Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Salam Pancasila Untuk Kemajemukan Indonesia

Siswantini Suryandari
30/3/2022 12:55
 Salam Pancasila Untuk Kemajemukan Indonesia
Kepala BPIP Prof Yudian (jas putih) menyosialisasikan Salam Pancasila dalam acara FGD Moderasi Beragama di Yogyakarta, Rabu (30/3/2022).(Dok BPIP)

KEPALA Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Yudian mengungkapkan bahwa Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka Bung Karno tahun 1945. Pernyataan Yudian itu disampaikan di depan peserta Forum Group Discussion (FGD) bertema Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebhinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia, di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Rabu (30/3).

Acara tersebut merupakan kerja sama BPIP dengan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dihadiri oleh kalangan akademisi dan ormas keagamaan, antara lain NU, Muhamadiyah, Al Washliyah, KWI, Gusdurian, Setara Institute, dan Syafii Ma'arif Institute.

Pada sambutan pembukaannya, Yudian menyosialisasikan Salam Pancasila kepada para peserta FGD.

"Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan," kata Yudian mengutip pernyataan Bung Karno.

Oleh karena itu, dicarilah salam yang bisa merangkum semua, dan tidak menimbulkan perbedaan. Karena itu, Bung Karno mengusulkan salam merdeka yang bentuk gerakannya seperti salam Pancasila sekarang ini.

Karena itu, oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku ketua Dewan Pembina BPIP, Salam Merdeka Bung Karno diadopsi menjadi salam Pancasila.

Bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya adalah mengamalkan kelima sila Pancasila, harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia.

Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Maknanya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.

Yudian menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya legitimasi tertinggi bukan di kelompok, tetapi pada  kebersamaan dan persahabatan.

Intinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945.  

"UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya pakai bahasa hukum. UUD 45 itu tujuannya untuk menyelamatkan kita," lanjutnya.

Karenanya, Yudian selalu menegaskan bahwa tidak ada toleransi tanpa konsensus. Nanti masing-masing standarnya berbeda. "Masing-masing nanti punya warna antarakelompok yang satu dengan lainnya," kata Yudian.

Yudian berharap FGD ini bisa menjadi wadah ide-ide dan pandangan dari para tokoh agama. Dan bisa dibuat deklarasi tentang ke-Indonesiaan, khususnya etika dalam bermedia-sosial. Hasil deklarasi ini bisa disampaikan ke internal masing-masing organisasi kemasyarakatan.

baca juga: Kepala BPIP Ajak Masyarakat Lumajang Gelorakan Nilai-nilai Pancasila

Sementara, Rektor UIN Suka Prof Al Makin mengatakan, FGD ini didasari kajian UIN Suka selama bertahun-tahun tentang hubungan persahabatan antarumat beragama maupun internal beragama. Dalam banyak kajian UIN dari Aceh sampai Papua, ditemukan hasil bahwa persahabatan di kalangan remaja, anak, dan para mahasiwa umumnya didadasari kesamaan iman, kedaerahan, dan aliran. "Jarang sekali persahabatan didasari lintas organisasi dan lintas iman," ungkap Al Makin.

Ia menambahkan bahwa ukuran moderasi beragama itu sederhana. Yakni, seberapa banyak teman kita yang tidak berbahasa sama dengan kita, tidak berorganisasi sama dengan kita, dan tidak sama cara beribadahnya."Maka mari kita tingkatkan persahabatan," kata Prof Al Makin.

"Mari kita sosialisasikan di masyarakat dan medsos, bahwa kita semua bersahabat, berkawan, dan bersaudara. Saya kira ini sangat diperlukan dalam konteks ke-Indonesiaan yang sangat kaya," tambah Al Makin.

Ia meminta masyarakat harus kembali ke akar ke-Indonesiaan. Akar jati diri ke-Indonesiaan itu memiliki empat hal yakni keadilan, moderasi, kebajikan, dan persahabatan.

Al Makin memaparkan, kembali ke akar jati diri bangsa Indonesia itu sebenarnya sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Misalnya, Sukarno, Hatta, H Agus Salim, M Yamin, hingga Sutan Sjahrir sudah mempelajari jati diri bangsa Indonesia sebelum proklamasi.

"Mohammad Yamin misalnya sangat senang mengutip kita Sutasoma, menggali sejarah Majapahit. Ini luar biasa," ujarnya.

Al Makin mengapresiasi langkah BPIP dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai Pancasila. Selain itu, BPIP terus menggali nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat. (RO/N-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik