerap tersembunyi dan tidak terwujud, tetapi menghuni interior hidup seseorang dengan cara yang potensial. Alter ego kerap hadir secara metaforis sebagai perwakilan diri dengan karakteristik yang berbeda.

"Alter ego tak lain adalah cara untuk menunjukkan dan menegaskan identitas, karakter yang sudah ada, tetapi sulit diekspresikan. Namun, alter ego sebagai 'karakter baru' dalam diri bukan masalah psikologis sebagaimana kepribadian ganda  akibat gangguan mood," ujar Diyanto.

Memiliki alter ego pada dasarnya adalah pilihan atas dasar kesadaran, bahkan sebagian besar justru dikembangkan secara sadar, dipengaruhi kuat oleh pengalaman hidup dan keadaan lingkungan.

"Dengan kata lain, memunculkan alter ego bisa dikontrol sesuai keinginan  pemiliknya. Seniman,baik itu pelukis, musisi, penulis, aktor atau selebritis, kerap diduga memiliki alter ego. Alter ego dan
transformasinya dalam dunia seni," tambahnya.

Konstruksi alter ego, lanjut dia, di satu sisi merupakan sumber daya yang berfungsi terapeutik karena 'diri yang lain' itu mampu menjadi pelengkap ideal bagi kehidupan. Dengan cara semacam itu, alter ego dibangun sehingga seseorang berhasil membebaskan dirinya dari keterbatasan yang dipaksakan egonya.

Menurut Diyanto, dalam panggung teater, para aktor kerap menerapkan
alter ego dalam membangun karakter persona yang berbeda dari diri
mereka sendiri. Meski tak mudah untuk mencipta sesuatu yang asing
sepenuhnya, banyak sastrawan yang mengubah alter ego menjadi karakter
dalam karya tulisnya sebagai karakter berbeda dengan sisi psikologis
yang sama.

Sosok yang mewakili pikiran penulisnya atau sosok protagonis
di dalam kisah mereka, bahkan terkadang, karakter yang diciptakannya
dalam kisah itu pun memiliki alter ego.

Pada tingkat pra-reflektif dan pra-teoretis, sangat mungkin manusia mengalami hidupnya tidak melalui otak-nalarnya, melainkan melalui perasaan dan imajinasinya.

Dia menambahkan dinamika proses kreatif seniman di masa kini tidak hanya bertumpu semata pada praktik mengungkap nilai-nilai ekspresi individu (seniman), tapi telah bergerak jauh dalam menjemput berbagai kemungkinan artistik yang sejalan dengan metode pendekatan atau modus penciptaan.

"Pesatnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini yang menyebabkan kita dibanjiri imaji dari berbagai penjuru tentu menjadi jalan yang memungkinkan praktik-praktik penciptaan bersifat interimajerial, interreferensial, interteritorial tumbuh subur, sehingga rujukan (referensi) tidak hanya berkutat dalam konteks dan persoalan lokal, melainkan bisa pula menjemput issue yang tumbuh dan berkembang dalam kawasan global," lanjutnya.

Beberapa karya dalam pameran di Bandung itu nampak memperlihatkan kemungkinan  tersebut. "Elaborasi 'tokoh' misalnya, tak hanya bermuara pada konteks tokoh kebangsaan, melainkan mengarah pula pada sosok lain yang datang dari kawasan berbeda (literature, sinema, musik dan lainnya)," ungkap Diyanto.

Dalam situasi hidup keseharian yang dikepung oleh banjir imaji dan
situasi pageblug covid-19 yang belum sepenuhnya menyingkir, upaya-upaya
merebut kembali kedaulatan individu, tentu bukan hal yang sungguh mudah.

"Kita, kini, suka dan tidak suka, nyatanya berada di tengah samudra
imaji. Maka sangat mungkin bahwa kerja menggambar atau melukis bukan
lagi semata-mata pergumulan kreatif dalam membentuk imaji, melainkan
upaya menangkap imaji. Bahkan, bila perlu memenjarakannya sedemikian
rupa," tandas Diyanto.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA
Berita Lainnya