Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Orangutan Pernah Hidup di Jawa

Agus Utantoro
19/9/2019 09:38
Orangutan Pernah Hidup di Jawa
Orangutan(Antara)

PENELITI palaeoantropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Rusyad Adi Suriyanto mengungkapkan, primata jenis orangutan ternyata pernah hidup di Jawa. Membuktikan kehadiran orangutan di Jawa itu, Rusyad mengungkapkan saat ini UGM selain menyimpan banyak fosil manusia purba yang di berasal dari Sangiran, Jawa tengah, Trinil,  Jawa Timur serta dari Flores, NTT. Saat dilakukan penggalian terhadap fosil tersebut ternyata ditemukan banyak fosil hewan primata yakni orangutan jawa.

"Kebanyakan primata awalnya berada di Jawa. Dulu orangutan di Jawa sangat melimpah," kata Rusyad dalam simposium dan kongres primata Indonesia yang berlagsung di Kampus UGM, Rabu (18/9).

Fosil ordo primatologi yang ditemukan di Indonesia termasuk yang paling banyak di dunia selain yang ada di Afrika. Ia memperkirakan lebih dari 50% fosil primata ini ditemukan di Indonesia.

"Sekitar 30%  tersimpan di kampus ini,"  kata pakar manusia purba ini.

Dari hasil penelitiannya, sebaran paleoprimatologi di Indonesia sebagian besar di temukan di Sumatra Barat dan daerah sebagian Sulawesi. Namun jumlah yang paling banyak berada di Jawa Tengah  dan Jawa Timur yakni daerah Sangiran, Trinil dan Kudus.

"Baru-baru ini kita temukan lagi sisa fosil orangutan yang berumur 7000 tahun," katanya.

Fosil primata di Jawa, selain jenis kera dan monyet, sepanjang pengetahuannya yang paling banyak ditemukan adalah fosil orangutan. Namun kemudian jumlah primata ini menurun drastis dan bahkan hilang. Hilangnya orangutan dari Jawa ini menurutnya akibat perubahan ekologi dan aktivitas manusia.

"Apakah karena perubahan ekologi yang ekstrem atau peran manusia ikut memusnahkan orang utan yang ada di Jawa," ujarnya.

Fosil orangutan yang ditemukan di Sangiran saat ini sudah dikonservasi. Selain di Sangiran, ia juga  menemukan fosil yang sama di daerah Tegal. Rusyad berpendapat meski saat ini kondisi hewan primata yang berada di Sumatra dan Kalimantan yang terancam akibat konversi lahan dan deforestasi. Namun upaya konservasi paleoprimatologi bawah tanah juga
perlu dilakukan untuk memperluas ruang pengetahuan soal hewan primata ini.

"Kita memiliki kekayaan di masa lalu karena memiliki situs dan fosil tersebut sehingga kita bisa mempelajari evolusi persebaran dan keberagaman primata," terangnya.

Ahli Biologi Konservasi dari Univeritas Indonesia (UI) Profesor Jatna Supriatna menambahkan usaha konservasi primata di Indoensia tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah. Menurutnya tingkat deforestasi akibat pembukaan kebun kelapa sawit dan konservasi lahan menyebabkan berkurangnya jumlah habitat primata di Indoensia.

"Kebun kelapa sawit sekarang ini jumlahnya lebih dari 14 juta hektar, hampir 1,5 kali dari luas pulau Jawa," katanya.

Dari penelitiannya, di pulau Kalimantan dan Sumatra sekitar 80% primata kehilangan habitatnya akibat pembukaan kebun kelapa sawit dan pembukaan pabrik pulp dan kertas. Sedangkan di Sulawesi sekitar 10-15% primata kehilangan habitatnya. Hal itu disebabkan adanya program penanaman jagung yang menyebabkan pembukaan lahan secara besar-besaran. Namun demikian ia mengapresiasi di Sulawesi tidak banyak kebun kelapa sawit. Setelah ia berkujung di beberapa daerah di Sulawesi dan berdialog dengan masyrakat sekitar, ia berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis tidak suka pembukaan kebun kelapa sawit di tempatnya.

"Saya berkesimpulan budaya orang Bugis maunya jadi juragan, sehingga tida ada pembukaan kebun kelapa sawit di sana," terang Jatna.

baca juga: Udang Endemik di Sulawesi Terancam Punah

Ia sempat menyinggung soal hilangnya lokasi habitat populasi primata. Menurutnya diperlukannya penambahan lahan konservasi hewan primata melalui pengembangan ekowisata di lahan hutan konservasi. Menurutnya jumlah lokasi ekowisata primata di Indonesia  masih minim.

"Bagaimana pun pemerintah perlu memberikan izin untuk ekowisata di daerah kawasan konservasi. Misalnya di Afrika, ekowisata untuk Gorila itu biayanya US$150. Hanya dipakai area kecil saja melibatkan empat ekor Gorila," pungkasnya. (OL-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya