Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Solar Langka, Nelayan Aceh tidak Melaut

Amirudin Abdullah Reubee
24/10/2021 09:34
Solar Langka, Nelayan Aceh tidak Melaut
Perahu nelayan terparkir di pesisir Selat Malaka, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.(MI/AMIRUDIN ABDULLAH REUBEE)

KELANGKAAN BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi jenis solar, sejak sekitar sebulan terkhir, di kawasan Provinsi Aceh, meresahkan banyak kalangan. Kondisi itu telah terganggu kegiatan mencari nafkah dan mempengaruhi perekonomian masyarakat di ujung barat pulau Sumatra itu.

Ribuan nelayan tradisional di Aceh terpaksa berhenti melaut. Mereka adalah nelayan perahu kayu yang biasanya mencari ikan di Selat Malaka dan Samudera Hindia.

Pasalnya, kaum nelayan kecil itu sulit memperoleh BBM jenis solar bersubsidi.  SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang seharusnya menyediakan solar bersubsidi untuk nelayan kecil, sekarang berubah atau berpaling ke pihak lain.

Baca juga: BMKG Bantah Gelombang Panas Landa Sulut

Ketua Dewan Pengurus Daerah KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Aceh,  Azwar Anas, Sabtu (23/10), mengatakan pihaknya telah menempuh berbagai cara untuk mengatasi krisis BBM bersubsidi untuk nelayan kecil. Tapi, masalah itu terus berulang setiap tahun. Ironisnya kelangkaan sering terjadi setiap Oktober hingga November.

"Padahal mulai pertengahan tahun hingga Desember adalah musim panen ikan paling banyak di Samudera Hindia. Ini meliputi bagian Barat dan Selatan Provinsi Aceh. Tapi karena ketiadaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional di sini gagal melaut" tutur Azwar Anas.

Dikatakan Azwar Anas, untuk memperoleh BBM bersubsidi, para nelayan tradisional Aceh seperti bekompetisi dengan pihak rekanan proyek atau industri kebun sawit. 

Hal itu semakin dicurigai yaitu musim produksi ikan saat laut tidak ada gelombang, bersamaan dengan waktu realisasi pekerjaan proyek pembangunan di Aceh yang sering berpacu pada Oktober hingga Desember.

Sesuai penelusuran Media Indonesia, di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Selatan,  cukup banyak solar bersubsidi beredar untuk aktivitas operasional kebun sawit. Penyelewengan itu diduga melibatkan pihak pekerja perusahaan dan  kelompok tertentu yang memiliki jaringan kuat.

Padahal puluhan perusahaan atau industri perkebunan milik pengusaha besar tidak berhak memakai BBM bersubsidi. Namun, persekongkolan jahat yang dilakukan secara tidak manusiawi itu telah menindas kaum lemah seperti nelayan.

Ribuan nelayan kecil tradisional yang pergi ke laut hanya untuk menutupi kebutuhan nafkah keluarga atau biaya sekolah anak, kini harus berhenti menjaring ikan karena kelangkaan BBM. Apalagi mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan kelompok raksasa penyeleweng minyak bersubsidi itu.

Lebih parah lagi di pesisir Lamno, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, setiap sore atau malam hari solar bersubsidi dipasok dari Depo Petamina Krueng Raya, Aceh Besar ke SPBU setempat sekitar 16 ton. Dengan berbagai alasan pihak SPBU tidak memperbolehkan para nelayan mengambil minyak pada malam hari.

Tapi harus mengambil saat siang hari. Namun, ketika nelayan datang di pagi hari, ternyata solar sudah habis terjual. Diduga BBM bersubsidi itu dijual ke perusahaan perkebunan, rekanan proyek, tambang ilegal atau pihak lain yang tidak berhak.

Persoalan hampir sama juga terjadi di pesisir Selat Malaka, kawasan Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur. SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) yang dibangun untuk kebutuhan nelayan, tapi selama ini juga krisis solar.

Ketika mereka ingin membeli pada SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), hanya diperbolehkan melalui pihak penampung. Nelayan tidak dilayani datang langsung ke SPBN, tapi harus membeli pada agen penampung. Ternyata agen penampung memalingkan solar bersubsidi itu ke pihak lain yang tidak terkait dengan nelayan.

Mantan Sekjen Panglima Laot Aceh yang juga Dosen Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, M Adli Abdullah, mengatakan, negara melalui pihak penegak hukum harus melindungi nelayan tradisional. 

Kebutuhan BBM besubsidi bagi nelayan bukan untuk memperoleh kekayaan melimpah. Tapi hanya guna memenuhi nafkah kehidupan anak isteri dan biaya pendidikan generasi mereka.

"Berjiwa besarlah kepada nelayan kecil, menyambung hidup mereka dan ketersediaan pendidikan anak-anaknya juga kewsjiban kita" tutur Adli Abdullah. (OL-1)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya