Memerdekakan Pemikiran Anak-anak di Desa Pinggiran

Lilik Darmawan
26/8/2020 09:31
Memerdekakan Pemikiran Anak-anak di Desa Pinggiran
Kegiatan Sekolah Inspirasi Pedalaman (SIP) yang dilaksanakan di Desa Pesangkalan, Kecamatan Pagedongan pada 2019.( Dokumentasi SIP Banjarnegara)

BULAN Desember 2014, sebuah peristiwa tragis menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah. Bencana tanah longsor menerjang Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar dengan korban lebih dari 100 orang. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam bagi keluarga, apalagi anak-anak. Ketika itulah, sejumlah pemuda asal Kota Banjarnegara, salah satunya adalah Riza Azyumarrida Azra, 29. Ia bersama para relawan mendampingi anak-anak yang harus kehilangan keluarga dan rumah mereka. Dari kejadian itulah, Riza sadar ternyata banyak anak yang tidak sekolah. Bahkan, berdasarkan data dari BPS, indeks pembangunan manusia (IPM) Banjarnegara juga masih rendah. Tahun 2014, IPM di Banjarnegara tercatat 63,15 dan 2018 menjadi 66,54. Padahal, tahun 2018, angka IPM Jateng mencapai 71,12.

"Setelah rampung melakukan pendampingan di wilayah bencana Jemblung, saya bersama empat teman membentuk Sekolah Inspirasi Pedalaman (SIP). Kita berpikir, sebaiknya perlu gerakan nyata, tidak hanya mengutuki pemerintah saja. Kita sih ingin seperti program Indonesia Mengajar, meski ini dalam lingkup lokal saja. Langkah paling awal yang kita lakukan adalah datang ke desa-desa terpencil, untuk mengajar anak-anak. Para relawan terdiri dari para mahasiswa asal Banjarnegara yang kuliah  di berbagai kota. Jadi, ketika mereka mudik ke Banjarnegara, kita ajak mereka untuk ke desa," ungkap Riza, yang menjadi inisator SIP, Selasa (25/8).

Sebagai pilot project di tahun 2015 adalah Desa Kalitengah, Kecamatan Purwanegara. Konsep yang dibawa SIP adalah membuka pemikiran secara merdeka. Salah satu yang menarik perhatian, ketika ditanya cita-cita, misalnya, mereka cukup sederhana menuliskan. Bahkan, ada anak yang yakin dengan cita-citanya: sebagai sopir beghoe. 

"Mengapa dia menuliskan itu? Ternyata, ia memang kagum dengan sopir beghoe yang masuk ke desanya. Mungkin karena terlihat keren begitu, jadi dia bercita-cita seperti itu. Tidak masalah juga. Namun, kami juga membuka wawasan mereka mengenai berbagai macam profesi. Bahkan, kami mengajak kepada bapak polisi, dokter, bahkan para pejabat. Intinya, membuka wacana anak-anak desa dan menginspirasinya," kata Riza.

Riza mengatakan bahwa SIP mendampingi satu desa tertentu selama satu tahun. Namun, kalau ada bencana, seperti gempa bumi yang terjadi di Kalibening tahun 2018 silam, SIP juga melakukan pendampingan khususnya kepada anak-anak korban bencana terutama trauma healing. Koordinator SIP Maitsa Putri Shafa mengatakan dirinya mulai bergabung menjadi relawan SIP saat pendampingan korban bencana gempa bumi di Kalibening. 

"Saya mulai bergabung sejak ada pendampingan kepada anak-anak di pengungsian. Ternyata, memang passion saya di situ sampai sekarang. Saya paling ditempa ketika mendampingi anak-anak di Desa Pesangkalan, Kecamatan Pagedongan sebuah desa terpencil di tengah hutan yang berbatasan dengan Kabupaten Kebumen. Kita mendampingi anak-anak di situ selama setahun yakni pada 2019 lalu," jelas Eta, panggilan akrab Maitsa Putri Shafa.

Semua Guru, Semua Murid

Eta mengungkapkan selama pendampingan di Desa Pagedongan, ada 120 anak yang didampingi. Mereka adalah para siswa SD Negeri 2 Pesangkalan mulai kelas 1 hingga 6. 

"Para pendamping merupakan anak-anak muda Kota Banjarnegara. Mereka biasanya para mahasiswa yang kuliah di berbagai kota seperti Semarang, Yogyakarta, Solo dan Purwokerto. Mereka menyempatkan untuk mudik guna memberikan pencerahan para siswa SD di desa setempat," kata Eta.

Dalam konsep SIP, kakak-kakak pendamping memberikan wawasan mengenai beragam profesi serta mendorong keberanian para siswa untuk bercita-cita maupun berkreativitas. 

"Pada awal perkenalan, seperti biasa, anak-anak merasa malu-malu. Apalagi, mereka adalah anak-anak pinggiran. Tentu saja, sebagai fasilitator, kami melakukan pendekatan kepada mereka. Dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah bermain dengan mereka agar lebih akrab,"ujarnya.

Eta mengatakan ada beberapa kelas yang digelar, di antaranya adalah profesi, kreativitas, minat baca dan lainnya. 

"Memang sih, sama seperti desa-desa lainnya, di Desa Pesangkalan, ada anak yang menuliskan profesi sopir. Ya tidak apa-apa, namun kemudian kami memberikan gambaran, jangan hanya sopir saja, tetapi pemilik mobil. Seperti itu. Nah, banyak profesi lainnya yang dikenalkan kepada mereka, supaya termotivasi untuk terus memupuk belajar. Pada intinya, mendorong mereka untuk bercita-cita tinggi dan memberikan manfaat bagi orang lain," lanjut Eta.

Untuk kelasnya, dibagi kelas 1-3 dan 4-6. Untuk kelas minat baca misalnya, bagi kelas 1-3, fasilitator akan membacakan buku, kemudian dibuatkan kuis. Jika kelas 4-6, mereka diminta membaca buku sendiri dan diadakan kuis. 

"Dengan lebih banyak membaca buku, maka anak-anak diharapkan semakin terbuka wawasannya," ujar dia.

Dengan fasilitator sebanyak 15 orang, cukup dapat secara intens berinteraksi dengan anak-anak dengan mengedepankan komunikasi dua arah. 

"Dari hasil evaluasi selama pendampingan, anak-anak jadi lebih berani mengungkapkan ide serta pertanyaan. Jika awalnya malu-malu, setelah ada SIP, mereka berani untuk mengungkapkan pertanyaan, pendapat serta gagasan. Kami juga mendapat informasi dari para guru, SIP telah mendorong siswa untuk lebih kreatif. Karena selama berjalannya proses pendampingan, SIP memediasi kreativitas mereka," jelas Eta.

Inisator SIP Riza Azyumarrida Azra menambahkan, sejatinya program SIP itu tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak di pinggiran. Namun, para fasilitator juga merasakan dampak positifnya. 

"Sebab, mereka juga berlatih untuk berbicara di depan umum, kemudian latihan sebagai pendamping serta berinteraksi dan merancang program. Maka, kami menyebutnya dalam SIP ini adalah semua guru, semua murid. Jadi, mahasiswa atau bahkan anak SMA yang ikut serta menjadi fasilitator bisa belajar bagaimana hidup langsung di tengah masyarakat yang terpencil. Mereka juga dapat mengambil hikmah untuk mensyukuri karena dapat kuliah dan nasibnya lebih baik. Inilah yang disebut semua guru, semua murid, karena mereka saling belajar," kata Riza.

baca juga: 75 Penyandang Disabilitas Intelektual Dapat Bantuan Rp2 Juta

Sebetulnya, tahun ini program SIP sudah dipersiapkan matang dan tinggal terjun ke desa di pedalaman yang terpilih. Namun, pandemi datang dan terpaksa SIP tidak dijalankan di desa, karena para siswa juga belajar di rumah. 

"Sebagai gantinya, kami menggelar Nongki atau nongkrong inspiratif. Program ini digelar secara daring dan diikuti oleh para fasilitator. Ibaranya, mereka mendapat tambahan pengetahuan sebelum nantinya terjun kembali ke masyarakat pinggiran. Dalam Nongki, SIP menghadirkan para pembicara ahli di bidangnya. Dan ternyata, ketika  digelar Nongki, tidak hanya fasilitator SIP yang ikut, melainkan juga anak-anak muda lain, bahkan dari luar Banjarnegara. Jadi, pandemi tidak menyurutkan langkah SIP untuk terus bergerak, meski terbatas," pungkasnya. (OL-3)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya