Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
KELANGKAAN BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi jenis solar, sejak sekitar sebulan terkhir, di kawasan Provinsi Aceh, meresahkan banyak kalangan. Kondisi itu telah terganggu kegiatan mencari nafkah dan mempengaruhi perekonomian masyarakat di ujung barat pulau Sumatra itu.
Ribuan nelayan tradisional di Aceh terpaksa berhenti melaut. Mereka adalah nelayan perahu kayu yang biasanya mencari ikan di Selat Malaka dan Samudera Hindia.
Pasalnya, kaum nelayan kecil itu sulit memperoleh BBM jenis solar bersubsidi. SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang seharusnya menyediakan solar bersubsidi untuk nelayan kecil, sekarang berubah atau berpaling ke pihak lain.
Baca juga: BMKG Bantah Gelombang Panas Landa Sulut
Ketua Dewan Pengurus Daerah KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Aceh, Azwar Anas, Sabtu (23/10), mengatakan pihaknya telah menempuh berbagai cara untuk mengatasi krisis BBM bersubsidi untuk nelayan kecil. Tapi, masalah itu terus berulang setiap tahun. Ironisnya kelangkaan sering terjadi setiap Oktober hingga November.
"Padahal mulai pertengahan tahun hingga Desember adalah musim panen ikan paling banyak di Samudera Hindia. Ini meliputi bagian Barat dan Selatan Provinsi Aceh. Tapi karena ketiadaan BBM bersubsidi, nelayan tradisional di sini gagal melaut" tutur Azwar Anas.
Dikatakan Azwar Anas, untuk memperoleh BBM bersubsidi, para nelayan tradisional Aceh seperti bekompetisi dengan pihak rekanan proyek atau industri kebun sawit.
Hal itu semakin dicurigai yaitu musim produksi ikan saat laut tidak ada gelombang, bersamaan dengan waktu realisasi pekerjaan proyek pembangunan di Aceh yang sering berpacu pada Oktober hingga Desember.
Sesuai penelusuran Media Indonesia, di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Selatan, cukup banyak solar bersubsidi beredar untuk aktivitas operasional kebun sawit. Penyelewengan itu diduga melibatkan pihak pekerja perusahaan dan kelompok tertentu yang memiliki jaringan kuat.
Padahal puluhan perusahaan atau industri perkebunan milik pengusaha besar tidak berhak memakai BBM bersubsidi. Namun, persekongkolan jahat yang dilakukan secara tidak manusiawi itu telah menindas kaum lemah seperti nelayan.
Ribuan nelayan kecil tradisional yang pergi ke laut hanya untuk menutupi kebutuhan nafkah keluarga atau biaya sekolah anak, kini harus berhenti menjaring ikan karena kelangkaan BBM. Apalagi mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan kelompok raksasa penyeleweng minyak bersubsidi itu.
Lebih parah lagi di pesisir Lamno, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, setiap sore atau malam hari solar bersubsidi dipasok dari Depo Petamina Krueng Raya, Aceh Besar ke SPBU setempat sekitar 16 ton. Dengan berbagai alasan pihak SPBU tidak memperbolehkan para nelayan mengambil minyak pada malam hari.
Tapi harus mengambil saat siang hari. Namun, ketika nelayan datang di pagi hari, ternyata solar sudah habis terjual. Diduga BBM bersubsidi itu dijual ke perusahaan perkebunan, rekanan proyek, tambang ilegal atau pihak lain yang tidak berhak.
Persoalan hampir sama juga terjadi di pesisir Selat Malaka, kawasan Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur. SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) yang dibangun untuk kebutuhan nelayan, tapi selama ini juga krisis solar.
Ketika mereka ingin membeli pada SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), hanya diperbolehkan melalui pihak penampung. Nelayan tidak dilayani datang langsung ke SPBN, tapi harus membeli pada agen penampung. Ternyata agen penampung memalingkan solar bersubsidi itu ke pihak lain yang tidak terkait dengan nelayan.
Mantan Sekjen Panglima Laot Aceh yang juga Dosen Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, M Adli Abdullah, mengatakan, negara melalui pihak penegak hukum harus melindungi nelayan tradisional.
Kebutuhan BBM besubsidi bagi nelayan bukan untuk memperoleh kekayaan melimpah. Tapi hanya guna memenuhi nafkah kehidupan anak isteri dan biaya pendidikan generasi mereka.
"Berjiwa besarlah kepada nelayan kecil, menyambung hidup mereka dan ketersediaan pendidikan anak-anaknya juga kewsjiban kita" tutur Adli Abdullah. (OL-1)
HARGA berbagai jenis ikan di Provinsi Aceh sudah sekitar dua bulan terakhir bertahan tinggi.
Selama ini, perbaikan kapal bagi nelayan di Pulau Sabira bukan perkara mudah. Akses yang terbatas mengakibatkan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit karena harus dilakukan di pulau lain.
Dukungan itu sekaligus pengakuan internasional atas komitmen program dalam mengatasi masalah limbah pesisir sekaligus pemberdayaan komunitas.
KEPALA Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menawarkan beasiswa kepada 5 anak nelayan di Kp. Ciwaru, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi.
SEBANYAK 50 Ketua DPD KNTI se-Sumatra dan Koperasi Perikanan melaksanakan Rapat Konsolidasi penguatan simpul jaringan koperasi perikanan di wilayah Sumatra dan Kepulauan Riau.
Pemerintah menegaskan bahwa penerimaan negara dari sektor perikanan melalui skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus berlandaskan prinsip keadilan sosial.
SEORANG Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama (Kemenag) Aceh, MZ alias KS, 40, ditangkap oleh Densus 88 Antiteror karena diduga terlibat dalam kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
SEBANYAK 400 ribu hektare telah ditetapkan sebagai Hutan Adat oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Hal itu dilakukan sebagai upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Toyota Production System (TPS) sebagai sistem produksi asli yang dikembangkan oleh Toyota untuk mencapai produksi yang efisien dan berkualitas.
Salat sunat dua rakaat dan berisi khotbah tausiah itu digelar oleh forum pimpinan kecamatan di lapangan bola kaki dekat pasar pusat perbelanjaan Keude Lamlo, Ibu kota Kecamatan Sakti.
SEKRETARIS Jenderal Kementerian Agama Kamaruddin Amin membenarkan ada Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kementeriannya yang ditangkap anggota Densus 88
Densus 88 Antiteror Polri menangkap dua terduga teroris berinisial ZA (47) dan M (40) dalam operasi yang digelar di Banda Aceh pada Selasa pagi, 5 Agustus 2025
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved